Home - Sulitnya Mencapai Rekonsiliasi

Sulitnya Mencapai Rekonsiliasi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Fakta sejarah menyebutkan bangsa ini pernah mengalami konflik mengerikan yang menelan korban ratusan ribu jiwa. Konflik itu memecah belah masyarakat dan mendiskreditkan salah satu golongan. Pemusnahan masal menjadi puncak kebengisan konflik itu yang ironisnya mendapat legitimasi dari pemerintah. Generasi sekarang pun tak banyak yang tahu tentang konflik itu karena tak pernah sekalipun disebutkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Konflik itu tidak lain adalah peristiwa 65, di mana terjadi pembantaian besar-besaran kepada PKI (lebih tepatnya, yang dianggap PKI).

PKI kala itu dianggap sebagai iblis tidak bertuhan yang darahnya pantas untuk ditumpahkan. Kebencian terhadap PKI dengan mudah menyebar di kalangan masyarakat akibat berbagai macam propaganda dari rezim orde baru. Masyarakat terus dicekoki dengan film dan pelajaran sejarah yang mengkambinghitamkan PKI dalam peristiwa G30S. Maka, tak heran jika dalam peristiwa 65, tokoh pembunuh PKI menjadi semacam pahlawan penyelamat moral bangsa. Masyarakat membenarkan pemusnahan itu, kecuali keluarga korban, yang sampai sekarang sebenarnya masih menyimpan rasa sakit hati.

Gerakan menuju rekonsiliasi telah dilakukan oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah Joshua Oppenheimer melalui karya filmnya, Jagal dan Senyap. Bukan bermaksud untuk memanaskan kembali konflik, apalagi berniat balas dendam, melainkan membuat sebuah rekonsiliasi dengan prinsip forgive but not forget. Memang, dalam film itu kita dipaksa untuk kembali membuka luka lama yang tentu menyakitkan, tapi dari proses itulah akan tercipta sebuah penyadaran. Mereka berusaha melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh keluarga korban. Keluarga korban tidak memiliki kekuatan untuk bersuara dan mengembalikan lagi martabatnya yang telah diinjak-injak. Melalui dua karya itu, diharapkan masyarakat Indonesia bisa melihat dengan lebih jernih apa yang sebenarnya terjadi kala itu, yang selama ini ditutupi tabir kegelapan.

Namun nampaknya jalan menuju rekonsiliasi memang tidaklah mudah. Dalam film senyap saja, bisa kita lihat bahwa pelaku pembantaian sama sekali tidak merasa bersalah. Ada yang beranggapan pembantaian itu merupakan tugas suci yang diridoi agama, ada pula yang melimpahkan tanggungjawabnya pada pemerintah. Apa yang diinginkan Adi (adik korban pembantaian dalam film Senyap), hanyalah pengakuan dan permintaan maaf secara tulus dari pelaku pembantaian. Itu pun tidak didapatkannya. “Yang sudah ya sudah, kita mulai yang baik-baik sajalah buat ke depannya,” kira-kira seperti itu kata pelaku-pelaku untuk melepas tanggungjawab moralnya.

Di luar film, jalan terjal menuju rekonsiliasi juga ditemui. Terjadi tekanan dan penolakan dari beberapa ormas terhadap pemutaran film Senyap di beberapa tempat. Seperti yang dialami di Fisipol UGM, dan kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Beruntung pemutaran di Fisipol UGM masih bisa terlaksana setelah melewati proses negosiasi, sementara di AJI Yogyakarta benar-benar dibatalkan. Begitu ormas-ormas reaksioner mengendus jadwal pemutaran film itu, segera mereka laporkan ke polisi dengan alasan keamanan. Dari reaksi ini bisa kita lihat betapa pemikiran dogmatis masih menancap kuat di masyarakat. Seolah masyarakat sudah tidak mampu lagi berpikir terbuka. Bahkan untuk sekadar “bersalaman” pun tak sudi.

Hal-hal semacam inilah yang membuat bangsa ini sulit berdinamika secara positif. Sebuah pemikiran sering kali dibalas dengan tindakan represif. Tidak terjadi pertarungan wacana yang sehat di sana. Kebiasaan menghitam-putihkan segala sesuatu telah menjadi penyakit masyarakat. Maka tak heran, pemutaran film Senyap -yang sama sekali tidak ada doktrin komunis di dalamnya dan hanya memperjuangkan hak asasi manusia – sekonyong-konyong diklaim sebagai “bangkitnya bahaya laten komunis”. Redaksi