Home - Cerita Malam Minggu dan Pemberian Batu Akik

Cerita Malam Minggu dan Pemberian Batu Akik

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M. Faksi Fahlevi*

“ Aku adalah lelaki mistik yang rasional”

Jam sudah menunjukkan pukul 0:30 WIB, menunjukkan bahwa hari Sabtu baru saja berlalu, serta mengakhiri obrolan panjang dengan seorang kawan yang bagiku sangat dermawan. Temanku yang satu ini juga merupakan seorang yang pakar dalam filsafat Islam, serta punya cita-cita yang kuat dalam membangun bangsa ini. Tidak khayal jika dia sekarang menjadi aktivis marhenis, bersama dengan Minrahadi Lubis.

Kawan-kawanya di kampus dan di luar kampus sering menyebutnya dengan nama Farid. Lelaki berbadan besar, kulit sawo matang dan berambut gondrong ikal. Jika dia di kelas selalu berbicara lantang dan keras, karena dia berasal dari pulau garam Madura, atau orang Jawa menyebutnya timur Jawa.

Obrolan ini diawali di perempatan jalan Papringan. Berapa saat kemudian kami diusir paksa. Bukan oleh aparat kepolisian maupun warga sekitar, melainkan dari riak hujan hingga gertakan petir yang terus menyambar. Hal itu yang membuat saya terpaksa kabur dan mencari tempat berlindung dari hujan. Hingga pada akhirnya kita putuskan untuk ke kos dia, karena yang paling mendekati di antara kami.

Sedikit melawan gempuran hujan kami tiba di Gang Ori 2 depan komplek 6A, lantai 2 di mana ia tinggal. Setelah ia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk, saya mulai memahami keadaan. Seperti biasanya, saya punya kebiasaan memperhatikan suatu yang baru yang saya lihat. Dari hal yang kecil dan yang besar. Karena itu juga merupakan proses pengetahuan yang pada akhirnya aku imitasikan dalam bentuk gagasan, seperti yang diajarkan oleh Aristotoles.

Pandangan pertama saya tertuju pada rak buku. Ada pun isinya mengenai belbagai macam judul pembahasan, di antaranya, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Serta di bawahnya terletak papan kecil yang berisi bahasa-bahasa filsafat yang disertakan dengan maksud dan artinya. Seperti halnya kata hirarki, romantika, dan reduksi yang mungkin ia tidak pahami.

Ada juga kalender besar yang bergambar Drs. Muhammad Hatta di sebelah timur pintu yang bersandding di atasnya kalimat motivasi. “Lihatlah! Apa kamu menang pada dirimu sendiri atau kalah melawan dirimu sendiri.” Tulisan itu melekat rapat pada dinding yang berwarna hijau.

Pada saat itu saya mulai berpikir arti memesisnya Aristoteles yang mana telah saya singgung di atas. Bahwasanya cerminan pribadi seorang dalam membentuk kehidupannya dan lingkungannya juga tidak lepas dari situasi sejarah sebelumnya. Artinya kenapa warna catnya hijau, apakah karena dia orang NU atau gimana ? Di sinilah saya terpaksa berpikir hermeneutik. Interpretasinya dia dilahirkan sebagai kalangan santri yang kuat dalam prinsip-prinsip NU, pantas saja catnya hijau.

Berikutnya, bbeerapa menit kemudian setelah saya dipersilahkan masuk, ia membawa dua gelas minum, yang masing-masing gelas berisi es teh dan susu coklat anget. Secara spontan saya memuji pada dia jika kamarnya sangat rapi dan bersih hingga ada akurium ikan segala. Ia pun menjawab, jika akuarium ikan melambangkan kejernihan berpikir di mana di dalam akuarium tersebut dipenuhi oleh air dan aneka hiasan lainnya. “Artinya air menempati semua ruang, singkatnya kita harus seperti air tidak berpikir sempit dan tidak mau masuk pada kalangan tertentu karena dianggapnya rendah,” dan ia pun menambahkan “Allah tidak suka dengan orang-orang yang tidak menghargai sesamanya,” ucapnya.

Pembahasan kami sampai pada persolan isu tren hari ini yang sangat populer yakni batu akik. Ia juga percaya kesakralan batu akik pada tempo dulu, walau pun ia sebagai orang filsafat yang dianggapnya manusia yang rasional tanpa mistik. Bagi ia batu akik punyak daya spritualitas yang bisa menghadirkan nilai-nilai moralitas kehidupan manusia. Tapi persoalannya hari ini apakah batu akik akan kembali menjadi nilai spritualitas pada yang kausalitas atau hanya komoditas? Pertanyaan ini begitu saya pahami dalam-dalam supaya tidak terjebak oleh ideologi batu akik yang pada ahirnya mengkonstruk pola hidup yang hedonis dan sombong.

Ia kembali membuka dialog kecil kami yang awal, yakni diskursus budaya masyarakat kita hari ini yang cacat berpolitik, perpendidikan dan berekonomi. Dan ada yang lupa jika batu akik juga pada akhirnya menjadi bagian dalam pembahasan.

Ia juga memberikan penjelasan dengan mengambil budaya batu akik hari ini dengan mengunakan pandangan mazhab Frankfurt “Teori Kritis.” Di saat batu akik menjadi tren di tengah-tengah masyarakat dan kita mengamini itu semua sebagai perilaku yang baik dan nyaman untuk kita jadikan sebagai perilaku yang bermoral, maka kita harus kembali untuk mengkritisi ulang dan menaruh curiga. Karena prinsip manusia hari ini hanya punya kehendak untuk berkuasa dan mengeksloitasi SDA maupun SDM dari dunia ini. Kira-kira begitu penyampaian yang saya pahami.

Pada akhir penutup ia juga memberikan batu akik pada say,a sebelumnya ia berpesan. “Tapi ingat batu akik hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam menemukan akal murni dalam menentukan nasib manusia hari ini yang kacau balau,” pesannya.

Tanpa banyak basa-basi aku juga memberikan ucapan terima kasih pada sahabat saya ini. “Terima kasih kawan batu akiknya. Semoga kebaikan yang kamu berikan selalu diberkati oleh yang kausalitas.”

*Mahasiswa jurusan Filsafat UIN Sunan Kalijaga.