Lpmarena.com, Saat ini, ada semacam budaya yang mewajibkan istri untuk mengikuti suami dalam berbagai aspek, tak terkecuali ideologi. Akibatnya, istri selalu mendapatkan imbas dari apa yang menjadi pilihan suami. Hal-hal semacam inilah yang harus diterima para istri teroris. Dalam keseharian, para istri teroris turut mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dari pemerintah maupun masyarakat sekitar.
Fenomena ini diungkapkan Abidah El Khalieqy dalam launching dan bedah buku karyanya berjudul Akulah Istri Teroris di Teatrikal Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu pagi (15/11). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Saya berusaha untuk menyerukan suara-suara orang yang dimarjinalkan (istri teroris-red),” ungkapnya.
Dalam buku tersebut, Abidah mengisahkan kehidupan sehari-hari tokoh utama bernama Ayu. Ia mendapat perlakuan diskriminatif hanya karena ia istri seorang teroris. Ayu mendapat pandangan sinis dan dikucilkan para tetangganya.
Dalam pemaparannya, Abidah mengaku tertantang untuk menulis persoalan terorisme dari perspektif yang berbeda, mengingat kebanyakan buku terorisme fokus pada terorisnya (laki-lakinya). “Saya tertantang untuk menulis dari sisi istrinya, apalagi saya tidak tahu banyak soal teroris. Jadi ini merupakan tantangan buat saya,” ujarnya.
Untuk menambah pengetahuannya terkait terorisme, Abidah melakukan riset langsung di Kota Poso, Sulawesi Tengah selama beberapa hari. Poso yang dikenal dengan persoalan terorisme ini, disana Abidah melakukan observasi dan wawancara dengan para mantan teroris dan aparat yang selama ini menangani kasus terorisme.
“Di Poso, kebanyakan teroris dan istrinya hanya lulusan SMP (Sekolah Menegah Pertama), suaminya tidak sepenuhnya tahu apa yang dia lakukan, begitupun juga istrinya. Jadi mereka juga korban,” ujarnya.
Dengan diterbitkannya buku ini, Abidah berharap ada perubahan sikap di masyarakat dalam melihat istri teroris. “Setiap orang bebas untuk memilih jalan hidupnya, dia mau berpakaian tertutup, bercadar, atau terbuka. Kita tidak boleh men-stigma macam-macam hanya karena dia bercadar,” harapnya. (Folly Akbar)
Editor: Isma Swastiningrum