Home - Pameran Choir of The Mischief Merespon Sejarah Secara Nakal

Pameran Choir of The Mischief Merespon Sejarah Secara Nakal

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Kutipan Soekarno: hidup itu berkecambah.

Kutipan Soekarno: hidup itu berkecambah.

Lpmarena.com, Nakal, jahil, dan serampangan merupakan beberapa sifat anak muda yang terwakilkan dalam sebuah pameran Choir of Mischief sebagai respon atas sejarah. Pameran ini menghadirkan kepingan peristiwa sejarah kala kecil, teks-teks kutipan, dan narasi-narasi yang dikemas secara jenaka, usil, dan sedikit kurang ajar oleh komunitas Ketjilbergerak yang berkolaborasi dengan Bonggal Hutagalung.

“Sekarang banyak orang yang menokohkan diri. Karya ini bukan hanya kolaboratif, tapi juga anonim. Ada karya dimana ditampilkan boneka-boneka, robot yang merupakan hero ketika Anda kecil. Saat anak-anak kita bermain dengan itu semua dan itulah kepahlawanan,” komentar Sindhunata (tokoh pemikir dan penulis) saat membuka pameran di Jogja Contemporary kawasan Jogja Nasional Museum, Minggu (15/2) malam. Menurutnya juga, orang sekarang begitu sembrono menyebut pahlawan hanya sekedar tokoh-tokoh founding father.

Ada sekitar tujuh karya yang ditampilkan dalam pameran ini. Setiap karya membawa pesannya sendiri terhadap bagian-bagian dari sejarah. Kurator pameran, Chabib Duta Hapsoro mengatakan pameran ini merupakan sebuah kolaborasi yang ingin merespon sejarah secara lucu dan nakal. “Ngrespon sejarah secara nakal. Kita pakai teks, benda-benda temuan, ngambil quotes tertentu , dan pada akhirnya kecerendungan Ketjilbergerak dan Bonggal masih ada jejak,” ucapnya saat diwawancarai ARENA di antara lalu lalang pengunjung yang datang saat acara pembukaan.

Di antara kutipan yang menarik tersebut misalnya dari Soekarno, “Kalau pria mau kuat, harus banyak makan taoge, jangan minum bir.” Atau dari Tan Malaka, “Benda adalah satu rantai, satu karma yang merantai hidup kita.” Sindhunata sendiri mengartikan kata Soekarno sebagai sebuah perkecambahan hidup dan ucapan dari Tan Malaka berarti bahwa benda itu paling jujur menjalani karmanya.

Seni sebagai media pendidikan coba dihadirkan melalui perbedaan karakter antara Ketjilbergerak yang identik dengan idiom seni rupa jalanan dan Bonggal yang memiliki ciri khas soliter yang lahir dari dunia sosial ke personal.

“Pameran ini adalah hasil uji coba kami bikin karya. Nyoba-nyoba barang, pakainya apa, bisanya apa. Saya basiknya keramik, tapi nggak ingin terkungkung dalam satu media,” ujar Bonggal. Juga Ketjilbergerak menempatkan publik sebagai aktor kebudayaan—tidak hanya sekedar tema, sedangkan Bonggal mewujudkan eskapisme atas hiruk pikuk dan ketimpangan sehari-hari.

Acara pembukaan pameran ini juga turut dimeriahkan oleh penampilan dari sebuah band indie asal Jogja, Summer In Vienna juga Sisir Tanah. Durasi pameran sendiri juga lumayan panjang dari tanggal 15-5 Maret 2015, serta di tanggal 24 Februari akan dilaksanakan diskusi karya pukul 16.00 WIB di tempat pameran. (Isma Swastiningrum)