Home - Kecopetan

Kecopetan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Daruz Armedian*

 

“Sial! tadi malam aku kecopetan!” begitulah teriakmu pagi itu. Memekakkan telingaku. Bagaimana tidak, aku yang perhatian denganmu. Aku yang selama ini mulai jatuh cinta padamu. Jatuh cinta pada sajak-sajakmu yang seakan-akan itu kau tujukan padaku. Ah, terlalu banyak perasaanku mengenaimu. Mulai dari sebelum kau mengenal kata cinta.

“Beneran?!” tanyaku kalut, gelisah seperti burung gereja kehilangan cemara sebagai tempat persinggahannya. Seperti hujan resah tanpa kehadiran sungai-sungai.

“Iya, beneran. Ngapain aku berbohong?Atau, adakah aku pernah berbohong padamu?”

Aku memutar pikiran bagai memutar waktu masalalu, betapa kau selama ini tak pernah berbohong, apalagi padaku. Kau kuyakini sebagai orang-orang yang jujur. Paling jujur.

“Terus, kamu kecopetan apa?”

“Tadi malam kan ceritanya begini,” kau mulai serius, aku pun tak lebih. Menunggumu bicara seolah-olah apa yang keluar dari mulutmu adalah petuah yang jika tak didengarkan, maka akan durhaka. “Pas, nelpon dia, agak lama. Membahas ini itu, begini dan begitu, aku merasakan hatiku kecopetan!”

Degg…

Jantungku seakan berhenti berdetak. Tak habis pikir, pasti yang kau maksud orang itu. Ya, orang yang selalu menelponmu. Orang yang pernah memberimu hadiah lengkap beserta senyuman manisnya di suatu waktu yang tak sempat aku melihatnya. Tahukah kau? Aku cemburu. Kalau sudah begini, aku harus berbuat apa, aku tak tahu. Hanya saja di hatiku masih menyimpan harap, kau menyadari. Bahwa selama ini, akulah yang tiap hari menemanimu. Bukan dia atau orang lain. Bahwa selama ini hanya akulah, katamu, yang paling dekat denganmu. Aku tempatmu curhat, tempatmu bercerita, tempatmu mencurahkan segala imajinasi yang keluar dari batok kepalamu.

Katamu, tanpa aku kau kesepian. Tanpa aku kau kelimpungan. Tapi apa? Semua itu agar membuatku betah bersamamu. Lalu kemarin, kau menghadiahiku sesuatu yang baru pada saat ulang tahun sembari bilang: kau belahan jiwaku. Dan, ya, ya, ya, semua itu hanya omong kosongmu agar aku setia. Tak lebih, kau memang pandai merusak perasaan.

“Hei, tenanglah. Tunggu dulu penjelasanku.” Katamu mulai mengolah alasan-alasan yang hanya akan membuat kupingku panas. Aku tahu watakmu.

“Stop!” kataku “Jangan mencari-cari alasan yang tidak jelas. Aku sudah muak!”

“Plis…”

“Aku tak mau lagi dengarkan omong kosongmu.” Aku memalingkan wajah. Sementara kau kini terbaring lelah di belakangku.

“Terserah kau mau apa!” kau tampak marah, mukamu merah. Aku tak habis pikir, mungkin sekarang dalam hatimu merasa bersalah. Bersalah sekali.

**

Pukul dua lebih seperempat dini hari, aku terbangun. Mendapati kau tergeletak pulas memeluk mimpi. Kupandangi wajahmu yang unyu. Aku lihat ada perbedaan malam ini, kau tampak lebih cakep dari biasanya. Ah, rasa-rasanya aku tak rela membencimu seperti itu.

Maafkan aku. Segala kata-kataku mengalir begitu saja.

Di balik jendela, gerimis tipis bersamaan dingin angin, menerobos celah-celahnya. Rasanya mulai menusuk rusuk. Malam yang pekat, adakah aku masih dalam lubuk hatinya. Jikalau iya, apa yang harus aku lakukan. Jikalau tidak, apa juga yang harus aku lakukan.

Gerimis berganti hujan, selimut tebal kubalutkan ke badan. Tapi dinginnya masih terasa. Menemaniku malam ini bernostalgia. Di mana aku dan orang yang tertidur pulas ini bercanda tawa di bawah rerimbun bambu. Mengeja satu demi satu bintang di langit sambil telentang di beranda rumah. Melihat senja di keheningan sore. Menunjuk-nunjuk pelangi yang warnanya seperti cerita-cerita di negeri dongeng. Semua hanya lalu. Dan sekarang kupertanyakan. Akankah terulang kembali.

Kupejamkan mata, barangkali semua ini hanya mimpi.

**

Jam tujuh lebih seperempat kau menyeretku menuju sekolahan. “Cepetan, aku bisa terlambat. Aku bisa dihukum. Disuruh hormat bendera di depan kantor!” katamu panik. Kau memang gila akhir-akhir ini. Biasanya kau biarkan dirimu terlambat begitu saja. Aku mulai curiga, ini pasti hanya demi orang yang menelponmu kemarin malam. Tidak salah lagi bukan?

“Woe, kau sudah gila? Aku belum apa-apa. Aku belum mandi!” teriakku yang sia-sia. Kau malah berceloteh tak tentu. Oke, fine. Kita musuhan!

Sampai di sekolahan, kau beruntung. Walaupun bel masuk sudah lewat, tak ada salah satu guru yang berdiri di depan kantor guna memantau murid-murid yang terlambat seperti biasanya. Kau aman. Menyelinap cepat-cepat, mengempaskan tanganku. Sekali lagi, kau memang gila.

Jam pertama kosong.

Aku mulai menebak, kau pasti akan berbincang-bincang dengan adik kelasmu di sekitar pintu alternatif ketemuan. Tebakanku tak meleset sedikit pun. Se-enol-persen pun. Ya, kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Apalagi kau sudah mulai berbincang sembari saling pandang. Tertawa bahagia.

“Hei, apa-apaan ini.” Bentakku dengan amarah yang memuncak di ujung ubun-ubun. Kalian berdua terperanjat. Bagaimana tidak, suaraku lantang sekali. Membuat seisi kelas bangun dari tidurannya, berhenti dari belajarnya, stop dari ngemil jajan dan ngerumpinya. Semuanya tampak memperhatikanmu. Mungkin juga memperhatikanku.

“Ssssttt, pelan-pelan dong kalau ngomong.” Kau memandangku dengan sorot mata yang tajam, membuatku ingin muntah.

“Nggak. Aku sudah marah.”

“Marah kok bilang-bilang sambil memasang wajah unyu kek gitu.” Kau meledek tanpa ampun. Yes. Oke. Na’am. Ya. Iyo. Aku akan keluarkan semua perasaanku.

“Jujur ya, kalau kalian berdua berbincang-bincang seperti ini. Walau tidak ngomong tentang perasaan sekalipun, aku sudah tau semuanya.”

“Kau tahu dari mana? Sejak kapan aku memberitahumu?”

“Dari diriku sendiri.”

“Ha, konyol. Emang dukun apa…”

“Hei, sadarlah… aku mencintaimu sejak kau pertamakali mengenaliku.”

Gadis di sampingmu tertegun. Entah, aku tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Barangkali juga kecewa terhadapmu. Biarin!

“Aku tak pernah punya perasaan yang sama denganmu!” katamu.

Dar…. dadaku bergemuruh. Berdag-dig-dug-der-daia…

“Jadi, selama ini kau, selama ini kau cuma memberiku harapan palsu. Hiks… kau jahat. Kau telah tega nge-PHP-in aku!”

“Tenang dulu. Jangan keras-keras kalau ngomong. Ada apa, ada apa?” wajahmu tampak memperhatikanku. Kau tampak iba padaku. Mungkin karena ada segelas air mata yang tumpah dan mengalir di kedua pipi ronaku. Apa kau akan menyadari setelah aku bilang seperti ini?.

“Maafkan aku.” Katamu pelan.

“Sudah, jangan diteruskan. Aku tak kuat lagi mendengarkannya.” aku sudah tahu kau akan mengatakan apa. Kau akan jujur dan dengan kejujuran itu, menghancurkanku. Kau mungkin akan bilang, aku tak mencintaimu dan bla bla blableh dst. Lebih baik aku pergi.

“Tunggu-tunggu-tunggu… jangan pergi dulu. Dengarkan penjelasan kita.”

“Kita?”

“Iya, kita berdua.”

Kalian berdua, memang tampak serasi. Tapi hal itu sungguh menyakitiku.

“Kau hanyalah hape. Iya benar, kau sungguh disukai Mas-ku ini. Apalagi ada fitur internetnya di hatimu. Tapi ia tidak mencintaimu. Ia cuma takut kehilangan kamu.” Kata gadis itu sembari tersenyum. “Heem. Kau hanya hape. Maaf, ya…” tambahmu sambil mengelus-elus pundakku. Kalian berdua… ah, aku tak sanggup ngomong.

Aku merenung. Menyadari kalau aku memang hanya hape. Tidak pantas dicintai siapa pun. Termasuk kamu. Kalian masih tersenyum. Tanpa menyadari ada luka di sela-sela proton dan neutron dalam atom di hatiku.

Bagitu rumit cinta bagi spesies hape. Begitu rumit hidup menjadi hape.[]

 

Bantul, 16/9/2014

 

*Daruz Armedian, adalah alumni MA Islamiyah senori tahun 2013/2014. Buku-bukunya antara lain: Sajak Buram (2013), Sajak Tak Normal (2014), The Campur Of Aduk (2014). Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai media masa. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).email: armediandaruz@gmail.com