Home - Indonesia dan Generasi yang Mandul

Indonesia dan Generasi yang Mandul

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Faksi Fahlevi M *)

“…Realitas eksistensi setiap orang, dengan demikian, berasal dari jiwanya sendiri-sendiri, bukan disusun secara sistematis oleh pemikiran manusia, karena pengatahuan yang diobjektifkan tidak selalu sama dengan kebenaran…” (Kierkegaard)

Negaranya orang-orang bodoh. Di mana orang-orangnya tidak punya pandangan kesadaran ganda akan konstruksi realitas yang otentik. Seperti yang dijelaskan seorang pemikir Islam abad pertengahan yakni al-Farabi ketika ia bicara pembagian negara yang kedua dari level yang pertama yakni “negaranya orang-orang terdidik.” Tapi ini hanya sudut pandang agar supaya memotivasi melihat negara Indonesia hari ini yang elite politiknya hanya sibuk diri dengan perdebatan kebenaran dan masyarakat civil yang tidak sadar politik.

Hal Ini menjadi ketakutan sendiri menyikapi keadaan yang kian hari kian memburuk jika menelisik lebih mendalam dinamika sosial, politik, dan perkembangan intelektual kita hari ini yang tidak lagi mencerminkan sebagai negara yang penduduknya mempunyai kesadaran yang realistis filosofis, melainkan hanya pada kesadaran utopia yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kecemasan ini menurut Heidegger, merupakan kecemasan menelanjangi manusia sebagai ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi. Jika al Farabi mengkategorikan sebagai “ Negaranya orang-orang bodoh.”

Hari ini era yang di mana Indonesia sebagai negara yang tidak mempunyai roh filosofis yang bisa mengendalikan dirinya untuk tetap bergerak ada. Cahaya kemistikan pancasila telah hilang. Tidak lagi bisa kembali untuk menjadi diri Indonesia yang mandiri, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan yang estetik nusantara. Inilah kebodohan bangsa yang menganut sistem demokrasi. Demokrasi yang membuat kita hanya bisa diam tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Demokratis jika persoalan investasi semata dan masyarakatnya dibungkam tidak bisa bersuarah.

Siapa yang harus disalahkan melihat kenyataan seperti ini? Mungkin yang pertama kita lihat adalah pemimpinnya. Karena pemimpin merupakan seorang kepala negara yang mempunyai otoritas penting dalam sebuah negara, yang bertujuan untuk selalu memberikan pelindungan secara hak asasi manusia, maupun kedaulatan pangan bagi masyarkatnya. Karena ada dari adanya sebuah negara merupakan cerminan dari masyarakatnya yang bebas dari kolonial yang sifatnya pikiran maupun fisik. Sebagaima sejarah sebelum adanya negara ini, yang bertujuan tentang cita-cita kemanusiaan. Adapun adanya negara untuk melindungi atas hak kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi (John Locke: Kekuasaan Negara Terbatas). Tapi pemimpin kita hari ini menghianati sejarah kita sendiri, dimana akal-akal sehat negara kita digerakkan oleh akal bangsa-bangsa lain.

Celaka. Kita punya pemimpin yang dipimpin oleh akal pemimpin negara bangsa-bangsa, bukan pemimpin yang berkesadaran historis realistis filosofis. Bagimana pemimpin yang berkesadaran historis realistis filosofis, yakni ia paham secara ontologi bagaimana negara itu ada,bukan memahami konsepsi khayalan atas negara yang pada akhirnya menimbulkan sejarah kegaduan dan perebutan kekuasaan semata. Jika Aristoteles megatakan bahwa, adanya sesuatu yang ada pasti memiliki fungsi dan tujuan yang diakibatkan oleh sebab-akibat yang material, yang hal itu tidak dipahami oleh bangsa kita.

Ternyata ada yang hilang di negara kita, yakni Mentalitas seorang pemimpin. Pemahaman tentang arti politik hanya berhenti pada tataran teologis bukan pada tataran filosofis. Ketidakikutsertaan individu-individu masyarakat secara filosofis telah hilang dan hanya mensakralkan pemimpin yang hanya mempunyai pengatahuan politik dalam melihat keadaan sosial adapun masyarakatnya hanya suka dinilai serta patuh pada sikap dan ketentuan yang ditentukan oleh seorang pemimpin (Sentralistik). Bagi Kierkegaard individu-indiviu itu sendiri yang kongkrit dalam menentukan sikap sosial (Desentralistik).

Bagi filsuf kebangsaan Denmark ini, penyelesaian keputusan itu muncul dari konflik-konflik dan kebingungan jiwa, kegelisahan, kemurkaan, petualangan iman yang penuh bahaya menuju daerah yang belum dikenal. Artinya kebebasan individu tidak terbatas pada sistem yang dibentuk dari kalangan elite politik semata, melainkan dari kebebasan individu ke individu akan membentuk kesadaran yang kolektif. Karena kebebasan indivu itu sendiri yang akan menentukan kebijaksanaan yang tidak akan bertentangan, pada prinsipnya manusia punya naluri yang baik apabila kebebasannya dilepas dan tidak terikat oleh sistem.

Seperti halnya sejarawan hanya sibuk dengan belajar sejarah dan mencari manuskrip-manuskrip hingga tidak menghasilkan hipotesis apa-apa dalam kehidupan ke depan. Apalagi ingin mengungkapkan kebenaran sejarah dimasa silam. Padahal yang realistis adalah hari ini yang patut untuk kita renungi. Dan sejarah itu sendiri cukup disadari apa adanya tidak harus kita perdebatkan, apalagi dipahat-pahat sampai habis hingga kehilangan dirinya sebagai sejarah.

Solusinya. masyarakat dan pemimpin harus menjadi seorang filosof atas dirinya. lebih progres untuk melihat realitas, sama-sama membangun kekuatan kebudayaan yang rasional. Karena kebudayaan rasional adalah kebudayaan yang bisa membuat kita hidup dan nyaman, bahkan kenyaman bagi manusia yang rasional dapat diakuai secara spritual maupun material. para pendidik dan intelektual merupakan harapan bagi setiap orang yang menyadari dirinya manusia yang butuh lagi pencerahan kemanusian dengan eksistensi kolektif. Tidak hanya meneriakkan kata “Lawan” di dinding-dingding jalanan, tanpa tindakan perubahan yang progresif atas penindasan yang represif. Dari situlah cerminan negara yang baik adalah negaranya orang yang rasioanal.

Bagimana masyarakat yang baik dan pemimpin yang baik, agar supaya mencerminkan negara yang baik? Saya agak sepakat dengan apa yang tawarkan oleh antonio gramsci dengan konsep negara integral, artinya tidak ada lagi yang namanya masyarkat politik dan masyarakat civil yang ada adalah masyarkat politik yang terorganisir yang sama-sama punyak ideologi untuk membangun yang namanya kebudayaan negara. Artinya ada dealektika pengatahuan akan terjadi hingga menemukan hipotesis dari pelbagai asumsi ideologis masyarakat intelektual organik.

 

*) Dilahirkan di pulau garam Madura Sumenep. Tepatnya di nirwana indah poteran dimana tempat bersemanya para dewa. Sekaligus cucu ideologis dari Sayyid Yusuf Talango.