Lpmarena.com, Seorang pria berpakaian hitam menari dengan gemulai dengan selendang di lehernya. Lalu dari arah samping, beberapa sinden menyanyikan lagu Cublak-cublak Suwung disusul Kuda Lumping, dan Walang Kekek.
Lalu segerombolan orang dalam remang-remang berjalan ke arah panggung dengan membawa dupa. Lampu mati dan disusul munculnya seorang wanita setengah baya bernama Mbok Senik bersama seorang pria berkaos putih penunggu makam bernama Pak Rebo. Dua orang ini ngobrol bersama dengan seorang mantan mandor yang dipecat bernama Bongkrek di depan makam keramat, sebuah tempat berbentuk kotak dengan selambu putih yang di dalamnya bersemayam makam Kiai Bakal.
Makam ini sering dilayat orang untuk mengharapkan berkah. Di depan makam itu mereka berbicara tentang kritik sosial terhadap pembangunan pabrik di tempat mereka yang mayoritas dihuni oleh para buruh dan kaum pinggiran.
Begitulah sekilas pembukaan lakon pentas teater berjudul “LENG” karya Bambang Widoyo SP. Naskah drama modern berbahasa Jawa ini selama kurang lebih dua jam mengisi keheningan ruang utama Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Senin (8/12) malam. Pementasan ini diselenggarakan oleh Teater Lungid Surakarta bekerja sama dengan PKKH.
Lakon ini berkisah tentang orang-orang cilik yang menggantungkan hidupnya pada kuburan keramat Kiai Bakal. Juga potret pengangguran, penggusuran tanah, pelacuran, hingga proses kapitalisme. Dimana derita orang cilik disini dibenturkan dengan keinginan kaum pemodal bernama Juragan (sang pemilik pabrik). Juragan selalu paranoid dengan warga setempat.
Pentas ini juga semacam pusaran yang berbicara tentang kemanusiaan. “Kita bicara soal perikemanusiaan. Bagimana pabrik itu kalau tidak hati-hati bisa menjadi bumerang, hanya berpihak pada orang-orang tertentu,” ucap Djarot Budidarsono selaku sutradara pertunjukan saat diwawancari ARENA usai pertunjukkan.
Proses latihannya sendiri berlangsung selama setengah tahun. Lalu, kenapa Djarot memilih naskah Leng? Ia berujar setting dari Leng sangat menarik. “Atmosfer setting-nya luar biasa. Bagaimana sebuah kotak putih di atas panggung bisa bicara tentang banyak hal. Dari ia tertutup hingga terbuka, sangat dinamis.”
Di lakon ini juga, Djarot ingin menekankan tentang manusia, moral, dan kondisi kita yang semakin bebas terhadap bunyi apa pun karena kecanggihan teknologi. “Bicara soal orang yang sekarang makin mudah mencaci. Ini salah satu misi kita bicara soal moral dan menghargai sesama. Bagaimana orang memandang, bukan hanya masalah materi,” kata aktor yang juga pernah mengadakan riset tari di Central National de Dance Contemporaine (CNDC) l’Esquisse, Angers, Prancis tahun 2003 ini.
Hal tersebut turut diamini Faruk Tripoli, sastrawan sekaligus guru besar ilmu budaya UGM, “acara ini membawa kita untuk kembali mengingat dahulu betapa sulit mengucapkan sesuatu,” ucap Faruk dalam sambutannya.
Sayangnya, meski Djarot melakukan upaya regenerasi terhadap naskah berbahasa Jawa, sebagian penonton tidak sepenuhnya mengerti isi yang disampaikan cerita karena terkendala bahasa. “Bukan orang sini. Bahasanya kurang ngerti, nggak ngerti alurnya, tapi cukup menikmati,” tutur seorang penonton, Rahayu Williyanti mahasiswi Hubungan Internasional UMY. (Isma Swastiningrum)