“Jika suatu hari duniamu terbalik, Bapakku. Berjanjilah untuk tidak bersedih terlalu lama.”[1] Kata yang menohok hati Paimin. Dan itu benar-benar terjadi. Ia hanya manusia lemah. Ia tak bisa berjanji.
Matahari yang terik. Udara yang pengap. Di sebuah tampat duduk sederhana, Paimin mengipasi tubuhnya dengan kertas lusuh. Ia kelelahan setelah seharian membersihkan rumput yang tidak diinginkan tumbuh. Arit ia letakkan di sampingnya. Matanya memandangi bangunan megah. Di dalam bangunan itu, kerapkali ia datang pagi-pagi. Membersihkan dari sampah-sampah. Entah sampah dari sisa makan para pekerja atau sampah-sampah yang lain. Terbesit dalam pikiran Paimin. Kalau saja …
**
Orang-orang berkerumunan di persawahan Paimin yang luasnya lebih dari satu hektar. Berdesakan melihat salah satu darinya meneliti keadaan tanah. Orang tersebut memang pernah tinggal di sini: sebuah desa kecil yang penduduknya masih awam. Sungguh-sungguh awam. Pendidikannya kurang. Infrastruktur kurang memadai. Jalanan belum ada yang teraspal. Rumah-rumah masih jarang-jarang punya penerangan listrik.
Tapi karena ikut ayahnya pindah ke Singapura, ia sendiri yang terlihat gagah dan kaya. Dan tentunya berpakaian rapi layaknya orang dinas. Kendaraannya mobil. Orang-orang memanggilnya Jhon. Pak Jhony. Meski nama dulu sewaktu kecilnya Dhen Bagus.
Walau matahari masih bertengger di atas kepala, dan panasnya menyengat, orang-orang masih merubung. Berdesak-desakan. Seperti hendak melihat pertunjukan mewah yang baru pertamakalinya ditayangkan. Seperti tak merasakan sengatan matahari itu. Apa gerangan yang terjadi? salah seorang bertanya-tanya dalam hatinya. Dan barangkali hampir semua punya pertanyaan perihal itu.
Jhony akhirnya selesai melihat-lihat keadaan sawah Paimin. Ah, tampaknya tidak hanya melihat-lihat, tapi meneliti. Dengan alat yang orang-orang setempat itu sendiri tidak menahu apa itu. Jhony mendekati Pak Lurah. Mereka berbincang sejenak.
“Pak, siapa pemilik persawahan ini?”
“Paimin, Pak. Orangnya masih di Jakarta, rumah saudaranya. Ia sama keluarganya menginap di sana,” jawab Pak Lurah sambil menjabat tangan orang itu. “Ada apa ya?” terusnya.
“Oh, ini. Saya mau beli tanah ini. Kira-kira kapan pulangnya mereka?”
“Kurang mengerti, Pak. Di sana sudah tiga hari. Biasanya seminggu pulang.”
**
Masih jelas ingatan Paimin saat kedatangan tamu istimewa dari Singapura. Sekalipun masa kecilnya adalah temannya sendiri. Tigapuluh tahun yang lalu memang terlihat sudah lama. Tapi baginya, kejadian itu memang seperti barusaja terjadi kemarin.
Paimin mengusap air yang meleleh dari matanya. Ia tak mau ada orang melihatnya menangis sendirian di akhir tahun ini. Apalagi seperti tidak ada sebab-musababnya. Akhirnya, ia lagi-lagi harus dipaksa ingatannya menelusuri masa lalu.
**
Deru angin masih terdengar luruh. Musim panen baru saja selesai. Sawah-sawah seperti ada kekosongan. Seperti terlihat kehampaan. Tak ada padi tak ada jagung. Yang tumbuh di sana hanya rumput-rumput. Ilalang memanjang. Kalau sudah seperti ini, biasanya orag-orang setempat akan keluar bersama peliharaannya. Ada sapi, ada kerbau, ada kambing.
Tapi Paimin tidak. Ia tidak membawa sapinya keluar merumput seperti kemarin. Ia asyik berbincang dengan kawan lama di bawah pohon ploso yang memang tumbuh di pinggir pematang.
“Kau sudah sangat sukses, Dhen.” Jhony merasa rikuh dipanggil seperti itu. Tapi biarlah, ia memang sahabat karib.
“Nggak, Min. Saya ke sini aja pontang-pantingan.”
“Ndak mungkin.” Sergah Paimin cepat. “Lha wong mobilmu aja sebagus itu. Dandananmu seperti ini. Tidak mungkin tidak sukses.” Lanjutnya.
“Tapi kamu lebih sukses. Sudah bisa pergi umroh. Sedangkan aku?”
“Sebenarnya, aku kepingin haji. Tapi baru nabung sedikit-sedikit. Belum ada uang kalau sekarang.”
Jhony tidak menanggapi. Matanya melihat sekeliling. Pandangannya menangkap orang-orang menggembala hewan peliharan. Pucuk ilalang terombang-ambing angin. Seperti hatinya yang hendak mengatakan sesuatu. Terombang-ambing dan bimbang. Tapi, ini demi hidupnya, demi masa depannya.
“Min, kamu butuh uang?” tiba-tiba saja mulutnya berkata seperti itu.
Paimin menoleh. “Iya, Dhen.” Ucapnya pelan.
“Jual saja sawahmu ini.” Pernyataan yang sangat menghentak Paimin.
“Aku ndak mungkin menjual sawah. Ini ladang kehidupanku, Dhen.”
“Aku beli dua kali lipat dari harga biasanya.”
Paimin mendadak gagap. Ia terpana. Ia tak percaya. Terbesit di pikirannya, hutang pada bank belum terlunasi gara-gara dua musim panennya selalu rugi serta. Anaknya hendak lulus sekolah menengah atas. Anak yang satunya akan menikah sebentar lagi.
Paimin tak bisa bicara. Jhony tahu itu. “Ya sudah. Pikir-pikir dulu secara matang. Kalau beneran mau, aku datang lagi besok bawa uang. Tunai.”
“Aku ada acara dulu sama teman. Mari…” tambah Jhony. Ia berlalu meninggalkan Paimin yang penuh tanda tanya. Di bawah pohon rindang, hatinya bimbang.
**
Orang-orang setempat mengerti kalau Jhony akan membeli sawah Paimin. Tapi tidak untuk dua kali lipat itu. Rasa-rasanya terdengar tidak mungkin. Tapi apa gerangan yang akan terjadi?
Awalnya semua tercengang mendengar penjelasan Jhony. Mau dijadikan apa sawah Paimin? Kenapa hanya sawah Paimin? Sawah itu akan dijadikan tambang minyak. Di bawah sawah Paimin tersedia minyak bumi yang sangat berlimpah. Dan itu baru diketahui.
Tidak banyak yang tidak setuju. Tidak banyak pula yang setuju. Sebab mereka tak tahu apa itu tambang minyak. Bagaimana dampaknya. Semua terbengong-bengong begitu saja.
Kemudian pada saat Jhony menjelaskan maksud hatinya. Semua seakan-akan setuju. Bagaimana tidak? Setahun yang akan datang, tambang minyak itu dijanjikan akan membiayai anak-anak yang tidak sekolah sampai tamat. Akan memperbaiki jalanan yag rusak. Akan membantu membuat saluran listrik. Dan semuanya dari yang remeh temeh sampai terdengar megah dan mustahil. Seakan-akan uang Jhony tidak akan habis.
Maka begitulah ceritanya, semua membujuk rayu Paimin agar melepaskan sawahnya. Tak ada yang tak setuju. Lagi pula, bisa saja kan nanti membeli sawah yang lain. Istrinya juga bilang seperti itu. Nahasnya, tak ada satu pun yang mencoba cari apa yang akan terjadi di balik itu. Kecuali anak laki-lakinya yang akan lulus sekolah nanti.
“Pak, sawah njenengan mau dibuat tambang minyak. Itu berdampak sangat buruk bagi lingkungan sekitar.”
“Cung, kamungerti apa? Kamu belum lulus sekolah. Lulus sekolah itu bayar. Lebih banyak dari yang sebelumnya. Kamu ndak ngerti kalau keadaan bapak sekarang tidak punya duit. Dua kali berturut-turut panen kita rugi banyak. Kamu ndak ngerti kalau bapakmu itu punya hutang dengan bank. Mbakmu mau nikahan, itu juga butuh uang. Apalagi katamu kamu mau melajutkan kuliah.” Sahut ibunya. Paimin hanya terdiam.
“Iya, Bu’. Saya ngerti itu semua. Tapi, bayangkan kalau lingkungan persawahan di desa kita rusak? Siapa yang mau bertanggung jawab? Pak Jhony ndak mungkin mau.” Anaknya mencoba menjelaskan. Ia tahu semua itu karena bersekolah. Sedang bapak ibunya hanya lulus sekolah dasar.
“Tidak ada ceritanya tambang minyak merusak lingkungan. Lha wong, kata Pak Jhony, tambang minyak itu hanya mengambil minyak dari bawah tanahnya. Eman-eman kalau tidak diambil. Mubadzir.” Ibunya bersikeras menyetujui penjualan sawah suaminya.
“Saya ngerti, Bu’. Iya, kata Pak Jhony memang seperti itu. Bahkan dia bilang akan membantu mensejahterakan kehidupan penduduk di sini. Dengan membangun infrastruktur. Dan membantu pendidikan anak-anak yang akan sekolah. Saya juga…”
Belum selesai berbicara, Paimin memotong. “Aku akan jual sawahku. Kalau nanti Dhen Bagus benar-benar membantu anak-anak yang akan sekolah. Membangun desa ini. Paling tidak kita juga akan dapat pahalanya. Aku akan jual sawah itu dan akan beli yang lain. Ini kesempatan.” Kata-kata itu membungkam anaknya.
**
Anak-anak riang melewati jalanan yang mulus. Kalau malam, keluarga yang awal mula kegelapan kalau malam tiba, kini sudah punya listrik sendiri. Bahkan banyak sudah yang punya televisi. Bapak-bapak kini tidak terlalu bersedih memikirkan biaya sekolah anaknya. Semua tak percaya ada orang sebaik Pak Jhony, termasuk Paimin. Tapi, ia juga tak percaya kenapa anaknya begitu ngotot tidak menyetujui apa yang dilakukan bapaknya. Sehingga kuliah pun tak mau dibayari Pak Jhony. Memilih sambil kerja sendiri. Setahun sekali pulang kalau mendekati idul fitri.
Desa itu kini berkembang pesat. Orang-orang mengagung-agungkan Pak Jhony. Tapi, lama-lama mereka menyadari. Hal ini mula-mula mereka yang punya sawah terdekat dengan tambang minyak itu. Panen mereka sangat sedikit. Bahkan sampai ada yang gagal panen.
Kemudian kesadaran itu disusul oleh orang-orang yang tinggal di dekat jalan raya. Mereka selalu terusik dengan adanya mobil-mobil besar pengangkut tambang tiap malam sambil kebut-kebutan. Kerapkali memakan korban.
Tidak lama lagi, kesadaran itu juga disusul oleh Paimin. Semua itu gara-gara dirinya. Begitu mudah termakan godaan uang.
Semua penduduk desa hendak berdemo, minta pertanggung jawaban akibat dari tambang minyak itu. Kecuali orang-orang yang menjabat kepala desa, bayan, kepala dusun, sekretaris desa, dan lain semisalnya. Tak tahu kenapa. Tapi, setiap kali mereka hendak berdemo, selalu saja dihadang polisi-polisi. Mereka ingin tahu Pak Jhony, tapi ia tidak pernah ada. Pak Jhony menetap di Singapura dan tak pernah mengunjungi tempat pertambangan itu. Paling-paling di sana cuma ada orang suruhannya.
**
Paimin mengerti kenapa dulu anaknya bersikap seperti itu. Kini ia tinggal sendiri. Anaknya yang laki-laki itu sudah hilang tujuh belas tahun yang lalu dalam tragedi demonstrasi di Jakarta. Istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu karena kanker. Sedangkan anak perempuannya dibawa ke rumah suaminya di Kalimantan.
Mata Paimin kembali berkaca-kaca. Sawahnya kini habis. Hewan peliharaannya apalagi. Satu-satunya mata pencahariannya hanya di bagunan itu. Bangunan di atas sawahnya sendiri. Sebagai tukang bersih-bersih yang upahnya tidak memadai.
Paimin hanya berandai-andai, sambil mengingat-ingat pesan anak lelakinya. Kalau saja…
**
“Innalillahi wainna ilai rooji’un…”
“Siapa yang meninggal?”
“Haji Paimin.”
“Loh, kemarin bukannya masih berbincang-bincang sama aku. Sakit apa dia?”
“Bunuh diri. Ia menggorok lehernya dengan arit.”
2015
*Daruz Armedian, pemerhati koran. Tinggal di Bantul, Yogyakarta.
[1] Kata-kata ini termaktub dalam cerpen Alesia, karya Sungging Raga.