Oleh: Lembah Merah*)
Demi darah yang tumpah. Demi ibu pertiwi yang hampir mati. Dan demi doa-doa yang sia-sia. Celakalah orang-orang miskin yang tinggal di Indonesia.
(Kitab Kematian, Surat Al-Kantin, Ayat 66-69).
Maaf, jika tulisan ini lancang. Orang miskin memang masih banyak yang tidak membaca, makanya saya yang membacanya. Ya, saya.Orang kuliahan!
Kita tahu, masih banyak pemuda yang tak bisa kuliah. Mayoritas karena biaya. Soalnya kuliah tidak gratis. Kebanyakan perguruan tinggi malah tak terjangkau biayanya untuk masyarakat kelas bawah. Sehingga, hanya orang berduit saja yang punya kesempatan lebih untuk berkuliah.
Apalagi untuk jurusan yang banyak praktikumnya seperti kedokteran. Biayanya selangit. Jadinya yang berhak jadi dokter adalah mereka yang berduit. Dan karena untuk jadi dokter kuliahnya mahal, maka biaya kesehatan pun jadi mahal.
Orang miskin memang dilarang sakit, apalagi sakit yang aneh-aneh. Orang miskin yang sakit akan kesulitan berobat sebab berobat mahal harganya. Memang ada keringanan dari negara lewat jaminan kesehatan, tapi selain ngurusnya surat-menyuratnya sangat ribet akibat birokrasi pemerintahan yang amburadul dan korup, juga di rumah sakit harus antre dan pelayanannya asal-asalan, seperti tidak dianggap orang. Tak jarang orang miskin yang sakit parah keburu mati. Atau, ketika ia tak sabar mengurus tetek-bengeknya agar gratis, maka ia akan pilih bayar. Ia menghutang kanan-kiri atau rentenir. Karena tidak bias bayar hutang, kemudian stres. Akhirnya malah bunuh diri.
Orang miskin juga susah untuk jadi ahli (semisal teknokrat), atau jadi pejabat. Sebab jadi ahli atau pejabat butuh biaya, butuh juga berpendidikan lebih tinggi yang hanya bisa dijangkau orang kaya.
Orang miskin yang kerja di kantoran paling-paling jadi pesuruh. Kalau kerja di pabrik jadi buruh. Dan mereka kerjanya kasar, tapi dengan gaji lebih sedikit. Juga salah sedikit saja bisa kena damprat atau hukuman dari atasan. Tak jarang dengan kekerasan. Mereka mau menuntut gaji lebih tinggi juga takut dipecat. Padahal cari pekerjaan susah. Dari sini kita tahu bahwa posisi mereka sangat lemah. Maka, upah buruh susah naik. Jaminan kesehatan tak didapat.
Mengapa biaya pendidikan dan kesehatan tidak gratis? Karena, katanya negara tidak kuat menanggung biayanya. Karena pendapatan negara kurang banyak, belum lagi dari yang tidak banyak itu dipotong ongkos korupsi. Karena lagi sumber daya alam yang ada lebih banyak dikuasai kapitalis asing. Dan penguasaan itu dilindungi undang-undang, atas nama investasi asing dalam rangka mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan. Dan apparatus negara (seperti polisi dan militer) wajib membela undang-undang. Sehingga kalau ada yang protes, semisal demonstrasi di jalanan, merekalah yang dijadikan tameng.
Karena Undang-Undang kita adalah berkiblat pada kepentingan kaum kapitalis, maka akan lebih menguntungkan mereka, bukan menguntungkan rakyat miskin. Dan mayoritas rakyat miskin tidak protes sebab tidak tahu. Rakyat bodoh dan dibodohi terus sebab tidak berpendidikan. Karena biaya pendidikan tidak terjangkau.
Kalaupun mereka berpendidikan, pendidikan yang ada juga tidak meyadarkannya atas realitas sosial yang ada. Mereka malah didoktrin untuk berkompetisi. Siapa menang, akan terentas dari kemiskinan. Pendidikan memang malah melanggengkan kasta.
Orang miskin di Indonesia memang celaka-celakanya orang miskin.
Orang miskin di Indonesia dilarang hampir apa saja. Seperti dilarang sekolah, dilarang pintar, dilarang jadi pejabat, dilarang jadi dokter, dilarang sakit, dan seterusnya.Bahkan dilarang mati seperti di kota-kota besar saat tanah kuburan juga mahal harganya.
Selain itu juga ada anggapan kalau orang miskin akan cenderung masuk neraka sebab lebih dekat dengan kekafiran. Mereka lebih mudah mencuri, mencopet, merampok, melacur. Mereka jarang sedekah, jarang nyumbang masjid, dan tidak pernah naik haji. Mereka sering juga tidak beribadah, tidak solat dan puasa, sebab sibuk kerja banting tulang. Ah…, orang miskin, saat negara meninggalkanmu, apakah Tuhan juga abai kepadamu? Malang nian nasibmu.
Ditakdirkan Miskin?
Lalu, mengapa ada orang miskin? Ada yang menjawab: takdir. Tapi tidak ada satu pun orang normal yang bercita-cita jadi orang miskin. Apalagi lalu berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-cita itu,seperti halnya dengan tiada orang yang ingin bodoh. Artinya, menjadi miskin adalah adalah bukan suatu yang dikehendaki masyarakat.
Miskin dan kaya selalu dikaitkan dengan kepemilikan atas harta benda. Yang banyak memiliki disebut kaya, yang tidak disebut miskin. Lalu dengan hartanya orang kaya akan lebih mudah mencapai cita-citanya. Orang kaya akan lebih mudah pintar dan berkuasa. Dan dengan kepintaran dan kekuasaannya ia bisa jadi tambah kaya, atau minimal mempertahankan kekayaannya. Sementara orang miskin akan lebih susah menjadi pintar dan berkuasa. Ia akan jadi bodoh, dan karena kebodohannya jadi susah cari pekerjaan dan jadi tetap miskin. Ia tetap tidak bisa mengambil kebijakan secara luas untuk mengentaskan kaumnya sendiri, sebab ia tidak berkuasa.
Lantas apa itu kepemilikan? Mengapa kepemilikan dilegalkan? Mengapa sejak adanya pelegalan kepemilikan, semakin banyak orang yang jadi pengangguran dan terjerat kemiskinan? Mengapa kian lebar pula jurang ketimpangan? Dari sini mungkin kita bisa mulai baca-baca kitab suci Karl Marx, atau Mikhail Bakunin. Siapa tahu dapat wahyu. Lalu kegelapan ini bisa tersingkap.
Gajah Wong, 7 Oktober 2014
*) Penulis adalah salah satu dari pendiri Ordo Jemaat Kantin bersama Pongge Goegoex, Raden Mas Sibe, Jabarantha.