Oleh Mugiarjo *)
“Sudah kau temui cingkau mana saja yang berani ambil mahal?” tanya bapakku. “Tak ada lagi harapan, Pak. Cik Ali pun tak berani” jawabku lesu. Sudah lebih dua bulan warga desa kami pusing tujuh keliling karena harga getah karet anjlok tak tertolong. Begitupun rasanya aku mengira warga di desa lain merasa sesak pula. Lebih lagi para suami yang beristri penyuka barang kreditan macam sepeda motor-lah, baju-lah, perabot-lah dan tetek bengek lainnya. Bahkan kerap aku dengan perkelahian mulut antara suami dan istri karena persoalan kredit pakaian dalam yang tak kunjung lunas.
“Madun, jangan kau lupa sehabis pulang sekolah jemput kami di ladang tuk ambil getah kare,t” perintah bapak. “Nak dijual kemana pula, Pak? harga cuma empat ribu sekarang. Tak kita tunggu seminggu kah?” tanyaku. Lesu wajah bapak menjawab “Tak kau ingat abangmu dirantau sana sudah waktunya butuh uang makan? dia sekolah, bukan kerja. Sudahlah, bapak nak berangkat. Kau jual tempat Cik Ali saja. Jangan lupa kau kunci pintu”. Demikianlah sudah tak ada lagi harapan menambah penghasilan, dimanapun harga sama saja.
Siang itu pula. Sesampainya di rumah, kusegerakan menjemput getah karet dan menjualnya sesuai perintah bapakku. Benar saja, empat ribu rupiah per kilogram. Kuhitung-hitung dengan hasil hanya delapan puluh kilogram, kami hanya dapat tiga ratus dua puluh ribu. Belum pula harus menyisihkan untuk keperluan abangku, tagihan listrik, makan, ini dan itu. Putus sudah. Beda hal dengan pemilik ladang yang punya belasan bahkan puluhan hektar tanaman karet. Tak terasa sesak bagi mereka. Ingin ini, ingin itu tak harus kredit dan cicil-mencicil. Tinggal tunjuk ingin apa dan bayar lunas. Oh, nasib rakyat petani. Tunduk pada hukum ekonomi saja, kata mereka orang berdasi licin. Tak tahulah pula, yang penting ada rezeki dan tak harus berhutang pada rentenir gila.
Malam, selepas sholat isya. Kedua orang tuaku bercengkrama di teras. Sedangkan aku asik dengan bola kasti. Memutar-mutarnya mencoba mencari dimana sekarang ini ekonomi keluargaku berada. Dibawah, diatas, disamping, ditengah-tengah, atau dipersimpangan yang tak jelas. Masih mengobrol juga ibu bapakku, tak tahulah aku yang mereka obrolkan. Tulilut tulilut tulilut. Nah, itu suara telpon milik bapak. “Madun, ambilkan Hp bapak. Barangkali abangmu yang telpon,” perintahnya. Lantas kuambil dan lihat, benar abangku yang telpon dan pasti meminta kiriman uang. Ah, lagi-lagi uang dan uang. Kenapa bukan batu atau daun, pikirku gila. Setelah kuserahkan Hp ke bapak, kembali aku sibuk dengan mainanku dan bergulat dengan bulatnya di bawah pohon rambutan. Rambutan juga nyaris bulat. Semuanya bulat dan tak jelas mana hulu dan hilirnya. Seketika itu pula terlintas dibenakku, kira-kira berapa jumlah uang yang abangku minta. Jangan sampai ia sebut angka jutaan. Bisa senam jantung bapakku. Kemudian aku berpikir, apakah penyebab hal semacam ini terjadi? Apakah sikap tiru-tiru dan ekspektasi akan hasil melimpah penyebabnya? dulu, belum juga seluruh penduduk desa menanam karet. Masih dapat dihitung. Harga pula stabil menggiurkan. Yang menggiurkan ini membuat rakyat berbondong-bondong menanam. Semakin banyak barang sejenis, maka semakin murah harga. Itu hukum penjualannya. Ah, tetapi jikalau saja pemerintah mumpuni, tak mungkin pula dapat membuat harga karet melorot tak karuan. Ah, bisa gila pula aku memikirkan kebijakan orang-orang pandai cerdik disana. “Sini, Madun.” Panggil bapakku membangunkan lamunan tak warasku.
“Abangmu telpon. Dia minta kiriman dua juta rupiah bulan depan. Jadi dua minggu lagi,kan? Sudah cukupkah simpananmu itu?” tanya bapak mengejutkan. Bukankah tadi aku tak ingin dengar angka jutaan? Sekarang terjadi. Oh hidup, begini caramu menguji. “Cukup sih cukup, Pak. tapi, yang tak cukup buat berobat emak. Dah habis obat tu, dah waktunya pula periksa. Buat apa pula uang dua juta? Bukannya delapan ratus dah cukup?” tanyaku kesal.
“Aih Madun. Kau ini tahu apalah kebutuhan abangmu. Dirantau tak ada makan gratis. Transportasi lagi bayar. Sudahlah, lagi pula ibumu sudah lebih baik. Obat itu juga cukup untuk sebulan lagi,” sahut ibuku meluruskan.
“Tapi apa alasannya abang minta dua juta? Jangan pula nak bohongi kita. Susah hidup dari getah karet, Mak. Pemerintah juga dah tutup mata, tulikan telinga buat rakyat. Janji elok nian nak sejahterakan rakyat cilik-lah, rakyat ini, rakyat itu. Lidah tak bertulang macam itulah” tanyaku lagi tak percaya dengan angka jutaan.
“Abangmu bilang tuk berobat. Dia sudah pinjam uang temannya. Nah, uang itu buat bayar hutangnya. Kau pula, sudahlah jangan kau ucap pemerintah-pemerintah. Kita ini hidup sendiri. Nak harga karet seribu-pun tetap kutampas karet itu. Sudahlah. Solat terus tidur sana, dah malam pula ini. Jangan kau lupa doa. Minta Tuhan naikkan harga karet, sebutlah pula dua puluh ribu per kilogram. Ha ha ha ha ha…” ucap bapak dengan tertawa. Ada-ada saja bapak perintahkan aku berdoa memohon naikkan harga karet hingga dua puluh ribu. Ah, doa itu sudah ratusan kali kuucapkan. Mungkin belum waktunya naik harga.
Setelahnya, aku pergi berwudhu. Selesai. Belum juga aku masuk lagi kedalam rumah, nampak olehku satu genggam getah karet yang telah mengering. “Hei, kau karet kering hitam legam. Kau yang buat aku sewot dengan harga melorot. Karet boleh melorot asal jangan anjlok pecahkan isi kepala rakyat. Kau berdoalah pada Tuhan, minta supaya harga dirimu dinaikkan menjadi dua puluh ribu. Jadi kau bukan lagi disebut barang murahan. Bantulah kami ini. Baik untukku dan untukmu. Aku tinggalkan kau solat. Selamat malam penghidupan”.
*) Mahasiswa S-1 jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.