Lpmarena.com, LABeL (Laboratorium Religi dan Budaya Lokal) merupakan tempat diskusi dan pengkajian budaya lokal. Agama lokal, ekspresi lokal, dan budaya lokal merupakan titik fokus dari LAbeL sendiri. Di bawah naungan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUSPI), LABeL yang sudah berdiri sejak tahun 2005 ini telah menghasilkan riset, tesis, seminar, workshop, dan tulisan serta kegitan yang bernuansa kelokalan.
Tepat satu dekade LABeL yang jatuh pada Rabu, 18 Februari 2015, sebagai refleksi atas perjalanannya perayaan syukuran digelar di ruang smart room lt. 2 FUSPI. Ahmad Rafiq selaku pemimpin LABeL berbangga hati bahwa kini usia LABeL tak terasa telah sepuluh tahun. Diskusi rutin yang digelar LABeL telah melahirkan tesis dan disertasi. “LABeL tanpa disadari dari diskusi rutin telah melahirkan disertasi, tesis. Akhirnya ekspresi lokal beragama tak lepas dari ruang global,” tuturnya.
Anggota LABeL, Fahruddin Faiz menceritakan nostalgianya saat LABeL berdiri. “Sepuluh tahun yang lalu,jadi ingat teman-teman begitu bergairah ketika LABeL lahir. Yang paling berkesan meski LABeL hidup dan jalan saja, setiap kali masuk seneng. Meski dengan segala keterbatasannya,” celotehnya. Dosen yang mengajar di jurusan Filsafat UIN Suka ini juga berharap akan ada karya fenomenal yang dilahirkan LABeL, seperti membuat ensiklopedi lokal Islam atau membuat website khusus yang isinya budaya-budaya lokal. Menuju cita-cita: bagaimana kalau ditanya khazanah nusatara jawabannya ada di LABeL.
Salah satu orang yang mendapat perhatian saat syukuran siang itu adalah Muryana. Perempuan ini merupakan aktor di balik suksesnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan LABeL. Muryana konsisten memberi SMS, mengingatkan bacaan buku, dan aktif menyiapkan acara yang diadakan LABeL.
“Bahagia yang terucap. LABeL adalah hidup saya, hidup teman-teman, dengan spirit itu membuat LABeL bermanfaat untuk orang lain. Terima kasih teman-teman yang tak bosan-bosan menerima teror saya. Semoga tidak puas sampai disini, bagaimana lebih bermanfaat lagi,” kata Muryana dengan mata berkaca-kaca.
Wacana Lokalitas
Menurut Faiz, budaya lokal sebenarnya sangat menjual, bahwa isu lokal itu menarik pangsa pasar. Masih banyak wilayah Indonesia yang bisa dieksplor. Itu terbukti dengan buku Faiz yang mengulas lebudayaan lokal telah cetak ulang sebelas kali. “Jangan salah, lokal itu menjual. Definisi lokal tak harus kuno,” tuturnya.
Lokalitas tak berdiri sendiri, ia berhubungan dengan orang lain. Seperti salah satu anggota muda LABeL bernama Reza, ia sangat senang ada tempat berdialektika tentang lokalitas. “Saya mendapatkan pengalaman lokalitas dan etnisitas. Kedepannya memperluas pemahaman itu dengan lokalitas-lokalitas yang lain,” tekadnya.
Selain acara refleksi, acara ini juga mengadakan launching buku Nyanyi Sunyi Dari Pelosok Negeri. Buku ini merupakan kompilasi-kompilasi makalah LABeL selama setahun. (Isma Swastiningrum)