Oleh Dhedhe Lotus*)
Kau tahu, kenapa senja terasa begitu indah? Karena pada saat itulah, konon Adam dan Hawa berada di surga.
1
Dua gadis kecil duduk berhadapan di samping kanan dan kiri sebuah perahu lesung, di belakang mereka duduk ayah dan ibu si dua gadis kecil. Tak ada suara percakapan di antara mereka kecuali pernyataan-pernyataan tidak penting si tukang dayung. Nampaknya keluarga itu memang sangat menikmati senja di atas sungai-yang hanya memakan waktu beberapa menit saja, atau barangkali mereka sedang mengungkapkan salam perpisahan.
Memang ini bukan yang pertama kalinya mereka menaiki lesung, tapi bisa jadi ini yang terakhir kali, sebab entah berapa tahun lagi mereka bisa berkunjung ke tempat itu. Sebuah tempat terpencil di mana ayah dilahirkan. Di sana menyimpan berbagai kenangan pahit masa lampau yang kini dan esok bisa jadi terasa lebih berkesan untuk diceritakan kepada anak keturunan.
“Kunjungan kalian berikutnya, kalian tidak akan lagi menjumpaiku dengan perahu lesung ini.” Tiba-tiba ucapan tukang dayung memecah keheningan. Mungkin tidak penting, atau tak rela meninggalkan moment sedikitpun, lantas mereka tetap terdiam, tak menyahut dan tetap terhanyut. “Tahun depan di atas sungai ini akan dibuat sebuah jembatan untuk mempermudah proses pembangunan daerah tertinggal. Jadi setelah jembatan nanti dibangun, perahu ini akan segera aku gudangkan,” ungkap pendayung lesung dengan sedikit terkekeh, seperti ada bagian tubuhnya yang tersayat.
Penyebrangan telah sampai, namun suasana tetap hening. Masih tak ada percakapan di antara mereka berempat. Mereka terus melakukan perjalanan pulang membawa perasaan kehilangan yang semu. Mungkin tidak penting, tapi perahu lesung itu bagi mereka adalah sebuah moment. Moment kepulangan yang begitu terasa purba. Mereka tak pernah tahu bagaimana memerankan sebuah drama melankolis, tapi mereka merasakan betapa saat itu terasa menyedihkan hingga membungkam segala suara yang hendak mereka ungkap. Seolah masing-masing mengerti dan merasakan kehilangan yang sama.
2
Dua hari aku telah mengasingkan diri, mematikan segala komunikasi dari luar: Hp, internet dan segala bentuk komunikasi lainnya. Bisa jadi ini yang dikatakan bersemedi, berharap bisa menemukan pencerahan seperti yang dilakukan Sidharta di bawah pohon Bodhi. Sebenarnya aku tak pernah berniat sekalipun untuk melakukan pengasingan ini. Aku hanya ingin membuang penat, mencari suatu tempat yang nyaman untuk menyapukan kuas. Namun sore itu terlalu sayang untuk ditanggalkan.
Sebuah vila tua berada di puncak, di bawahnya terdapat danau yang mulai mengering dijemput kemarau, di situlah aku mendekam untuk beberapa hari. Aku tak membawa sehelai bajupun selain apa yang melekat di badan. Kaos putih kumal dengan celana pendek jins robek dan sebuah jaket, itulah yang aku kenakan beberapa hari. Tanpa mandi, tanpa sikat gigi, dan hanya ke kamar mandi kala buang air kecil dan tinja.
Kamarku makin sembab oleh kepul asap rokok. Di sudut jendela tempat biasa aku jadikan tongkrongan, tergeletak beberapa botol kosong bekas alkohol. Pakaian kujemur di jendela, sedang tubuhku, ku biarkan telanjang apa adanya. Di atas ranjang kusam, aku tertidur bermimpikan Naomi, penyanyi cafe yang pernah kutiduri seminggu yang lalu.
Sudah tiga hari, tapi tak satupun kanvasku terpenuhi, hanya otakku penuh maki dan caci, teringat kembali dengan beberapa wanita yang pernah kuajak bercinta. Si juleha, kembang desa teman SMA. Rani, kawan nongkrong di warung kopi. Sekar, penyair wanita yang juga hobi bercinta. Padma, Dewi dan wanita-wanita lain yang bahkan belum kukenal namanya. Satu persatu mereka datang menghantuiku. Atau siapa lagi? gadis-gadis putih mulus di tempat lokalisasi, tante-tante girang kesepian, dan entah sudah berapa kali. Aku menikmati tapi setelah itu aku mengutuk diri. Aku mendapatkan seribu wanita, tapi aku juga harus kehilangan Nayla, pacarku yang selalu kujaga kesuciannya.
“Kamu memang seorang pencinta sayang, aku tahu sejak lama, tapi aku hanya menunggu untuk kamu tahu bahwa aku sudah tahu,” katamu di Sabtu sore itu. Aku diam dan mengiyakan apa yang dia katakan. Bagaimana tidak, gadis baik yang kucintai itu telah ku khianati puluhan kali, dan puluhan kali itu juga ia bersabar menunggu perubahanku. Dan kesabaran itu akhirnya memuncak. Ia memutuskan untuk putus, dengan senyuman, pelukan dan kecupan berkali-kali yang ia daratkan di sekujur tubuhku. Betapa selama ini aku menyia-nyiakan seorang malaikat. Aku tahu, sekali ia memutuskan pergi ia takkan pernah kembali.
3
Namaku Nayla, umurku baru 23 tahun, dan aku seorang novelis. Menjadi seorang pengarang membuatku hidup dalam keterasingan. Ada banyak hal yang membuat orang lain bahagia tapi merupakan kesedihan untukku, begitu pun ada banyak hal yang membuat orang lain sedih tapi sebuah kebahagiaan untukku dan banyak hal lain yang membuatku semakin merasa aneh di hadapan orang-orang terdekat. Keluarga, sahabat, mereka semua menentang keinginanku. Ah, tidak. Akulah yang lebih tepat menantang mereka.
Aku memang aneh sejak kecil. Aku tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan pembangkang. Masa kecilku kulalui dengan kurang ajar. Selalu saja merepotkan orang tua untuk datang menghadiri undangan dari kepala sekolah. “Selamat tinggal, aku harus hengkang dari penjara ini,” kata terakhir yang selalu aku ucapkan ketika akhirnya aku dikeluarkan. Semacam ada kepuasaan tersendiri. Aku memang tak suka sekolah, hobiku bolos dan menyendiri di perpustakaan. Bacaanku hanyalah novel dan cerpen. Pindah sekolah berkali-kali sampai aku lulus SMA dan kabur dari rumah
Tiga tahun yang lalu sebelum akhirnya aku pergi, aku mengenal seorang lelaki yang membuatku tergila-gila akannya. Ia memang tak sesempurna lelaki yang biasa diidamkan para wanita. Tidak, dia berbadan kurus, kecil, gondrong dengan tampilan semrawut dan urakan. Jauh sekali dengan pacar kakakku yang seorang dokter, ganteng dan rapi. Aku menyadari semua itu, bagaimana orang tuaku membandingkan keduanya, bagaimana kakakku dengan bangga menyombongkannya, bagaimana sahabat-sahabatku memandangnya dengan sangat jijik dan nontoleran. Aku tahu apa yang mereka inginkan, tapi aku tak pernah tahu alasan yang tepat kenapa aku mencintainya.
Kenapa aku mencintainya? Aku tak tahu. Tapi ia selalu bisa menjawab apa yang aku tanyakan tentang kehidupan, ia selalu tahu bagaimana memperlakukanku dengan sangat istimewa, ia selalu berhasil menjawab puisiku dengan sangat mengagumkan. Ia…terasa tepat dan sempurna untukku saat itu.
Tapi tahukah, meski telah banyak hal aku tinggalkan untuknya, sejauh ia melangkah aku berada di sampingnya, tetap tak ada jaminan untuk sebuah kesetiaan. Lelaki yang dahulu aku anggap sempurna, nyatanya kini ia tak lebih dari sekedar bajingan. Sayangku mungkin terlalu sempurna hingga ia menganggap aku malaikat. Selama ini aku bungkam, bukan karena aku terima segala perlakuan tidak adilnya, melainkan aku hanya ingin ia sadar dengan sendirinya bahwa apa yang selama ini ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Siapa yang tak sakit jika pacarnya sendiri bercinta dengan gadis lain, gadis-gadis murahan di tepi jalan.
Aku tak marah atau benci, tidak. Aku tak pernah bisa melakukannya, dan aku masih mencintainya seperti ketika pertama ia membuatku jatuh cinta. Tapi aku faham jika ini jalan kehidupannya. Aku hanya tak sanggup untuk terus bersama. Kita berpisah, tapi cinta kita tetap tak pernah berkurang. Aku mencintainya dan ia mencintaiku dengan cara masing-masing.
Seminggu yang lalu, aku memutuskannya di sebuah senja di tepi pantai. Masih dengan pelukan erat dan kecupan lembut di bibirnya yang tipis.
4
Namaku Nayshila, seorang ibu rumah tangga bersuamikan seorang dokter kaya raya, hidupku tak pernah kekurangan sedikit pun. Secara fisik hampir keseluruhan sempurna. Tapi nyatanya tidak demikian seperti yang oleh orang-orang fikirkan. Hidupku tak sesempurna itu. Ada banyak cacat yang tentu aku sembunyikan dari siapapun.
Tak pernah tersirat dari benak, hingga suatu malam di malam pertama ia mengajukan syarat kala kita hendak bersenggama. Aih, rasanya teramat sakit, bukan hanya karena untuk yang pertama kalinya, tapi sekujur badanku di buatnya babak belur. Spontan, sesuatu yang selalu aku sakralkan tentang kesucian, tentang malam pertama menjadi hanyut tak bermakna. Ingin rasanya aku menjerit dan berkata dengan lantang bahwa suamiku tak sesempurna yang mereka bayangkan. Malam pertama; malam penuh siksa dan dera.
Ia memang seorang dokter, tapi profesi dokter tak menjamin ia bersih dari kelainan. Sedangkan ketika aku ingin bercerita, aku ingin menangis, aku tak memiliki tempat dan ruang. Ada banyak teman yang aku punya, tapi bukan teman yang bisa diajak berduka. Mereka bukan tipe orang yang akan bersimpati terhadap kenestapaan. Aku ingin bercerita kepada ibu, tapi ia terlanjur bahagia menganggap aku bahagia. Dan adik kembarku, lama kita tak bertegur sapa. Barangkali ia telah hidup bahagia mengikuti pacarnya.
Adikku, dadaku semakin sesak mengingatnya. Kuakui, aku merasa sangat menyesal menjadikannya terasing dari keluarga. Sebab akulah ia pergi, sebab akulah yang terlalu berbangga diri dengan calon suami yang aku tahu tidak ia miliki. Keangkuhan membuatku lupa aku memiliki kembaran. Tapi kini ia telah pergi, dan aku tahu ketika ia memutuskan untuk pergi, ia takkan pernah kembali.
***
Secangkir teh untuk senja di sebuah beranda. Pekerjaan tiap hari untuk menunggu suami tiba sepulang kerja. Sampai detik ini aku masih setia? Jawabannya tentu saja iya. Sebab aku mencintainya. Aku memutuskan untuk bertahan. Aku yakin, pelan-pelan ia akan tersembuhkan. Tak perlu aku mengikutsertakan orang-orang, biarlah ini menjadi rahasia perjalanan rumah tangga kami.
Aku pikir ini semua sudah cukup untuk memberitahuku bahwa sombong dan angkuh, ada saatnya runtuh. Aku menunggu ia pulang, aku menunggu kelainannya tersembuhkan, aku menunggu adik kembarku kembali. Itu saja. Hidup akan kembali berarti.
1.2.3.4
Di sebuah jembatan yang lengang, aku memandangi air sungai yang mengalir begitu tenang, sedang sore nampak temaram dengan senja yang telah bersiap untuk pulang keperaduan. Akupun lelah dan bersiap pergi mencari penginapan.
“Rupanya senja telah pulang nay.” Terdengar sapa halus seorang wanita di belakangku setelah beberapa menit kemudian. Suara yang masih begitu akrab memekakan telinga. Aku mendengus lelah dan membalikkan badan.
“Hanya senja yang pulang, tapi tidak untuk diriku” jawabku tenang, setenang air mengalir di bawah jembatan.
“Kau tak ingin pulang?” tanyanya memelas.
“Aku pikir kau sudah tahu jawabanku,” jawabku datar menambah keheningan.
“Maafkan aku Nay, pulanglah, sekedar menjenguk ibu dan ayah”
“Aku takkan pernah melupakan mereka Shila, bahkan kedatanganku kali ini untuk menjemput kenangan masa lampau. Saat aku, kau, ayah beserta ibu menyebrangi sungai ini dengan perahu lesung. Kau masih ingat itu?” aku menatap matanya kosong, tak tahu harus bagaimana meski sebenarnya di dalam hati berkecamuk banyak hal, rindu yang tak pernah tertunaikan, marah yang tak pernah usai. Ia menghambur memeluk tubuhku yang kurus. Aku terdiam, tak menghiraukan air matanya yang tumpah.
“Katakan nay, apa yang harus kami lakukan?” tanyanya dengan serengek tangis.
“Katakan bahwa hidup kalian telah sempurna dan kalian tak butuh aku”
Ia terdiam, dan air matanya kian menderas membasahi pundakku. Aneh, apa yang terjadi dengannya, bukankah ia sendiri yang sesumbar akan kesempurnaan yang ia miliki? Rutuk batinku kacau.
Seberapapun aku pernah membencinya, kenangan masa kanakku terlampau indah untuk di lupakan. Pelan-pelan air mataku ikut berlinang. Akhirnya tanganku membalas pelukannya. Jadilah kita sepasang kakak adik yang saling menangis dan berpelukan.”Aku hanya belum siap untuk pulang sekarang Shila, beri aku waktu. Aku tak mau memaafkan karena aku tahu tak ada yang perlu untuk dimaafkan. Kamu, aku, ayah dan ibu salah. Semuanya salah. Aku rindu, sangat rindu tapi tidak untuk sekarang aku pulang” Kataku halus. Nayshila diam tak mengerti.
Kulepaskan dekapku dari tubuhnya, “Aku kini sendiri, sudah tak ada lagi lelaki yang memberatkanku untuk kembali, aku pasti pulang, tapi tidak untuk sekarang,” timpalku menjelaskan. Dan aku langsung bergegas pergi menghindari pertanyaannya yang sedang tak ingin kujawab.
-Senja yang sempurna, untuk ketidaksempurnaan-