Oleh Pongge “Goegoex” Harianto
Sebelum memulai membaca tulisan ini, perlu kiranya anda harus berasumsi dulu. Asumsi apa, siapa dan bagaimana ustadz menurut Anda. Bonusnya, Anda bisa menganggap tulisan ini sebagai ‘yang serius’ atau sekedar hujatan belaka. Posisikan tulisan ini seenak-enaknya menurut Anda. Woles ae Jhon.
Anda semua tentunya salah seorang penikmat media saat ini, entah media cetak atau elektronik. Lebih tepatnya Anda setidaknya berjelajah via media sosial (medsos). Yo, katakanlah Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp dan semacamnya.Atau justru Anda masih punya akun jadul, Friendster. Di medsos itu, banyak sekali info yang bertebaran setiap detiknya, salah satunya mengenai profil atau berita tentang ustadz. Orang yang katanya (di era saat ini), paling dekat dengan Tuhan. Orang yang selalu anti-maksiat. Tak ada kegiatan rutin selain ceramah, ibadah, sedekah dan kegiatan ritual keagamaan lainnya. Dalam urusan ibadah, sang ustadz-lah yang paling jos gandos saat ini. Kiranya seperti itu. Extra Ecclesia nulla Ustadz.
Fakta di Indonesia hari ini, khususnya di dunia media elektronik, sang ustadz kian memenuhi ruang tersebut untuk berdakwah. Dakwah ukhrowi (akhirat) dan terkadang juga dakwah duniawi (bisnis). Butuh data? Tengok saja stasiun televisi di negeri ini. Setiap hari, seakan tidak ada yang melewatkan program-progam ceramah. Itu, acara di pagi-pagi buta, selalu menyuguhkan acara-acara rohani. Pasar untuk seorang ustadz kian menjanjikan. Ustadz itu menjadi potret kesuksesan dunia dan akhirat saat ini. Saat ini“sempurna” tidak hanya milik Tuhan dan Andra n The Backbone, tetapi juga milik seorang ustadz. Good Job guys.
Saya jadi teringat apa yang diucapkan oleh Harold Titus dan orang-orang Barat mengenai kita, mengenai Dunia Timur. Orang Timur itu (termasuk Indonesia) bercirikan religius, komunal, bertradisi, berbudaya dan cenderung primitif. Religiusitas menjadi pemantik dan pemicu masyarakat untuk bergerak. Menyinggung atau mencaci sisi religiusitas, merupakan perbuatan terkutuk bagi orang Timur. Modernisme dan radikalisme akan berkembang di Timur selama tidak menentang sisi-sisi religius. Kiranya seperti itu argumen orang Barat. Saya tidak tahu apa orang-orang di Timur meng-iya-kan klaim dari Barat ini. Semoga saja tidak, eh, terserah lah mau iya atau tidak.
Karakteristik Timur itu sakral. Lebih tepatnya, hati mendominasi akal. Apa-apa harus berawal dari hati nurani. Mungkin para ustadz ini juga berpikir demikian. Berawal dari nurani untuk memberikan siraman rohani dan berbagi pengetahuan/pengalaman tentang agama. Ya, selain untuk menguatkan keimanan para jamaahnya, bisa jadi ini berawal dari aji mumpung. Mumpung ada yang memfasilitasi (TV dan minat terhadap pasar dakwah)tinggi, apa salah jika memanfaatkan moment ini untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
Efek dari kedua hal tersebut (share dan tawaran pasar) menyebabkan banyaknya ustadz baru yang terus bermunculan. Di sisi dakwah, semakin banyak saja orang-orang yang “nyaris” sempurna dalam bidang keyakinan beragama, dan di sisi ekonomis, tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mencari sesuap nasi. Logika ekonomi sudah diterapkan dengan baik : dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hanya dengan ceramah sekitar 1 jam, pundi-pundi rupiah sudah mengalir dengan sendirinya. Apakah semua ustadz seperti itu? Tentu saja tidak. Di luar sana, tentunya yang tidak terkena sorot media, (mungkin) masih ada ustadz yang memang benar-benar murni berdakwah untuk agama.
Ustadz-ustadz yang bermuculan tersebut, tak perlu-lah paham betul mengenai agama. Yang penting bisa baca Qur’an, bisa menerjemahkan dan beretorika di saat ceramah. Tak hanya materi yang harus dikuasai, tetapi juga audiens. Bagaimana membuat jamaah semakin tertarik untuk mengikuti ceramah-ceramahnya. Standar untuk seorang ustadz, semakin hari semakin mengalami degradasi. Tak perlu sufi-sufi amat untuk jadi ustadz. Kan sekarang zamannya sudah berbeda dengan zaman-nya Nabi. Dulu tidak ada TV, radio, handphone, komputer, kendaraan bermotor dan kemajuan-kemajuan teknologi lainnya. Sekarang, semuanya sudah ada, serba elektronik. Ya, apa kita harus menolak? Justru kita harus menggunakan kemajuan iptek untuk terus berdakwah.
Saya jadi teringat salah satu kawan yang nyeletuk begini, “ustadz itu adalah orang yang dapat menjaga diri dari riya’ (pamer), wirai dan tentunya dapat menanamkan sifat baik bagi muridnya. Ini saya ambil dari Kitab Ta’limul Muta’allim”. Kawan saya itu kemudian ngoceh mengenai kondisi per-ustadzan saat ini, yang hanya diukur dari kepandaian berceramah dan mendalil. “Kalau mau jadi ustadz atau sufi gampang kok sekarang, pakai aja baju koko putih, peci, sorban putih, berjenggot dan keningmu agak dihitamkan sedikit” adalah beberapa ocehan kawan saya satu itu. Jangankan mau jadi ustadz, lanjut kawan saya itu, mau jadi habib (keturunan nabi) saja sekarang mudah kok, habib lho. Orang mulia lek. Kami tak tahu persis fenomena apa yang sedang melanda hiruk pikuk dunia ustadz, hiburan maupun kondisi keagamaan masyarakat saat ini. Silahkan saja bagi Anda yang mau menganalisis fenomena ini dari perspektif apapun.
Kondisi masyarakat, dalam hal ini antusiasme, turut melambungkan ustadz-ustadz baru. Di saat sang ustadz memberikan ceramah, lautan manusia rela berjubel-jubel untuk mendengarkan tausyiahnya. Seakan tidak ingin meninggalkan moment yang berbau “surga” ini. Apalagi penceramahnya adalah ustadz kondang, kondang karena sering masuk sorot kamera. Istilahnya, ustadz dari ibukota mungkin. Dipastikan akan banyak berkah yang turun. Berkah tersebut misalnya, lakunya barang dagangan penjual dadakan di saat ada pengajian, jamaah (katanya) semakin rajin beribadah setelah ngaji dengan sang ustadz dan bagi pak ustadz, berkahnya berwujud rupiah nan banyak.
Wujud antusiasme masyarakat terkadang menyentuh batas “normal”. Ya, bisa disebut fanatik dan terkadang cenderung radikal. Setiap ustadz seperti memiliki fans. Fans ini akan selalu ada dimanapun sang ustadz berdakwah. Mereka biasanya datang gerombolan sambil membawa bendera kebesarannya (biasanya ada nama ustadz pujaannya). Jika saja pak ustadz yang bersangkutan punya inisiatif untuk jadi politikus, bisa saja 50% suara rakyat akan mudah didapatkan. Jika saja pak ustadz berubah pikiran terhadap profesinya. Oh iya, ustadz sekarang itu punya password sendiri-sendiri lho. Gaya, tindakan maupun omongan yang khas. Dan tindakan/omongan yang khas inilah yang biasanya menjadi umpan untuk menarik minat para masyarakat. Tidak hanya parpol yang punya jargon, pak ustadz pun punya jargon.
Selain membicarakan pahala, amal dan surga, terkadang pak ustadz ini sesekali juga membicarakan urusan duniawi. Misalnya, memberikan arahan untuk hidup sejahtera melalui bisnis. Setiap ceramahnya pasti disisipi kiat-kiat jadi pebisnis sukses. Mungkin ini cara baru seorang ustadz dalam berdakwah. Mungkin saja pak ustadz itu berasumsi bahwa tidak hanya kenikmatan akhirat yang harus diperjuangkan, namn kenikmatan dunia juga layak diperjuangkan. Execellent.
Dari fenomena ini, kami dapat menarik kesimpulan bahwa benar apa yang dikatakan oleh orang-orang Barat mengenai kita. Masyarakat Indonesia itu lebih tunduk dan patuh ketika unsur agama diikutsertakan dalam pembicaraan. Seradikal apapun, jika agama ikut “nimbrung”, radikal-nya jadi terkontrol. Unsur agama memberikan pengaruh yang kuat terhadap sisi-sisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat kita. Pengaruh kuatnya, agama dapat melegitimasi, membenarkan, menarik massa, meyakinkan dan melegalkan tindakan manusia. Agama yang mulanya dianggap sakral dan haram untuk “dikuliti”, justru agama saat ini disakralkan dan dikuliti dalam berbagai bentuk. Bentuknya, antara lain pensakralan acara-acara keagamaan, tokoh agama dan tindakan-tindakan orang-orangnya. Pikir orang saat ini, dari agama bisa mendapatkan banyak keuntungan. Dari agama bisa melakukan tindakan-tindakan abnormal. Dengan membawa nama agama, hal-hal keji pun terkadang juga dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya : Pak ustadz, mana konsepsimu? Dan untuk para jamaah, yuk ngaji lagi, tapi jangan pakai ustadz yang itu.
Anggota Jema’at Thariqat Al Kantiniyyah pimpinan Ahmad Taufiq.