Oleh Dedik Dwi Prihatmoko*)
Seseorang ataupun sekelompok orang yang bermukim di suatu wilayah, secara Undang-Undang mereka telah memiliki perlindungan hukum yang jelas. Peran dan fungsi mereka dalam konteks negara bisa dibilang cukup besar karena telah kita ketahui bersama bahwa maju-mundurnnya suatu negara tidak lepas dari kualitas sumber daya manusianya itu sendiri. Suatu negara hendaknya dapat memberikan kesejahteraan, menciptakan ketertiban, memberikan rasa aman dan menegakkan keadilan seluas-luasnnya tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, gender bahkan fisik seseorang sekalipun.
Namun, amat disayangkan ketika kebijakan pemerintah terkait kesetaraan tidak sampai ke kaum difabel di Indonesia. Dengan jumlah masyarakat difabel mencapai 10,5 juta jiwa dari dua ratus sepuluh juta jiwa penduduk Indonesia menurut data World Health Organization (WHO) ternyata masih ada sistem diskriminasi bagi difabel mulai dari; pendidikan kurang begitu menerima, peluang kerja hanya hisapan jempol belaka, masyarakat eksklusif dimana-mana, pelayanan public tidak begitu kentara dan kebijakan pemerintah minim realita menjadi permasalahan fundamental bagi kaum difabel di negeri ini.
Negara- pemerintah- sebenarnya tidak tinggal diam terhadap pemenuhan hak-hak difabel. UU No 4 tahun 1997 misalnya, pemerintah mengesahkan bahwa penyandang cacat -difabel- adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Namun amat disayangkan, dari tujuh belas tahun UU tersebut dicanangkan realisasi kebijakan ternyata masih jauh dari harapan. Potensi mereka kurang mendapatkan dukungan. Bahkan masih banyak difabel yang belum mendapatkan kesetaraan baik dilapisan masyarakat hulu maupun hilir. Masyarakat lebih melihat keterbatasan fisik bukan kemampuan yang dimiliki seseorang.
Mengutip perkataan Mansour Fakih (lihat Argyo Demartoto, 2007) Kesadaran masyarakat akan difabel terbagi menjadi tiga macam; Pertama, kelompok masyarakat yang menganggap difabel ada karena takdir, diperlihatkan berupa sifat konservatif dan menjinakkan. Kedua, kelompok ini memegang prinsip liberal, di mana difabel dapat bersaing dengan masyarakat normal jika dididik, dilatih, dan mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama. Ketiga, kelompok yang mengklaim bahwa orang cacat (difabel) itu tidak ada. Yang ada hanyalah orang yang dicacatkan dan tidak diberi kesempatan untuk memiliki kemampuan.
Pola masyarakat seharusnya lebih memposisikan dirinya dalam tingkatan yang unggul dengan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat umum di atas segala-galanya. Masyarakat yang berjiwa sosialis akan memaknai peran dan posisi warga masyarakat itu sama. Sama-sama hidup, tumbuh, berkembang, dan akan mati menjadi sebuah patokan dasar yang nantinnya dapat membentuk pola pemikiran bahwa tidak ada gunanya mengelompokkan mana itu masyarakat normal dan masyarakat abnormal karena sejatinnya semua orang itu sama. Sehingga akan tercipta kerukunan dan kesetaraan di dalam lingkungan masyarakat yang ada.
Dilihat dari kuantitas, different able people (difabel) bisa dikategorikan masuk dalam kelompok minoritas, tetepi secara umum mereka memiliki potensi yang dapat digali dan dikebangkan melalui program-program pelatihan dan pendidikan khusus secara konsisten dan berkesinambungan. Sehingga perlu adannya sebuah terobosan-trobosan baru dari seluruh lapisan masyarakat dalam mendukung dan menyukseskan program kesetaraan difabel.
Keluarga, masyarakat, perusahaan dan pemerintah memegang peranan penting terhadap permasalahan Difabel yang ada saat ini. Keluarga dan masyarakat sebagai factor pendorong, perusahaan sebagai penyedia dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Ketika polarisasi kerja dari setiap golongan mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal dengan diimbangi prinsip-prinsip yang saling mendukung dan melengkapi tentu tidak menutup kemungkinan kesetaraan difabel dengan masyarakat normal semakin terbuka untuk kehidupan selanjutnya.[]
*)Penulis adalah mahasiswa PGMI UIN Sunan Kalijaga