Oleh: Januardi*
Kemarin Rabu (11/3), saat suasana memanas karena kedatangan beberapa orang Ormas ke UIN Suka Yogyakarta, berkata seorang mahasiswa semester sepuluh Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Suka, Ahmad Taufiq, di depan Multy Purpose, kira-kira pukul 10.00 WIB.
“Yang penting itu ya yang kayak gini nya (suasana yang memanas). Kalau nonton bisa sendiri-sindiri di leptop. Diskusi juga bisa di warung kopi, berdua,” kata dia yang kemudian diamini oleh beberapa orang di sekitarnya. Prsiden mahasiswa (presma) kita menjadi salah seorang yang mengangguk. Termasuk saya.
Ucapan itu muncul dalam rangka menanggapi “serangan” Ormas yang bermaksud menggagalkan acara nonton dan diskusi film “Senyap”, karya sutradara Joshua Oppenheimer yang berlangsung pada hari yang sama. Saya tidak tahu persis apa maksudnya berkata seperti itu. Orangnya memang suka bikin kisruh. Yang pasti, dia cuma mau bilang bahwa suasana yang memanas itu memang harus dihadapi dan merupakan bagian yang penting, dari sekedar nonton film dan berdiskusi. Bahwa sejak awal niat mengadakan acara, panitia pasti tahu konsekuensinya, yaitu akan adanya penyerangan. Tapi toh tetap dilaksanakan, yang berarti memang “minta diserang”.
Jika yang dia katakan itu serius dan memang seperti itu yang diharapkan khalayak, saya rasa pernyataan tersebut membawa kita ke pertanyaan “ecek-ecek”. Ada apa dengan Senyap? Apa yang memungkinkan pemutaran Senyap menjadi penting untuk diperjuangkan? Mengingat, sejak rilis pertama kali pada 10 Desember 2014 -bertepatan dengan hari HAM sedunia- pemutaran Senyap berkali-kali diserang, rata-rata yang diserang membatalkan acaranya.
Senyap itu film documenter yang menceritakan kondisi salah seorang keluarga korban tragedi ’65. Film tersebut menampilkan bahwa keluarga korban menahan begitu besar rasa sakit akibat kehilangan salah seorang anggota keluarga. Tidak hanya itu, Senyap juga menunjukan bagaimana keluarga korban masih mengalami diskriminasi yang nyata, karena dianggap sebagai sisa-sisa gerakan komunisme di Indonesia. Mitos bahwa mereka harus dijauhi dan dipandang “sinis” ternyata masih saja ada, bahkan setelah 17 tahun runtuhnya rezim yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi ’65.
Dalam Senyap, ditampilkan bagaimana salah seorang berusaha untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan keluarganya. Tidak dijelaskan secara nyata apa motifnya. Tapi jika menonton langsung, kita bisa melihat yang diinginkan hanya seucap kata “maaf” yang dilontarkan secara langsung. Karena hanya dengan begitu ia bisa sedikit berdamai dengan dendam yang terus subur.
Bagaimana tidak. Pembaca tentu bisa membayangkan sendiri bagaimana rasanya melihat orang-orang yang membunuh anggota keluarga kita, tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang pernah dilakukannya. Bahkan dengan bangganya memperagakan ulang eksekusi yang telah dilakukan. Perasaan tidak bersalah itu, bukan hanya diakui oleh satu orang. Namun hampir semua orang yang terlibat berpendapat seperti itu.
Saya tidak ingin terus membahas motif tragedi ’65. Yang pasti, negara Indonesia sejak kepemimpinan Gus Dur dan SBY, telah mengungkapkan secara terbuka permintaan maaf kepada keluarga korban atas tragedi ’65. Sayangnya, di akar rumput, permintaan maaf negara tidak sepenuhnya mendapat anggukan dari para pelaku yang terlibat secara langsung. Hal ini tentu membuat permintaan maaf negara menjadi mandul belaka. Basa-basi dan formalitas, agar Indonesia tidak mendapat cap negara yang melegalkan pelanggaran HAM.
Manusia memang seperti itu. Kendati sudah mengaku bersalah, tapi hasrat untuk menutupi kesalahan tersebut cenderung sulit dibendung. Berbagai cara akan dilakukan supaya kesalahan dibenarkan atau setidaknya dapat dimaklumi. Jika ada yang berusaha mengungkit kesalahan masa lalu, kepanikan akan menyebabkan mekanisme pertahanan psikis (represifitas) manusia menjadi aktif. Represifitas itu kemudian muncul dalam bentuk yang aneh-aneh. Yang pasti, jika dikontekskan dalam acara pemutaran Senyap, represifitas itu berujung pada ketidaksetujuan agar Senyap menjadi tontonan dan didiskusikan secara luas.
Secara umum, bentuk represifitas pihak-pihak yang tidak setuju pemutaran Senyap dapat dibagi dua. Yang pertama menggunakan dalih ideologis dan fobia komunis. Sedangkan yang kedua menggunakan dalih stabilisasi kondisi sosial. Dalih-dalih ini menjadi bentuk nyata atas represifitas manusia terhadap dosa masa lalu.
Dalih ideologis dan fobia komunis yaitu pihak-pihak yang secara membabi buta menolak pemutaran Senyap. Ideologi mereka memaksa untuk tidak dapat menerima Senyap dengan alasan apapun. Untuk itu, keluarlah seperangkat “senjata” yang membantu mereka menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan. Saya rasa pembaca mengerti apa yang saya maksudkan. Sehingga, dengan diputarnya Senyap, sama saja dengan membuka peluang munculnya paham komunis di Indonesia. Ormas yang menyerang UIN Suka termasuk pihak-pihak yang seperti ini.
Kemudian, dalih stabilitas kondisi sosial merupakan mereka yang berpendapat, ada baiknya Senyap urung ditayangkan, karena dapat menimbulkan khaos horizontal. Argumen ini diperkuat dengan dalih kepentingan bersama. Sayangnya, jika dilihat dari ungkapan-ungkapannya, rektor baru kita termasuk pihak yang seperti ini.
Ada apa dengan Senyap?
Meninggalkan fakta untuk dicaci.
Senyap hanya film dokumenter. Sebuah usaha untuk menunjukan fakta bahwa kita manusia, yang pernah salah. Fakta itu tentu awalnya berbentuk martil yang akan meremukan setiap kepala. Tapi pada akhirnya membawa kita menjadi manusia yang rendah diri dan jujur dalam meminta maaf.
Adapun kecurigaan bahwa Senyap merupakan usaha-usaha pihak tertentu untuk kembali menghidupkan paham komunis di Inodnesia, hanya karena yang memproduksi itu orang asing (terlebih lagi Amerika), saya rasa itu persoalan lain. Semua tentu paham, UIN Suka itu ladangnya wacana. Mentok kanan kiri semuanya ada. Saya juga yakin banyak dari mahasiswa UIN Suka tidak sepakat dengan Senyap. Di mana lagi dapat diterapkan konsep “Komunikasi Yang Setara” ala Hubermas atau “Pendidikan Yang Membebaskan” ala Paulo Freire, selain di lingkungan akademik.
Oleh sebab itu, mari membawa Senyap ke wilayah yang semestinya, yaitu wilayah wacana. Karena bagaimana pun, kendati bertopeng kebenaran dan HAM, Senyap tetaplah wacana tandingan dari rezim yang terlanjur mapan. Bisakah wacana dibendung dengan tindakan-tindakan represif yang menggunakan kekerasan fisik? Sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak akan bisa.
Gilbert Heighet, dalam tulisannya yang berjudul “Pikiran Manusia yang Tak Tertundukan” pernah mengatakan, kepala bisa dibuat tunduk karena ketakutan. Tapi tidak lantas demikian pikiran manusia dapat ditundukkan. Karena justru dengan kepala tertunduk, pikiran manusia aktif berpikir dan merenung.
Membawa Senyap ke ranah wacana merupakan satu-satunya peluang bagi pihak-pihak yang kontra untuk menang. Bahwa berkuasa atas wacana akan lebih bertahan lama ketimbang berkuasa atas fisik. Bahwa jika dibandingkan dengan penindasan fisik, penindasan secara wacana adalah “seasu-asunya” penindasan.
*Penulis Jemaat ARENA.