Nusantara raya adalah gugusan pulau, berbagai suku bangsa. Dari berbagai keberagaman itu nusantara tetap satu.
Lpmarena.com, Seorang pria muda nyaris tak berpakaian memainkan gitar secara berdiri di tengah panggung. Pria itu meyanyikan lagu Indonesia Raya. Lampu mati, muncullah pria yang menjadi perwakilan Gadjah Mada dengan sumpahnya menyatukan nusantara. Disusul empat orang pasukan sebuah kerajaan muncul dari arah belakang penonton, mereka berjalan membawa lembing menuju tengah panggung. Disana mereka melakukan tarian. Lalu muncullah para aktor yang mewakili tiga suku di Indonesia: Batak, Jawa, dan Sunda. Percekcokan terjadi.
Pertunjukkan teater bertema kebangsaan ini coba dihadirkan oleh Teater Tjerobong Paberik (TJP) Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung dalam pemetasannya berjudul “Nusantara Raya” naskah Haris Hamzah, Jumat (27/2) malam di stage Tedjokumumo UNY.
Naskah berawal dari salah satu anggota TJP yang gelisah dengan adanya pemilihan umum. Imbasnya dari anggota TJP yang terdiri dari banyak suku dan punya harapan yang sama, bahwa di kepemimpinan selanjutnya ada sosok seperti Gadjah Mada yang bisa menyatukan nusantara, lahirlah naskah Nusantara Raya ini.
“Untuk awalnya yang ingin kami angkat isunya rasis. Sampai sekarang itu masih banyak yang namanya perang suku. Awal mulanya dari maslah sepele. Kita ambil benang merah dari pemikiran teman-teman (TJP). Naskah aslinya pake bahasa daerah masing-masing,” kata Kumar selaku sutradara. Isu yang ingin disampaikan tentang kepemimpinan untuk Indonesia raya.
Poin yang ditekankan dalam teater adalah proses. Aktor, penulis naskah, sekaligus dosen pertunjukan ISI, Rendra Narendra mengungkapkan dalam pertunjukkan ini membidik tentang sudut pandang bagaimana Sunda memandang Jawa. Bagaimana disitu disinggung mengenai Perang Bubat di masa Kerajaan Majapahit.
“Tentang Sunda yang membicarakan sejarah leluhurnya dulu. Saya merasa sedang diajak bicara empat mata. Satu membawa kujang, satu keris,” ucap Rendra. Meski begitu Rendra memberi masukan kalau pementasan ini rawan, karena teksnya yang bicara soal konflik Jawa-Sunda sampai Batak tidak sinkron dengan tema besar yang diangkat tentang persatuan. (Isma Swastiningrum)