“Tidak untuk dibicarakan, tapi dirasakan” –Mira pada Awal.
Lpmarena.com, Setelah sukses menghadirkan pentas Sayang Ada Orang Lain, di pentas kedua, Sabtu (14/3), Teater Eska dalam agenda studi pentas XX menghadirkan pementasan Awal dan Mira di gelanggang mahasiswa UIN Suka.
Sebuah lagu tradisional bernuansa khas Sunda menjadi pembuka. Setting latar sebuah warung kecil yang dihuni oleh seorang ibu dan anaknya bernama Mira tampak berdiri cantik di tengah panggung. Seorang pria bernama Awal, dia orang kaya yang mencintai Mira, tetapi Mira selalu menolaknya.
Di sisi lain, di luar sana banyak orang yang juga merebutkan hati Mira. Seperti dua pemuda preman yang mengejar-ngejarnya, pun mereka ditolak Mira. Dua pemuda ini bersaing dengan Awal, pun juga dibenturkan dengan kakek tua yang meskipun telah berumur masih tak sungkan menggoda Mira. Sebenarnya juga kakek tua tahu jika Mira mencintai Awal.
Chaos memperebutkan hati Mira terjadi. Awal tak kenal lelah mengejar Mira. Hingga suatu hari datang seorang wartawan dan seorang fotografer ingin mengangkat profil Mira dalam majalah mereka. Awal mendebat wartawan ini. Sampai akhirnya setelah wartawan pergi, tercipta dialog yang intim antara Awal dan Mira. Mereka saling mengucapkan apa yang mereka rasakan, hingga ucapan Mira membuat Awal kalap dan mengobrak-abrik warung tersebut.
Terkuaklah sebuah kenyataan pahit jika Mira dalam kecantikannya dia memiliki kaki yang buntung. Dirinya menjadi korban perang. Saat Mira menunjukkan kekurangannya, Mira mengaku jika ia sesungguhnya juga mencintai Awal. Lalu, pementasan diakhiri dengan adegan Awal yang sedih dan menangis, karena orang yang dicintainya tak yang seperti ia harapkan.
Proses pementasan yang memakan waktu proses sekitar dua bulan ini ingin menguak tentang tiga ideologi besar yang berkembang pada zaman itu (sekitar tahun 1949) yaitu nasionalis, agamis, dan komunis. Hal tersebut diungkapkan sutradara pementasan, Jauhara Nadvi Azzadine.
“Gambaran komunis diwakili preman yang selalu ngoceh akan perjuangannya. Mereka tidak menerima kemerdekaannya sendiri,” ucapnya. Zadine menambahkan naskah ini juga menyodorkan tentang wacana teologi, seperti pak tua yang mewakili gologan agamis. Wartawan sendiri digambarkan mewakili golongan nasionalis.
“Antara komunis, agamis, dan nasionalis berperang dengan ideologi Awal yang lepas tanpa punya pegangan. Orang-orang yang dikatakan badut, orang yang tak ada ideologinya. Mereka terjebak dengan ideologinya yang ideal, hingga kenyataannya Mira tak seperti yang dia inginkan,” kata Zadine lagi.
Habiburrahman selaku aktor yang memerankan tokoh Awal atas naskah karya Utuy T. Sontani ini, ada beberapa hal yang ingin disampaikan Utuy, yaitu respon Utuy atas peperangan yang terjadi di Indonesia dan dunia tahun 1949. Mengambil latar ’51 tahun paska perang, memperlihatkan orang-orang yang mengalami traumatik saat peperangan.
“Lewat memori kebertubuhan aktor seperti Awal dan Mira, sebuah representasi trauma dan mereka terjebak dalam psikologinya,” ujar Habib dalam sarasehan pentas seusai pementasan. Habib sendiri khawatir jika di zaman sekarang, generasi tanpa pendirian seperti Awallah yang kebanyakan muncul. (Isma Swastiningrum)