Jika kita hari ini yang dipikirkan rasa takut maka sistem demokrasi yang ada di kampus akan hilang. Tunjukkan bahwa Anda sebagai pemuda pemberani untuk tetap menjaga dan melestarikan ruang-ruang publik kampus sebagai lembaga yang demokratis, sebagimana dikatakan oleh Eko Prasetyo dalam konsolidasi pemutaran film Senyap.
Lpmarena.com, Berdasarkan pembacaan bersama yang diadakan setiap elemen mahasiswa Yogjakarta di UIN Sunan Kalijaga, pada Senin (9/03) terkait pemutaran film karya Joshua Oppenheimer “Senyap (The Look of Silence).” Bahwa ada dua catatan penting yang harus dikaji dan disosialisasikan kepada mahasiswa. Pertama terkait pengungkapan sejarah pembantaian Komunisme di Indonesia yang dibelokkan oleh rezim Orde Baru (Orba). Kedua, terkait pengawalan terkait ruang-ruang demokratis kampus yang direpresif oleh lembaga yang mengatasnamakan pembela Islam dan anti komunisme.
Sebagimana diuraikan dalam sambutan komisioner Komnas HAM (2012-2017) Muhammad Nurkhoiron bahwa revolusi mental hari ini tidak mungkin ditumbuhkan secara matang untuk menelisik tragedi 1965, bahkan hanya akan menjadi luka bangsa yang tidak disembuhkan. “Bangsa ini memang harus memilih, menerima luka untuk sementara karena berani mengungkapkan masalalu, atau menerima bangsa sebagai keniscayaan sejarah yang terus kita terima tanpa reserve. Adi, saya dan anda mungkin sebagian dari kita tidak bisa menerima pilihan terakhir. Oleh sebab itu, dari film Senyap ini kita segara berharap merajut kembali jalur rekonsiliasi,” sebagaimana ARENA kutip dari buku panduan Senyap.
Acara yang pada mulanya ditetapkan di Ruang Rektorat Lama ternyata digagalkan oleh pihak Rektorat (WR III) khususnya, terpaksa acara dilaksanakan di Student Center(SC). Alasan dari WR III tidak mengijinkan acara ini karena takut merusak fasilitas kampus.
Acara yang bertepatan dengan hari Sepersemar ini berjalan dengan lancar. Walaupun dari pukul 07:00 Wib Minhaji (Rektor UIN Sunan Kalijaga) turun langsung kelokasi pemutaran film meminta acara tersebut digagalkan.Ahmad Haidar selaku penanggung jawab acara ini tetap berkomitmen untuk melanjutkan kegiatan tersebut apapun resikonya.Ia akan bertanggung jawabasalkan diskusi publik dan nonton film senyap tetap berjalan.
Dalam tahap negosiasi selanjutnya, Minhaji menawarkan tawaran pemutaran dan diskusi publik tetap diadakan tapi waktunya ditunda terlebih dahulu. “Cari win solution dulu,”ungkapnya. Ia kewatir takut terjadi apa-apa dengan mahasiswa UIN Suka. Pada waktu itu pula ia memanggil utusan Forum ummat islam (FUI),“Jika ada ada delegasi FUI aku pengen dialog dulu.” Minhaji ingin tahu alasan dari FUI hingga berani mengancam kampus dan bahkan berancana menyerang. “Ormas Islam/FUI harus membagun Islam yang indah,” tutur Minhaji. Tapi pada saat itu pihak FUI tidak datang, hanya berkonvoi di depan masjid UIN-Suka tidak bisa masuk kampus timur.
Pada penjelasan akhir Minhaji sebenarnya mendukung atas apa yang dilakukan oleh mahasiswa. “saya sebenarnya mendukung sebagai Rektor,” tapi ia berpendapat acara diskusi publik dan pemuteran film Senyap merupakan kegiatan yang sensitif dan harus didiskusikan di jajaran rektorat.
Atas nama demokrasi kampus Front sepakat acara tetap akan berjalan sebagaimana mestinya, dan akan menanggung segala akibatnya sebagimana diungkapkan haidar. Ia juga menjelaskan apabila ruang-ruang diskusi publik di kalangan akademik dibungkam maka mahasiswa tidak akan tinggal diam untuk bertindak dengan tegas.”Kami posisi yang benar dan akan bertahan, bukan berarti tidak bertaring, jika FUI menyerang kami akan melawan,” tegasnya.
Dalam pertahanan, Adi selaku kordinator keamanan aliansi mengungkapkan pertahan mahasiswa dalam rangka menstabilkan acara nonton film dan diskusi publik ada empat taktik melumpuhkan lawan dalam pertahanan. Pertama pemantau lawan yang mau anarkis dari setiap sudut jalan. Ring dua adalah negosiator, dan jika kalah dalam diplomasi maka dilempar kering tiga,”Jika masih ngotot untuk masuk, ring tiga sebagai arena pertempuran fisik, dan ring empat di mana nonton film diadakan akan digirng ke ring tida untuk mengusir paksa para FUI,” ungkapnya. “sayangnya FUI bubar,” lanjut salah satu anggota FMPR UNY tersebut.
Keberanian mahasiswa melawan refresifitas akademik dan FPU yang berbasis di UIN Sunan Kalijaga ini juga dapat apresiasi dari Pemateri,Roy Murtadho (anggota pokja 65 Jatim) dan moderator, Hafi Zen (LKiS), hingga acara ini terlaksana sampai selesai. Hafi zen mengungkapkan bahwa memang layak jika UINSuka sebagai kampus perlawan dan hal harus menjadi contoh dari kampus di luar UIN Suka. “Hingga FUI mundur dan tidak berani,” sentilnya.
Roy murtadho juga merasa minder jika menghadapi anak-anak UIN yang sangat revolusioner dalam mempertahankan kedaulatanya sebagai mahasiswa. “FUI kok takut komunis berarti imanya lemah,” tuturnya. Ia juga memperjelas status Yogjakarta sebagai kota kedua paling toleran setelah Jawa Barat, tapi nonton film dan diskusi saja tidak boleh. “Jawa Timur kalangan NU Nonton film senyap tidak masalah dan saya diskusi dengan para santri, jogja kok tidak bisa,” ungkapnya. Tapi mahasiswa UIN Yogjakarta sebagai pelopor untuk selalu melek sejarah bahwasanya semua itu adalah rekayasa politik Orba. (M Faksi Fahlevi)
Editor: Ulfatul Fikriyah