Home - Benarkah Indonesia Negara Autopilot?

Benarkah Indonesia Negara Autopilot?

by lpm_arena

 

Oleh: Lailatus Sa’adah

 

Pemerintahan Autopilot pernah terjadi masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun kabar tersebut hanya isu semata untuk menjatuhkan kekuasaan SBY. Belum lama setelah pemerintahan SBY berakhir, pemerintahan baru sekarang ini di anggap sebagai pemerintahan Autopilot.

Negara Autopilot dimaknai sebagai negara yang berjalan secara otomatis tanpa ada kendali dari pemerintah. Masyarakat berjuang secara mandiri untuk menjalankan pemerintahan. Mereka berjuang tanpa adanya bimbingan dan arahan dari pemimpin yang memiliki kebijakan mengatur jalannya pemerintahan yang seluruhnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

Masa kepemimpinan SBY, istilah autopilot sering diperbincangkan. Tema ini seakan menjadi pembahasan wajib yang banyak didengungkan para kritikus. Para pengamat sendiri melalui kaca matanya mengatakan pemerintah seakan hanya sebagai penonton yang tinggal duduk di kursi dalam ruangan yang ber-AC, karena sistem telah menjalankan pergerakan kehidupan sosial masyarakat tanpa adanya kebijakan-kebijakan yang tegas dari pemerintah.

Entah siapa yang memulai dengan istilah autopilot pada pemerintahan SBY. Berbagai bukti pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai masa SBY, misalnya pada tahun 2011 yang mencapai 6,3 % . FRI (Financial Reform Institute) juga menunjukkan fakta indeks kemiskinan yang turun dari 2,08% di bulan Maret 2011 menjadi 2,05% di bulan September 2011, dan indeks inflasi 3,7%, dan menjadi yang terendah di kawasan Asia Pasifik. Bukti-bukti riil ini belum dapat memuaskan para penjunjung dikte autopilot, pemerintah dianggap lalai dan tiada tindakan ketika mengetahui angka kemiskinan hanya mencapai 0.3% dari patokan pemerintah, yakni 1% per tahun.

Meski demikian, pemerintah menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara yang layak sebagai lokasi berinvestasi (investment grade) dengan prestasi yang diraih,yaitu memperoleh peringkat Fitch’s Rating dan Moody’s Rating setelah 14 tahun terakhir. Dan keduanya berargumen ekonomi Indonesia mampu bertahan terhadap guncangan sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2008. Hal ini menguatkan pendirian pemerintah bahwa menyebut negara ini sebagai negara autopilot merupakan pemutar balikan fakta yang ada. Dan orang-orang seperti itu hanya ingin memperlemah citra Indonesia.

Autopilot masa Jokowi

Baru-baru ini telinga kita seakan digendangkan dengan kata autopilot setelah pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan pasangannya Jusuf Kalla dilaksanakan. Meski progam-progam baru dalam proses perencanaan, namun nyatanya belum ada kendali dari pemerintah. Dalam realitas lapangan semua berjalan normal seperti apa adanya. Kementrian masih berjalan, pegawai bekerja seperti biasa dan pasar bergerak normal. Tanpa disadari masyarakat semua bergerak secara normal tanpa kendali pemimpin, ini terjadi karena sistem yang telah ada dan dianut masyarakat Indonesia yang telah mengakar.

Terhitung dari tanggal 20 Oktober lalu hingga sekarang belum ada pengumuman tentang struktur kabinet yang akan diusung Presiden Jokowi. Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat juga belum menetapkan unsur teknis mereka, alat kelengkapan DPR dan komisi barunya. Belum ada kebijakan yang diapresiasikan kepada masyarakat, karena Presiden masih terlalu sibuk menyeleksi para pembantunya. Sehingga di kementerian tidak ada yang dapat membuat kebijakan yang berdampak .

Lalu masih perlukah ada pemimpin di antara sistem yang dapat bergerak secara otomatis tanpa ada nahkoda yang mengendalikannya? Keadaan seperti ini tentunya sangat rentan terhadap adu domba dan mudah terombang-ambing oleh badai yang sedang terjadi.

Meski tanda-tanda autopilot telah ada, namun hal ini terlalu dini jika negara Indonesia dikatakan sebagai negara autopilot. Lalu bagaimana yang harus dilakukan? Tentunya andil masyarakat sangat diharapkan dalam kondisi sulit seperti yang sedang terjadi sekarang. Masyarakat lah yang memilih mereka, para pemimpin terpilih untuk berdiri di barisan terdepan dalam struktur negara. Masyarakat tidak bisa lepas tangan begitu saja dan membiarkan para Pemimpin bertindak semaunya tanpa ada imbas yang positif bagi masyarakat.

Semua ego harus disingkirkan dari pemikiran masyarakat. Semua kendali sekarang berada di tangan masyarakat, akan di bawa ke mana negara ini dan akan di buat seperti apa Indonesia ke depannya. Pada nantinya akan banyak kelompok-kelompok yang memanfaatkan keadaan seperti sekarang ini. Maka sikap yang seharusnya diambil masyarakat dengan menyatukan visi dan misi yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan yang harus tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Tidak ada gunanya lagi mendoktrin negara ini merupakan negara autopilot atau istilah-istilah lainnya yang dapat menjatuhkan citra bangsa Indonesia. Masyarakat sudah seharusnya membangun kembali Indonesia yang percaya diri dengan segala kekayaannya.

Sudah saatnya pula bagi para elit untuk mengoarkan semangat Pancasila pada generasi masa depan dengan menanamkan contoh yang baik, yaitu dengan menjalankan kekuasaanya secara amanat. Bukan melemahkan negeri tapi sebaliknya, menguatkan negeri untuk tumbuh mencapai masa kejayaan.

Bukan lagi negara autopilot yang seharusnya didengung-dengungkan, tapi semangat Pancasila yang ditekankan pada pengamalannya yang perlu di sosialisasikan secara merata kepada masyarakat. Sehingga Indonesia tidak mudah digoyahkan dengan isu-isu yang sebenarnya hanya ingin menjatuhkan bangsa Indonesia, tapi masyarakat mampu membangun Indonesia yang kokoh dan bukan Indonesia yang bermental inlander dan amnetar.