Oleh: M Faksi Fahlevi*
“Sastra adalah kata, sedangkan kita adalah kata-kata”
Penggalan kalimat di atas merupakan penyampaian yang digelontorkan oleh seorang pemantik diskusi di lingkaran komunitas yang menyebut dirinya adalah INTRANS COMMUNITY. Pada Jumat (27/3), sebut saja namanya adalah Susdi, lelaki kelahiran Sumenep, Madura.
Tapi yang pasti dalam diskusi ini merupakan kreasi dari kumpulan anak-anak pemuda Madura yang selalu punya ambisi tinggi walau pun modalnya hanya nyali. Tapi mereka punyak tekat yang kuat dan niat yang tulus. Saya bangga menjadi orang Madura, punya budaya Islami dan berbudi pekerti. Sehingga kami tidak berhenti untuk diskusi dengan mengangkat tema “peran serta sastra untuk membangun kehidupan bangsa.”
Walau pun orang Jogja mengatakan sebaliknya, jika Madura orangnya keras. Tapi alangkah lucunya Jogja di mana-mana ada kekerasan, dan tidak menemukan kebebasan. Lantas bagaimana sastra mengimajinasi atas dua pandangan yang berbeda. Apakah sastra bisa mendamaikan? Apakah hanya bisa memberikan gambaran ilusi, bahasa metafor yang masyarakat tidak mengerti.
Seorang teman berkomentar di sudut pojok jalan itu dengan mengambil beberapa bait kata prosa yang ditulis oleh Zawawi Imron. ”Hai penyair! Masyarakat tidak butuh puisi, tapi kami butuh sesuap nasi,” ungkapnya dengan nada tinggi.
Pada kejadian itu sekitar pukul 22:10 WIB forum menjadi dua kubu, mereka para penyair dan kelompok aktivis sosial yang posisinya terus menyangkal diri saling mempertahankan argumentasi. Bahwasanya para penyair hari ini tidak mampu memberikan jawaban atas realitas. Jika Prostex menjawabnya, ”karena kita tidak punyak musuh yang nampak seperti halnya Orde Baru,” ucapnya.
Dan ia hanya memberikan saran pada kita bahwa tugas kita hari ini hanya menulis dan membaca saja itu lebih dari cukup. Saat itu pula saya mulai mengerutkan kening sambil berpikir dan terus melahirkan pertantanyaan. Dari kapan seorang penyair takut hantu? Berlari dari keheningan dan mencari suatu yang tanpak terang dan menjauh dari sudut-sudut malam.
Hingga melahirkan sebuah catatan kecil di ponsel yang baru saja dibelikan oleh ayah saya. “Dasar penyair momentuman,” ia hanya bisa mencipta seni yang bagus jika dia menemukan lawan yang nyata dari dirinya. Alias tuntutan semata, dan penyair kering kata-kata.
Kemiskinan dan ketidakbijaksanaan kaum teknokrat hanya dijadikan obyek keindahan dari puisi. Puisi tidak lagi menjadi hal yang sakral dalam perjuangan, melainkan puisi yang dicipta para penyair untuk dijadikan sampah jalanan, dengan harapan dimuat oleh media-media cetak yang pada akhirnya bisa memenuhi kebutuhan perutnya dan sehabis itu menjadi bungkus nasi di angkringan.
Saya masih berpandangan tidak semua penyair seperti itu, masih banyak penyair yang baik hati entah ia menulis puisi maupun prosa untuk kehidupan manusia. Setidaknya ia masih bisa berpikir pada dirinya, ungkap pemandu diskusi pada malam itu.
Sedikit cerita sastra pada perkembangannya. Sastra merupakan suatu peradaban dunia pertama sebelum rasionalisme dan empirisme untuk mengimbangi kehidupan manusia. Sastra adalah manifestasi dari alam itu sendiri yang diterjemah pada logika dengan memainkan rasa dan cinta. Tidak ada perdebatan, tapi yang terpenting ia punya kesadaran akan realitas untuk kebaikan bersama.
Pada saatnya penyair tidak hanya mampu mencipta, melainkan juga ikut serta dalam membangun dunia. Karena dengan kata-kata semua orang bisa berbicara, tapi tidak semua orang bisa realistis dalam bekerja dan bertanggung jawab pada apa yang ia lihat dan ia tulis. Ibaratkan dengan seorang editor dalam sebuah naskah, ia hanya pandai mengkritik dan hafal metode-metode penulisan dalam artian mahir ilmu alatnya, tapi ia tidak realistis pada kehidupan sosialnya. Terkadang menulis saja tidak.
Seniman saatnya berubah dan lebih peka pada apa yang kita lihat. Penyair yang dangkal berpikir saja yang menyatakan diri tidak bisa melihat musuh yang konkret hari ini. Kedangkalan berpikir di sini saya asumsikan bahwa ia hanya sibuk dengan kata-kata, gaya bahasa, dan ilmu alat saja, seperti saya jelaskan di atas tadi. Penyair tidak boleh mensekat-sekatkan pengatahuan pada sastra semata, minimal ia bisa kembali memahat potongan-potongan sejarah (baca: Usman Hadi), dan bisa paham tentang ekonomi politik, jika tidak bisa berfilsafat.
Pesan saya, tidak usah risau kawan dengan sastra, di sini saya penikmat sastra ketika saya sedang risau. Yang terpenting adalah bagaimana kita lebih jeli dan menempatkan diri sebagai seniman yang jauh dari intervensi kalangan-kalangan tertentu. Jangan jadi seniman bayaran seperti puisi-puisi palsu satu tahun yang lalu antara KRB dan Indonesiah hebat.
Sastra adalah propaganda yang harus lebih manusiawi agar bisa meresapi sambil minum kopi. Jika sastra punya nilai estetika yang baik, kopi tidak harus bersanding dengan rokok sebagai cipta rasa. Jadilah kopi dan susu berpadu. Masyarakat kopasus.
*Penulis, lelaki kelahiran 15 april 1993 yang separuh hidupnya selama kuliah dihabiskan di warung kopi serta penikmat kopasus.