Home - Daur Ulang Eksistensi GM

Daur Ulang Eksistensi GM

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Pongge “Goegoex” Harianto*)

 

Tak dapat dipungkiri, Gerakan Mahasiswa (GM) telah menjadi sejarah manis perjuangan heroik mahasiswa.Perlawanan dan pengkritikanterhadap sistem pemerintahan yang tak memihak rakyat menjadi jalan perjuangan GM dalam beberapa dekade terakhir. Tak hanya di kalangan mahasiswa terdahulu, semangat tersebut juga mengalir kuat di tiap jiwa aktivis mahasiswa sekarang. Perjuangan mulia meruntuhkan rezim otoriter menjadi bahan pembicaraan dan penyemangat mereka (aktivis mahasiswa) untuk selalu berada di garda terdepan dalam membebaskan rakyat jelata. Semangat itu nampaknya masih tertanam kuat, walaupun tak sedikit dari mereka ada yang sudah menjual idealisme-nya kepada pemerintah saat ini. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa “mantan” aktivis mahasiswa era Orde Baru telah menjadi elit pemerintah dan sebagian besarnya membunuh nurani-nya dan nurani rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok. Satu dua atau bahkan tiga oknum mantan aktivis GM yang benar-benar mengabdi demi rakyat.

Perlawanan GM di masa lalu bukan tanpa sebab. Represifisme yang diterapkan pemerintah terhadap gerak GM menjadi alasan utama yang wajib dilawan. Tidak ada jihad selain melawan pemerintah yang menindas, mungkin menjadi slogan wajib GM masa lalu. Bentrok pemerintah dan aparat pemerintah menjadi pemandangan yang lumrah tiap hari dan bukan menjadi hal yang ecek-ecek. Kenapa gerak GM masa lalu sangat menyejarah hingga sekarang? Satu jawabannya : mereka berdua (pemerintah vs GM) melakukan “perang” secara terbuka. Pemerintah mengandalkan peraturan (dilarang kritik, gerak mahasiswa dibatasi dengan SKS, KKN, absensi, DO, militer) dan mahasiswa melawan dengan tindakan (demonstrasi). Ada tindakan nyata yang mereka pertontonkan di kehidupan riil saban hari.

Pada intinya, kedua kelompok ini saling menekan satu sama lain. Dan GM selalu dipihak yang kalah oleh dominasi pemerintah. Suara kecil GM akan menjadi besar ditengah bungkaman pemerintah terhadap semua gerak GM. Bahasa mudahnya, suara kritik kecil GM seperti interupsi ditengah keterdiaman rakyat. Suara kecil ini diabadikan dan menjadi api pencerahan bagi perlawanan GM di tengah kekuasaan menindas. Itu sebabnya, suara atau protes kecil GM masa lalu menjadi “wah” dan akan menjadi hal kecil bahkan aneh jika dilakukan saat ini. Kenapa demikian? Karena bagi sebagian banyak mahasiswa sekarang – tak terkecuali beberapa GM – hal tersebut sudah absurd, tak sesuai dengan kondisi sekarang. Sekarang zamannya sudah enak, sudah demokratis, tidak ada lagi represif mutlak dari pemerintah, tak ada lagi yang harus dilawan, semua sudah berjalan sesuai alur. Pikir sebagian mahasiswa.

Apa pernyataan ini benar, bahwa mahasiswa dan GM (sebagian besar tentunya) lebih menikmati kondisi yang ada saat ini? Bahwa GM sudah tak memiliki “common enemy” yang harus digulingkan? Jawabannya dualisme : bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Iya, karena mereka benar-benar menikmati pola demokrasi (yang katanya) sudah berjalan sempurna. Yang dibutuhkan sekarang adalah tunduk dan manut terhadap pemerintah. Perlawanan terhadap pemerintah bukan menjadi jihad lagi, tetapi menjadi aib dan kemurtadan nasionalisme. Meminjam istilahnya Durkheim, tunduk terhadap pemerintah itu menjadi hal yang sakral. Melawan pemerintah sama saja kafir dan menjauhkan diri sendiri dari komunitas masyarakat. Konsekuensinya, individu yang melawan siap diasingkan dan dicap sebagai “pemberontak”. Sebagai contoh, ketika rakyat Papua berusaha melawan eksploitasi Freeport, tak jarang sebagian warga Indonesia melihatnya sebagai sebuah usaha melepaskan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Jawaban kedua: tidak, karena sebagian GM merasa bahwa represif pemerintah sekarang semakin berwarna, semakin beranak pihak dalam berbagai bentuk. Gerak penindasan lebih halus, sunyi namun sangat ampuh untuk membunuh rakyat. Pola perlawanan masa lalu bukan menjadi hal yang kuno jika dilakukan di era sekarang, semacam demonstrasi dan perlawanan-perlawanan lainnya. Penindasan pemerintah (saat ini) bisa diartikan sebagai penindasan yang santun, yang beradab atau penindasan yang memakai “bismillah dan assalamu’alaikum”. Kenapa? Karena pemerintah tak “harus” memakai militer, bentrok fisik dan sebagainya. Cukup dengan “peraturan” saja, masyarakat sudah terlelap dalam ketertindasan. Bahasa komik manga-nya, rakyat sudah terkena mugen tsukuyomi pemerintah.Apa yang menjadi peraturan pemerintah adalah hal yang harus ditaati dan menjadi impian semua orang. Contoh riil dalam pendidikan misalnya, bagaimana kuliah itu “harus” 4 tahun, jadi mahasiswa gak usah demonstrasi terus, menjadi abdi negara itu (PNS) pekerjaan mulia, meskipun kerjanya gak jelas.

Ah, ngapainkalian repot-repot melawan pemerintah? Mbok ya manut ae lek. Perlawananmu itu hanya akan menjadi sia-sia dan buang-buang tenaga, toh pemerintah juga jarang mendengar aspirasimu. Lebih tepatnya memang tidak bisa mendengar (budek alias tuli). Tidak tahu dan tak mau tahu aspirasimu. Mendingan kamu belajar yang benar saja ngger.

Lagi-lagi belajar dari sejarah

Setiap individu atau kelompok mempunyai cara tersendiri dalam mengabadikan sejarah, tak terkecuali GM. Jika wartawan dan penulis mengabadikan sejarah melalui tulisan, maka bagi GM, tidak ada jalan lain dalam mengabadikan sejarah selain dengan perjuangan membebaskan rakyat tertindas. Kenapa harus menyejarah? Apakah itu sebuah keharusan? Jawabannya tentu kembali kepada individu masing-masing, apakah kita ingin dikenang atau dilupakan oleh generasi mendatang. Dari sejarah-lah, manusia melihat kebelakang sebagai koreksi dan introspeksi untuk kemudian dijadikan acuan melangkah kedepan. Bagi generasi mendatang, sejarah berfungsi sebagai alat analisi diri dan sosial lingkungannya.

GM memang menyejarah bersamaan dengan alur gerakan yang mereka perbuat. Heroisme yang mereka lakukan, dikenang sebagai salah satu perlawanan kaum terpelajar terhadap represifitas pemerintah yang menindas. Meskipun perlawanan mereka hanya berefek di fisik, namun setidaknya mereka sudah melawan dengan idealisme dan gerakan yang terkonsolidasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang menindas, masih saja diberlakukan dan bertambah hari demi hari. Dan sekali lagi, mahasiswa terus melawan dengan segala cara, dengan bermacam-macam gerakan dan gaya perlawanan. Pers mahasiswa, sastrawan independen dan kelompok-kelompok diskusi bermunculan di setiap sudut kampus. Jargon, visi dan misi mereka serupa : Lawan ketidakadilan!

Proses perjuangan GM membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mewujudkan mcita-cita mereka. Menggulingkan rezim otoriter. Selama ± 32 tahun mereka terus melawan, hingga peristiwa 1998 terjadi. Senayan berhasil dikuasai dan rezim bisa ditaklukkan. Tetapi apakah semuanya sudah selesai? Semuanya akan berjalan sesuai harapan? Ternyata tidak. Justru, sistem yang telah diberlakukan bertahun-tahun tetap terpatri dan susah untuk dirubah. Jangankan merubah sistem, merumuskan sistem pemerintahan yang baru saja, mahasiswa masih kelimpungan. Konsep belum ada namun rezim terlanjur ditumbangkan. Ini seperti halnya yang terjadi di Rusia ketika Tentara Merah Lenin berhasil menumbangkan Tsar. Mereka bingung dengan apa yang harus dilakukan setelah Tsar dilengserkan. Dan yang terjadi, Lenin cs tetap memakai bawahan Tsar yang telah digulingkan untuk menjadi bagian dari pemerintahan yang baru.

Dan kondisi ini nampaknya terulang di Indonesia, pasca 1998. Meskipun bukan orang Orde Baru yang diambil, namun mental dan karakter Orba masih berkeliaran di diri anggota dewan kita. Sepenuhnya ini bukanlah suatu malapetaka lanjutan, melainkan disana ada sisi keuntungan. Apa keuntungannya? Keuntungannya : beberapa anggota mantan aktivis GM (yang tentunya juga senior-senior Anda semua) telah masuk ke dalam sistem pemerintahan. Jumlahnya tidak hanya satu, melainkan banyak dan menjamur, terkadang mereka juga membentuk koloni. Sehingga jumlah alumni GM ini setara dengan jumlah orang-orang Orba. Disini seharusnya ada pertarungan ide dan bentuk revolusiala birokrat, namun hingga kini bukan itu yang terjadi. Yang terjadi justru koalisi dan kongkalikong untuk terus menindas wong cilik. Mengutip bahasa-nya mbah Pram, kulit coklat menindas kulit coklat. Orang Indonesia menjajah orang Indonesia sendiri.

Kondisi ini jelas sekali terlihat di Pemilu 2014 kemarin. Banyak sekali mantan aktivis yang menjadi anggota dewan, meskipun harus melalui partai politik. Dan parahnya, banyak partai politik yang masih dihuni oleh muka-muka lama nan menyebalkan, orang-orang Orde Baru. Bisa dibilang, sepertinya revolusi yang diidamkan akan macet untuk waktu yang lama selama orang-orang tua plus kolot ini masih nampang di Senayan. Tak ada kata yang tepat selain sabar menunggu. Sabar menghadapi kekonyolan orang-orang tua dan menunggu gerak solutif dari kaum muda anggota dewan. Disinilah anggota GM aktif harus berperan dalam membangun Indonesia ke depan. Kita sudah punya orang didalam, tinggal membangun komunikasi yang aktif. Harapan dengan adanya komunikasi aktif ini adalah sebagai langkah awal untuk membangun cita-cita bersama, membangun Indonesia yang lebih makmur dan sejahtera, gemah ripah loh jinawi.

Kita harus belajar dari sejarah masa lalu. Pengkhianatan terhadap rakyat jangan sampai terulang lagi. Ini memang sebuah idealisme yang tak mungkin, mengharapkan pemerintah sepenuhnya berjuang demi kesejahteraan rakyat. Namun, bisa jadi ini menjadi sebuah kenyataan di suatu saat nanti. Orang-orang mantan GM ini menjadi angin segar dan harapan rakyat ketika krisis kepercayaan terhadap pemerintah terus meningkat. Orang-orang bekas GM ini sudah seharusna tetap menyimpan dan menjaga semangat api revolusi, sama ketika mereka masih menjadi bagian dari GM. Jika hal ini tidak terjadi, maka reformasi 1998 itu pantas kita hapus dari memori kita. Peristiwa itu tidak pantas kita sebut sebagai reformasi atau wujud keberhasilan GM melawan rezim orba.

What we have done

Di bagian akhir ini bukanlah sebuah solusi yang hendak dibicarakan, melainkan opini untuk GM ke depan. Ingat, bukan solusi lho bung!

Apa yang harus GM lakukan? Kiranya kata reformulasi gerakan yang harus dilakukan. Membentuk dan merencanakan ulang gerakan GM. Kondisi sudah berubah, masalah sudah beda, tantangan semakin komplek adalah beberapa hal yang harus dihadapi oleh GM saat ini. Kita memang sudah memiliki kartu As di sistem pemerintahan (alumni GM), namun semuanya belum menjamin bahwa perjuangan akan berjalan lancar. Justru terkadang disinilah timbul dualisme, antara tetap berjuang demi rakyat atau berjuang demi kepentingan kelompok koloni. Hati nurani-lah yang banyak berbicara. Selanjutnya, kepentingan pragmatis juga mempunyai andil besar dalam memainkan ide-ide gerakan kita.

Kartu As yang kita miliki seharusnya berguna. Jangan sampai kartu As tersebut justru menjadi beban. Ibarat dalam permainan poker, jangan sampai poker milik kita menjadi penyumbang nilai minimal dari jumlah kartu yang kitamiliki. Ini merupakan keuntungan yang dimiliki GM saat ini, dibandingkan dengan GM masa Orba. Gerak GM tentu akan lebih lancar mengingat sebagian dari kita sudah masuk dalam sistem pemerintahan. Kita sedikitnya akan tahu apa yang terjadi didalam pemerintahan melalui senior-senior kita.

Jika GM terdahulu melawan tanpa adanya bantuan dari dalam dan terbukti berhasil, maka hal serupa juga harus terjadi di GM masa kini. Jika diandaikan lagi, GM masa kini mempunyai orang yang ada didalam benteng yang hendak kita serang. Tentu informan didalam akan mengirimkan informasi situasi dan peta kekuatan dalam benteng. Jika ini yang terjadi, bisa dipastikan kemenangan akan ada di pihak kita, pihak GM. Dengan catatan, strategi dijalankan sesuai rencana dan tidak ada pengkhianat di kubu GM.

Mungkin kondisi diatas hanya terjadi di beberapa GM, lebih tepatnya hanya sedikit oknum yang melakukannya. Karena pada kenyataannya, oknum GM saat lebih senang menjadi “parasit” bagi senior-senior mereka di pemerintahan. Bagaimana bentuk-bentuk parasit tersebut? Ya menggunakan senior-senior mereka untuk mendapatkan keuntungan koloninya. Membanggakan bahwa alumni kita sudah di Senayan, bahwa GM kita merupakan GM yang berpengaruh secara nasional. Hal kecil lainnya, mereka menggunakan jaringan alumni di pemerintahan sebagai jalan kesuksesan karier pribadi, sebagai donatur tetap, sebagai potret kesuksesan GM dalam mendidik kader dan stigma-stigma kebanggaan lainnya.

Selain itu, kondisi internal GM saat ini juga cenderung memprihatinkan. Lihat saja kelakuan oknum-oknumnya. GM dijadikan ajang kumpul-kumpul, mencari teman, kendaraan untuk kesuksesan karier, cari pasangan dan sesekali buat diskusi. Label aktivis didapatkan bukan karena oknum GM ini benar-benar melakukan kerja seorang aktivis, melainkan hanya karena tergabung dalam suatu GM. Ya, biar dikatakan “aktivis mahasiswa” oleh teman-teman kuliahnya. Padahal, kita tahu sendiri, bagaimana model gerakan mereka saat ini. Contoh kecilnya di kampus ini, UIN Sunan Kalijaga. GM yang ada hanya sebagai tempat “ngeksis” anggotanya tanpa aktivitas yang aktif. Sekalinya melakukan demonstrasi terjadi chaos, bentrok dengan aparat dan merusak fasilitas umum/kampus. Ditataran intelektual, dalam satu organisasi GM itu, berapa sih yang paham akan teori kiri misalnya, atau yang paham teori-teori resolusi konflik? Jawabannya pasti bisa dihitung dengan jari tangan. Selebihnya? Sibuk ngopi bung !.

Maka dari itu, selain reformulasi gerakan GM, kesadaran diri akan posisi dan kondisi mutlak dicanangkan. Jika menilik kepada tesisnya mbah Gramsci, setiap kita adalah intelektual dan seorang intelektual harus paham betul dari mana dan kemana seharusnya bergerak. Harapan mbah Gramsci, kita seharusnya menjadi intelektual organik, intelektual yang mau kembali ke komunitas masing-masing dan berjuang bersama melawan penindasan. Intelektual yang tahu apa yang harus diperbuat dengan kemampuan akalnya. Bagi seorang intelektual organik, tantangan besarnya hanya satu : seberapa kuat dan bisa kita melawan arus pasar yang sudah begitu mengakar di masyarakat. Melawan atas tindakan mayoritas publik yang berarti juga melawan kuasa pemerintahan. Jika ini bisa dilakukan, maka kita akan menjadi orang-orang yang beruntung, seperti kata pujangga dari Kraton Solo, R. Ronggowarsito :

Saiki jamane jaman edan, sopo seng ora edan ora keduman. Ananging sak bejo-bejone manungso, iseh bejo wong kang eling lan waspodo( Sekarang zamannya zaman edan, siapa yang tidak edan tidak akan kebagian, namun seuntung-untungnya manusia adalah manusia yang selalu sadar dan waspada”).

Allahu Akbar ! Halleluya ! Semoga Tuhan memberkati saya, Anda, mereka dan kita semua.

 

*) Anggota Komando “Koalisi Mahasiswa Nyaris DO” chapter Arena dan (bukan) seorang aktivis