Lpmarena.com, Kisah mengenai tumbangnya seorang diktator yang dalam hal ini diwakili presiden di zaman Orde Baru coba ditulisakan oleh Irwan Bajang. Cerpennya yang berjudul Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan menjadi sebuah kritik yang dituangkan dalam sastra atas kekuasaan yang mana kekuasaan tersebut memberi tekanan untuk tidak bersedih dan harus bahagia.
“Cerpen ini seperti berpikir antara sedih dan bahagia,” kata Raedu Basha, selaku pembedah dalam acara diskusi sastra cerpen Irwan Bajang ini di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Rabu (25/2). Sastrawan Madura ini menjelaskan dengan tumbangnya seorang diktator, peristiwa ini bagian dari sebuah sastra. Ia tidak lahir dari kekosongan jiwa.
Hary Sulistyo (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) selaku pembedah dua menjelaskan cerpen ini sebagai kritik atas pemerintah yang melanggengkan kekuasaan dengan dominasi. “Pemimpin pada arah yang dikuasai menentang kesedihan. Bagaimana memulai pemikiran saat di-nina bobokan,” katanya.
Dasarnya Hary menganggap setiap pengarang adalah pembaca, baik lingkungan atau bacaan lain. Bagaimana dari sastrawan memberi perubahan. Bagaimana ketika negara hadir melakukan resistansi, sastrawan bisa hadir, kritis, dan idealis. “Para sastrawan mengambil bagian, maka akan menjadi kata,” tambah Hary.
Di acara penutup, penulis cerpen sendiri menceritakan ide menulis cerpen ini bermula di bulan Mei 2014. Dimana di bulan tersebut dahulu Soeharto mengundurkan diri. Irwan mengambil snapshot atas peristiwa tersebut. Irwan ingin menyampaikan gonjang-ganjing tersebut, memandangnya dari sudut pandang sastra. “Bagaimanapun karya nggak bisa muncul dari ruang kosong. Proses menangkap fenomena itu yang susah,” ujarnya. (Isma Swastiningrum)