Home - Kritik Perpolitikan dalam Pentas “Sayang Ada Orang Lain

Kritik Perpolitikan dalam Pentas “Sayang Ada Orang Lain

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Dari kiri: Haji Salim, Suminta, Hamid, dan Udin sedang cek-cok mengenai Mini. (Doc. Alimah)

Dari kiri: Haji Salim, Suminta, Hamid, dan Udin sedang cek-cok mengenai Mini. (Doc. Alimah)

Lpmarena.com, Sebuah pementasan tak bisa lepas dari konteks zaman yang terjadi pada saat itu. Seperti yang ditampilakan Teater Eska dalam studi pentas XX yang mengambil lakon “Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy T. Sontani. Pentas berdurasi sekitar 1,5 jam ini berlangsung di Gelanggang Mahasiswa UIN Suka, Jumat (13/3) malam.

Mengambil latar budaya Sunda, pentas dimulai dari adegan suami istri yang hidupnya miskin. Saking miskinnya tukang minyak hingga pedagang sayur sering menagih suami istri ini. Mereka ingin mengubah keadaan hidup. Teman Suminta bernama Hamid datang memberi tawaran untuk hidup Suminta dan Mini.

Di sisi lain muncul tokoh bernama Haji Salim yang berkata pada Suminta jika istrinya Mini telah berselingkuh dengan Hamid. Suminta pun naik darah, ia menginterogasi Mini mengenai ucapan Haji Salim yang dianggapnya orang yang bisa dipercaya itu.

Mini mengelak, ia tak merasa berselingkuh dengan Hamid. Konflik terjadi, Suminta, Haji Salim, dan Hamid yang saat itu datang bersama temannya Udin bertengkar di rumah Suminta saling mencari pembenaran. Hingga satu per satu tokoh pergi, Suminta pergi, dan menyisakan Mini sendiri.

Lailul Ilham selaku sutradara mengatakan jika naskah ini berbicara tentang wacana kebenaran. “Ada satu hal yang diprioritaskan. Bahwa kebenaran tidak dibawa dari satu hal saja, kebenaran dibawa orang lain,” katanya.

Wahyu selaku salah satu aktor yang memerankan pedagang sayur bercerita jika tokoh-tokoh dalam Sayang Ada Orang Lain menggambarkan kondisi perpolitikan Indonesia saat itu.

“Naskah dibuat pada tahun 1956 waktu itukan kalau dilihat dari segi polittik, si Mini itu menggambarkan Indonesia, Minta itu Soekarno, Hamid itu Soeharto,” ujarnya. Ia juga menambahkan naskah ini juga bercerita tentang posisi seniman pada masa itu. (Isma Swastiningrum)