Home - Invictus, Malam Sastra IV LPM Arena

Invictus, Malam Sastra IV LPM Arena

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Ahmad Jamaludin saat berbicara tentang aforisma Nietzche di Malam Sastra.

Ahmad Jamaludin saat berbicara tentang aforisma Nietzche di Malam Sastra.

Tidak peduli betapa sulit rintangan menghadang. Bagaimanapun hukuman dijatuhkan. Aku adalah tuan bagi nasibku. Aku adalah kapten bagi jiwaku. -Invictus, Willian Ernest Henley

Lpmarena.com, Motion of Invictus merupakan sebuah gerakan kebebasan yang coba diserukan LPM ARENA di acara Malam Sastra IV di depan Kantin Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (28/2) malam. Acara yang mengambil tema besar mengenai kebebasan ini berlandas pada puisi Henley berjudul “Invictus” dan sebuah film berjudul sama tahun 2009.

Invictus sendiri memiliki makna tak terkalahkan. Puisinya sendiri memuat gagasan tentang manusia yang memiliki kontrol atas hidupnya sendiri seberat apapun beban yang dideritanya. Sedangkan film Invictus bercerita tentang Piala Dunia rugby tahun 1995, dimana saat itu Nelson Mandela menjabat sebagai presiden Afrika Selatan. Sebuah puisi yang membuat Mandela kuat hidup 30 tahun di dalam sel penjara yang ia tularkan pada tim rugby negaranya tersebut.

Ahmad Jamaludin pemimpin umum LPM ARENA menanggapi mengenai wacana Invictus dengan teori tiga aforisma roh perjalanan yang terdiri dari unta, singa, dan bayi. Terkait puisi Henley, Jamal melihat secara keseluruhan masih dalam tahap singa karena menolak sesuatu yang di luar dirinya.

“Akankah bayi itu jadi tuan dan kapten bagi jiwanya? Bisa iya, bisa tidak. Semoga bayi yang dianggap murni bisa mengada di pertunjukkan yang teman-teman gagas,” ucap Jamal.

Lalu dari tema Invictus ini dihadirkan bermacam pertunjukkan dan pengisi, meliputi: pembacaan puisi, tarian, musik, dan dongeng oleh para anggota LPM ARENA.

Dhedhe Lotus, bendahara LPM Arena membacakan puisinya sendiri berjudul “Pulang Ke Rumah”. Dimana dalam puisi tersebut Lotus menceritakan tentang ARENA dan kehidupan di zaman sekarang yang mirip spons, makna tersingkirkan.

Sementara itu dalam dongenya, Ahmad Taufiq selaku anggota dimensioner menceritakan mengenai ketika nahkoda tak mampu mengendalikan bahtera, maka angin yang menentukan arahnya. Ia juga mengkritik bahwa manusia sekarang itu dalam keseharian kita selalu dapat subsidi.

“Yang disubsidi lupa kalau dia harus bayar itu. Kalau gak mampu uang, tenaga, kalau gak bayar tubuhnya yang dibayar ketika di neraka,” canda Opik, sapaan Ahmad.

Opik juga bercerita tentang perahu. Dimana zaman sekarang manusia saling jegal satu sama lain. Saling mencari pelampung dan cemas sekali. Masing-masing buru-buru bagaimana dapat pelampung agar bisa selamat. “Puisinya Gus Mus. Manusia sekarang selalu harap cemas, gak pernah pasrah,” lanjutnya. (Isma Swastiningrum)