Oleh: La_Cundekke*
Tulisan ini mencoba mengulas suatu tema di luar disiplin ilmu yang penulis lakoni. Oleh karenanya dalam tulisan ini secara perlahan-lahan akan memaparkan atau membongkar relasi kuasa yang menyelimuti kesadaran kita sebagai rakyat, atau setidaknya tulisan ini sedikit banyaknya bisa membantu untuk memahami relasi kuasa yang membentuk tatanan sosial hari ini.
Pertama-tama, kita perlu mengetahui dan mendefenisikan tatanan sosial tempat kita berada. Peletakan pondasi atas kondisi riil tatanan sosial saat ini adalah manusia terjerumuskan dalam kutukan eksplotasi ekonomi, perbudakan politik, dan sosial. Dari proses itu maka kita akan melihat kontradiksi yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Di wilayah ekonomi sendiri, masyarakat berhadapan langsung dengan kesenjangan yang sangat tinggi antara yang miskin dan yang kaya, atau dengan kata lain ditengah-tengah kesejahteraan, kemakmuran, dan kekayaan. Di kondisi seperti ini terdapat reproduksi kemiskinan dan kesengsaraan yang terus menerus terjadi. Sementara diwilayah politik hanya terjadi perebutan kekuasan yang mana para pelaku politik hanya menghamba pada kekuasaan untuk menyejahterahkan diri, kelompok dan golongannya. Di wilayah sosial terbangun satu bentuk relasi untung-rugi atau biasa disebut dengan istilah transaksional. Hal ini disebabkan atau dibentuk berdasarkan karakteristik masyarakat modern yang didasarkan pada motif keuntungan (profit motive).
Hasrat untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda menjadi prioritas dalam menjalin suatu hubungan kemasyarakatan, sehingga dalam memenuhi hasrat tersebut hal mengenai moralitas tidak lagi diberlakukan sebagaimana mestinya. Tatanan moral akhirnya tidak bisa menjadi piranti untuk menahan hasrat tersebut. Jadi, demi terpenuhinya hasrat, segala cara akan dilakukannya. Bahkan terkadang hal yang dilakukan itu akan merugikan banyak orang, semisal perampasan hak milik orang lain yang mengakibatkan kemiskinan merajalela.
Kemiskinan bukanlah hal baru dalam masyarakat. Secara historis kemiskinan sudah ada sejak dulu, tapi bukan berarti kemiskinan itu merupakan takdir sejarah atau takdir Tuhan, melainkan keberadaan struktur hak kepemilikan pribadi dalam hal alat produksi. Siapa yang mengatur sumber daya dan siapa yang tidak. Dimana hal itu berada pada dasar kepemilikan pribadi tersebut atau dengan kata lain relasi kuasa.
Relasi Kuasa
Relasi kuasa telah menjalar di segala sektor kehidupan sosial, terlebih dalam konteks ekonomi. Secara kasat mata kita bisa melihat operasi relasi kuasa itu terjadi adalah apa yang terjadi di pasar. Misalnya kita berjalan menuju pasar dengan motif ingin membeli suatu barang dengan harga yang sangat murah. Pun terjadi pada pihak lain seperti pedagang, ia menuju pasar dengan motif ingin menjual barangnya dengan harga yang mahal. Hal itu kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, proses transksi ekonomi yang terjadi di pasar merupakan hal remeh temeh dan terkadang luput dari analisa kita. Padahal dalam ilmu ekonomi konvensional mengistilahkannya sebagai supply and demand.
Hal itu mengasumsikan bahwa penawaran sama dengan permintaan, sehingga proses produksi dan distribusi bisa berjalan lancar dan kondisi perekonomian tetap stabil. Sejauh ini pandangan kita mengenai sirkulasi ekonomi dalam pasar memang stabil dan tidak sedang terjadi sesuatu atau tidak terjadi pemiskinan. Padahal perkembangan sejarah telah membuktikan bahwa naluri pasarlah (akumulasi dan eksploitasi) yang menciptakan segala ketimpangan dalam tataran sosial dan hal itu juga telah mendistorsi nilai-nilai humanitas manusia.
Sebagai contoh bahwa pasar telah melegitimasi kehidupan manusia yaitu kemiskinan terjadi dimana-mana, krisis, dan lain-lain. Tidak hanya itu, bahkan masuk dalam sistem keluarga. Sistem keluarga mengalami pergeseran pengertian menjadi transakisonal, serta sistem nilai pun mengalami kemunduran, begitupun dalam sistem politik.
Lantas, bagaimanakah kita mengartikan semua kerakusan pasar hal diatas? Yang penyebabnya adalah kerakusan pasar. Mengapa hal ini terjadi? Krisis yang terjadi pada saat yang bersamaan juga menghantam proses sejarah kita dalam bernegara, atau bahkan hal ini membenarkan asumsi Fukuyama bahwa kita berada pada akhir sejarah?
Meskipun teori konflik menunjukkan kepada kita bahwa konflik utama yang dihadapi bukanlah “seluruh dunia melawan Barat” seperti yang di asumsikan Huntington.Ataupun “akhir sejarahanya” ala Fukuyama atau Amerika yang sedang mengalami krisis yang berkepanjangan dalam pangan Paul Kennedy. Melainkan dominasi dan perebutan atas alat produksilah yang menjadi poin utama dalam perkembangan sejarah mutakhir.
Mengenai proses sejarah yang sedang terjadi, tentunya harus dilakukan suatu evaluasi dan kritik terhadapnya, tidak serta merta membiarkan semua itu terjadi begitu adanya. Ketika kritik itu dilakukan maka asumsi yang ditemukan adalah krisis terjadi bukan berarti kegagalan pasar yang tidak mempu mengatasi persoalan, melainkan keberhasilan pasarlah yang mengakibatkan hal ini terjadi.
Pasar merupakan tanda dari tatanan sosial kita hari ini, atau dengan kata lain kita berada pada fase perkembangan sejarah kapitalisme. Ketika kita memperhatikan laju perkembangan sejarah selama kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu, maka proses yang disebut pembangunan atau pembentukan kekayaan yang sangat luar biasa.Pada waktu yang bersamaan terjadi pula proses pemiskinan. Bahkan pembangun seiring dan sejalan dengan ketertinggalan. Dalam pengertian tertentu bahwa pembangunan tidak selalu menuju pada kesetaraan, bahkan pembangunan ekonomi sebenarnya merupakan jalan dan akan mengantarkan kita pada kemunduran atau keterbelakangan.
Dalam dua puluh tahun terakhir terjadi kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Kesejangan ini terjadi berbarengan dan terus meningkat, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kemiskinan tumbuh subur ditengah-tengah kesejahteraan, dan kedua hal itu saling terkait satu sama lain. Kedua hal tersebut hidup berdampingan, dan tidak menutup kemungkinan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari upaya-upaya pembentukan kesejahteraan.
Posisi Indonesia
Lantas, bagaimanakah kita memposisikan negara Indonesia di hadapan peta kekuasaan yang telang berlangsung saat ini? Atau bagaiamana semestinya masyarakat dan negara mengambil posisi dihadapan kekuatan pasar? Karena di satu pihak kita berhadapan langsung dengan yang di istilahkan oleh Alvin dan Toefler “gelombang ketiga” atau post-industri. Dan di sisi yang lain kita menghadapi Indonesia di penghujung nasibnya.
Pada tataran globalitas, gelombang ketiga di asumsikan sebagai masyarakat post-industri dan akan meyapu bersih sejarah dan akan melangsungkan dirinya selama beberapa dekade. Dan karenanya itu kita telah terlanjur hidup diatas bumi yang eksploitatif ini, merasakan penuh dampak sepanjang sejarah hidup kita.
Pada tataran nasionalitas, negara belum mampun mengambil peran penting dan tidak bisa mengambil keputusan untuk berbicara pengelolaan sumber daya yang tersimpan dibumi pertiwi. Negara hanya menjadi pelayan yang baik bagi pasar dan tidak mampu menjadi gelombang kedua (masyarakat industri). Serta pada tataran lokalitas, basis produkis masyarakat belum terumuskan secara pasti dan jelas. Sehingga pada faktanya kita masih gagap ketika berbicara mengenai kesejahteraan dan perubahan sosisal.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Suka.