Lpmarena.com, Berangkat dari kegelisahan akan rekayasa, Anak Muda Bicara Teater (AMBT) dan Institute Tingang Borneo Teater (ITB Teater) menghadirkan pertunjukan Rekayasa Cinta, sebuah naskah yang diadapatasi dari karya filsuf Nicolo Machiavelli berjudul “Ketika Iblis Menikahi Seorang Perempuan”.
Seorang iblis dari neraka yang berpakaian superhero bernama Ramutu mengeluh pada seorang iblis kemayu bernama Minus. Dua iblis ini berdebat tentang kondisi yang ada di neraka. Salah satunya sedikit menyinggung gender karena banyak laki-laki dalam neraka diakibatkan karena ulah perempuan.
Lalu datanglah ratu neraka bernama Lucifer bersama pengawalnya Bagor. Lucifer membuat kebijakan radikal, ia mengutus Bagor, Ramutu, dan Minus turun ke bumi. Merasakan kehidupan disana.
Ya, sepotong adegan ini mengawali kisah teater beraliran pop dalam rangkaian program silaturahmi budaya yang diinisiasi oleh AMBT. Para aktor yang bermunculan di panggung gelanggang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jumat (27/3), akhirnya mengurai kisah perjalanan iblis dari neraka untuk hidup di bumi.
Setelah tiga iblis itu turun ke bumi, Bagor yang mengubah namanya menjadi Bambang menikah bersama wanita tunasusila bernama Hernia yang materialistis. Dua iblis lainnya, Ramutu dan Minus menjadi budak/pembantu Hernia. Di adegan Hernia dan Bambang inilah rekayasa diperlihatkan. Bambang rela melakukan korupsi untuk istrinya agar dia bisa membeli mobil dan sepatu mewah berakik.
Saat Bambang tak memiliki apa-apa lagi ia diburu debt collector, lari ke batas kota dan bertemu dengan seorang pengangguran bernama Dangmatio. Bambang meminta bantuan Dangmatio untuk menghidarkannya dari uber-uberan debt collector. Dangmatio bersedia membantu dengan syarat Bambang nantinya harus memberikannya pekerjaan. Di sini rekayasa juga terjadi, Bambang menjanjikan Dangmatio bisa nolong mencarikannya kerja.
Adegan lalu berpindah pada rumah seorang kaya bernama bos Bowo. Meski kaya ia memiliki anak gila yang kesurupan bernama Putri. Dangmatio yang telah mendapatkan pekerjaan sebagai dukun mendapat tugas untuk menyembuhkan Putri. Sayangnya, Dangmantio tak bisa menyembuhkan Putri yang saat itu Putri dirasuki iblis Bagor. Dalam rumah bos Bowo para aktor berdialektika.
Cinta tak bisa direkayasa, karena cinta kejujuran. Begitu yang dikatakan Abimanyu Prasastia Perdana selaku sutradara Rekayasa Cinta. Kenapa Abi memilih Rekayasa Cinta? Karena ia melihat semua hal telah merekayasa.
“Lebih jauh tujuannya ke kecintaan untuk negara. Semua pihak hampir semua merekayasa, seperti negara yang melakukan rekayasa dan mengaku tujuannya untuk rakyat,” kata Abi.
Dari aktor pemainnya sendiri, Abdul Khafidz Amrullah yang berperan sebagai Bagor (Bambang) berujar hal serupa dengan Abi bahwa banyak hal di sekitar kita ini direkayasa, apa pun bentuknya. “Kayak tadi pas adegan setan. Mereka menyelamatkan dirinya masing-masing, mengaku cinta tapi rekayasa. Iblis representasi manusia sekarang,” ujar Abdul, yang juga salah satu pendiri ITB Teater Palangkaraya ini.
Selain itu pentas ini juga berbau tentang wacana kekinian seperti fenomena batu akik, konsumerisasi, dan budaya gadget. Seperti adegan saat Dangmatio dan bos Bowo memainkan properti gadget-nya, Abi berpendapat jika manusia sekarang lebih menyembah gadget daripada menyembah Tuhan. “Al-Qur’an kalah dengan gadget, kebanyakan nyembah gadget daripada Tuhan. Memandang remeh agama, miris,” keluhnya.
Tak serupa dengan proses teater pementasan lainnya. Pentas Rekayasa Cinta ini prosesnya ditempuh melalui jalan LDR, Long Distance Relationship. Dimana saat itu Abi yang dari Jawa (Jogja, AMBT) mengajak teateran dengan teman-teman di Kalimantan (Palangkaraya), ITB Teater.
“Voice note-an via BBM, dari Palangkaraya datang kesini (jogja) bareng-bareng. Prosesnya sekitar dua bulan,” kata Abdul.
Selain tujuan pentas sendiri, Abdul menambahkan tujuan lain yang ditekankan oleh sutradara adalah silaturahmi budaya. Bagaimana AMBT dan ITB Teater bersilaturahmi budaya dengan Teater Eska UIN Suka, atau pentas kedua nanti bekerja sama dengan Teater Pecut di daerah Kuningan Jawa Barat.
Keunikan yang dihasilkan dari LDR ini, pentas yang mengusung genre pop, dimana sesuatu yang jarang ditampilakan, ditampilkan. Keunikan itu terlihat pada pergantian setting. Dimana ketika pergantian setting, pentas teater pada umumnya memilih untuk blackout (mematikan lampu), pentas Rekayasa Cinta malah memperlihatkan secara terang-terangan orang-orang di balik layar itu dengan diiringi lagu, pencahayaan, dan gerak yang sepantasnya.
“Biasanya teater konvensional blackout, hampir tidak pernah meng-eksiskan ‘orang hitam’ dari belakang layar. Agar asyik, kami meng-eksiskannya,” ujar Abi.
Apresiasi datang dari Solihul Akmalia selaku penonton yang berpendapat pentas ini tidak seperti pentas teater pada umumnya. Hanya saja, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Suka yang juga bergiat di Sanggar Nuun ini memberikan kritik ada adegan yang membosankan, lama, dan bertele. Ia juga kebingungan dengan lighting-nya (pencahayaan), juga alurnya sendiri. “Saya heran. Iblis yang mengganggu manusia, tapi kenapa iblis malah bingung?” tanyanya. (Isma Swastiningrum)