Home - Bedah Buku Melawan Liberalisme Pendidikan

Bedah Buku Melawan Liberalisme Pendidikan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Sebelah Kanan Darmaningtyas dan kiri Bayu Wahyono.

Sebelah Kanan Darmaningtyas dan kiri Bayu Wahyono.

 

Lpmarena.com,Sabtu malam (28/03) buku berjudul “Melawan Liberalisme Pendidikan” dibedah di halaman Identitas Kafe. Acara yang dihadiri oleh berbagai civitas akademik, baik dosen maupun mahasiswa ini berlangsung sejak 20.32 hingga 20.22 WIB.

Setelah dibuka moderator, Darmaningtyas, penulis buku menjelaskan asal mula pengambilan judul buku. “Buku ini judul awalnya adalah Liberasisasi. Artinya menuju ke arah liberal. tetapi setelah masuk ke percetakan judulnya menjadi Melawan Liberalisme Pendidikan,” jelasnya.

Hadirnya buku ini berawal dari kegelisahan penulis karena adanya UU PHB dan ketentuan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, akhirnya UU BHP dihapuskan dan hanya berumur 1 tahun. Sedangkan RSBI dihapuskan juga setelah adanya gugatan terkait pungutan dari sistem RSBI tersebut.

Sistem tersebut juga dinilai sebagai bentuk pelimpahan tanggung jawab negara pada pihak swasta dalam hal pendidikan. Menurut Bayu Wahyono, pemerhati pendidikan dari FIP UNY menyatakan jika kedua sistem itu masih diberlakukan maka pendidikan yang ada di Indonesia akan menjadi ladang atau agen kapitalisme.

Standarisasi, Sertifikasi dan Word Class University

Dalam dunia pendidikan ada sistem standarisasi dan sertifikasi. Keduanya juga dampak dari liberalisasi pendidikan. Untuk standarisasi contohnya saja adanya pengejaran label ISO. “Untuk mendapatkan standar itu sendiri itu juga mahal, tidak hanya membutuhkan biaya yang sedikit. Rata-rata 90 juta. Dan itu harus selalu di-update,” ungkap Darmaningtyas.

Sedangkan untuk sertifikasi sendiri, menurutnya guru itu tidak perlu diberi seritifikasi. “Guru mau kreatif kok dipaksa oleh negara,” timpal Bayu.

Selain berpendapat dengan keadaan Indonesia kekinian, Bayu mengibaratan buku yang ada ditangannya itu ibarat suara yang sayup-sayup. Karena isi dari buku itu adalah mengkritik Liberalisme yang telah menjadi kehidupan di Indonesia. “

Harapan penulis setelah memunculkan buku ini yaitu menyemaikan nasionalisme. Lebih jauh Bayu mengomentari wacana word class university yang mulai menjadi tujuan perguruan tinggi. Dalam pencapaian target Word Class University itu seharusnya ada kesadaran bukan hanya ada pertukaran mahasiswa atau para birokrasi, tetapi harus ada yang diberikan. Harus ada modal bukan hanya belajar dengan tidak bermodal apapun. “Lucu, seharusnya kita sebagai obor(mascot). Biarkan negara-negara luar yang ke sini, bukan obornya yang kita bawa ke mana-mana,” tambah Bayu.

Ia kemudian mencontohkan Mbah Suko sebagai wujud wordclass university. “Nah itu baru Word Class University. Dikembangkan dengan predatornya juga obat-obatnya, akhirnya orang-orang Amerika datang ke situ, belajar,” ungkapnya menggebu.

Tidak hanya dalam bidang pendidikan saja yang telah terkena virus liberalisme. Bayu juga mengungkapkan di Indonesia dalam hal sepele pun telah mendapat pengaruh liberal. missal saja ketika misuh (mengumpat) “What The Fuck, What The Hell, Shiit dll”. (Anis N. Nadhiroh)