Oleh Januardi Husin
Tulisan ini dibuat dalam rangka menggugat artikel opini Hamdan Daulay berjudul “KR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi”, yang dimuat oleh media Koran Harian Kedaulatan Rakyat atau KR pada sabtu (18/4). Di mana pada artikelnya, ada dua pokok penting yang dibahas Hamdan. Pertama, Hamdan menyesalkan aksi unjuk rasa para aktivis anti korupsi di kantor redaksi KR pada 6 April lalu. Menurutnya, aksi tersebut tidak tepat karena media massa tidak selayaknya dijadikan sasaran unjuk rasa. Untuk, mengemukakan pendapat dan keberatan terhadap pemberitaan suatu media massa, Hamdan menilai dapat dilaksanakan melalui mekanisme kerja-kerja jurnalistik atau memanfaatkan fungsi ruang publik pada media bersangkutan. Kedua, Hamdan meneguhkan bahwa KR merupakan media massa yang selama ini berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi, melaui berbagai contoh kasus korupsi yang pernah diangkat KR dan beberapa penghargaan yang pernah diraih KR.
Sementara gugatan saya terhadap opini tersebut tidak lain dan tidak bukan karena Hamdan telah membuat sebuah tulisan yang sama sekali tidak menyentuh pokok persoalan. Membuat sebuah artikel yang membela kepentingan media bersangkutan secara membabi buta, yang mana pasti telah diketahui bahwa konsekuensi dari pendapatnya tersebut dapat mempengaruhi opini publik. Hamdan, menurut saya, telah membuat kesimpulan di mana kesimpulan tersebut diperoleh tidak dengan cara menganalisis persoalan secara kritis. Oleh sebab itu, saya tidak akan langsung menembak kesimpulan tersebut, namun mencoba untuk menguraikan apa yang seharusnya dbahas oleh Hamdan dalam artikelnya.
Persoalan utama yang harus dibahas adalah memahami duduk persoalan kenapa para aktivis anti korupsi melakukan unjuk rasa dan mengemukakan keberatan kepada pemberitaan KR. Sebagai mana yang bisa kita ketahui bersama, aksi tersebut berisi keberatan terhadap pemberitaan KR tentang mantan Bupati Bantul, Idham Samawi yang saat ini tengah terjerat kasus korupsi. Pemberitaan KR, tepatnya dalam rentang waktu 12-28 Maret 2015, dinilai menggiring opini publik agar pengusutan kasus tersebut dihentikan oleh Kejati DIY. Artinya, yang dipersoalkan oleh para aktivis adalah pemberitaan yang dianggap tidak memenuhi unsur kebenaran yang berimbang, cenderung menguntungkan satu pihak (di mana pihak tersebut adalah tersangka korupsi), dan belum memenuhi unsur independensi, karena sudah merupakan rahasia umum bahwa Idham Samawi merupakan pemiliki/pemegang sebagian besar saham di KR.
Hamdan seharusnya memiliki ketertarikan lebih terhadap persoalan-persoalan tersebut, mengingat posisinya sebagai pengajar di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karena hanya dengan demikian, ia bisa berkesimpulan apakah benar KR telah berkomitmen mendukung upaya pemberantasan kosupsi. Hamdam seharusnya memulai dari apa yang dipersoalkan oleh para aktivis anti korupsi. Hamdan seharusnya memiliki kemampuan untuk menganalisis secara Kritis tentang pemberitaan suatu media. Membahas tentang apa yang disebut pemberitaan yang berimbang dan independensi. Membahas tentang analisis wacana kritis dan politik media. Hamdan tidak seharusnya menggunakan perspektif etika dengan mengutip Gus Dur untuk membenarkan opininya.
Untuk itu, agar tidak seperti Hamdan, perkenankan saya untuk membahas sedikit tentang beberapa hal yang dipersoalkan oleh para aktivis anti korupsi. Untuk kemudian kita bisa sampai pada kesimpulan apakah KR memang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi, dan kita juga bisa memahami kenapa para aktivis melakukan aksi unjuk rasa.
Walau tidak melakukan penelitian secara berkala terhadap pemberitaan KR terkait Idham Samawi, beberapa kali saya pernah membaca pemberitaan tersebut. Dan tampaklah oleh saya, bahwa memang benar pemberitaan tersebut memiliki kecendrungan untuk mengiring opini publik ke arah pemberhentian kasus Idham. Tentu tidak asal beranggapan. Kita bisa melihat hal tersebut melalui perangkat-perangkat seperti angel dan focus berita, narasumber yang dikutip (mana yang lebih dominan), dan penggunaan kosakata tertentu. Kemudian bisa juga menghitung seberapa intens pemberitaan yang serupa itu dimuat. Dan sekali lagi kita harus mengamati pemberitaan tersebut melalui pendekatan Kritis.
Kita tentu tidak dapat mengklaim suatu pemberitaan itu salah atau benar, selama berita tersebut telah memenuhi unsur konfirmasi dan cover both side. Kita juga tidak bisa menodong langsung apakah pemberitaan tersebut telah memihak salah satu pihak, karena memang sampai kapanpun tidak akan pernah ada kejelasan keberpihakan dalam sebuah berita. Kecuali berita tersebut adalah berita advertorial atau berita propaganda.
Kita tidak dapat berpatokan pada apa yang disebut sebagai keberimbangan sebuah berita, karena akan mengakibatkan bias tak berkesudahan. Lagipula, setiap media memiliki hak untuk cenderung pada salah satu pihak, asalkan kecenderungan tersebut demi mencapai sebuah KEBENARAN FUNGSIONAL. Bukan demi kepentingan yang bersifat politis. Ketika sebuah media massa telah memploklamirkan dirinya melakukan kerja-kerja jurnalistik, maka kepentingan media tersebut adalah kepentingan masyarakat umum. Oleh sebab itu, tidak layak sebuah berita dimuat demi kepentingan segelintir orang, apalagi demi kepentingan pemodal. Dan ketika sebuah media massa belum mampu untuk lepas dari belenggu kepentingan segelintir orang, itulah yang disebut dengan belum memiliki unsur independensi.
Lantas adakah sebuah media massa dapat jujur terhadap independensinya? Sampai kapanpun kita tidak akan mendengarkan ada media yang mengaku bahwa dirinya belum mampu untuk independen. Lagi-lagi untuk mengukur independensi harus menggunakan pendekatan Kritis. Bambang Muryanto, koordinator Aliansi Jurnalis Independen Indonesia bagian timur mengaku, sangat rumit mengukur sejauh apa media telah independen terhadap suatu kepentingan. Namun semua itu dapat dilakukan dengan melihat bentuk-bentuk berita terkait yang dimuat. Mengukur relasi pihak-pihak tersebut dengan media massa yang bersangkutan. Seperti apa sebuah media membangun bagian beritanya, siapa-siapa saja pihak yang dikonfirmasi, dan pihak mana yang memiliki ruang lebih banyak sehingga terkesan mendominasi.
“Bahkan yang paling parah itu tidak memberitakan sama sekali,” katanya ketika diwawancarai.
Sekarang, dapatkah pembaca mengukur sendiri relasi Idham Samawi dengan KR? Jika Hamdan mengatakan bahwa KR selama ini begitu getol memberitakan berbagai kasus-kasus karupsi, sama kah model pemberitaan kasus korupsi yang kini tengah menjerat Idham dengan pemberitaan kasus-kasus korupsi lainnya?
Telah tiba saatnya kita membahas tentang tindakan aktivis anti korupsi yang melakukan aksi unjuk rasa. Hamdan berpendapat, seharusnya para aktivis memanfaatkan ruang publik pada suatu media. Pertanyaannya, mungkinkah KR memuat opini atau pernyataan keberatan para aktivis antikorupsi tentang pemberitaan terkait Idham Samawi? Apa KR berkenan menunjukan pernyataan keberatan tersebut untuk dibaca oleh khalayak?
Menurut saya, seharusnya KR berkenan dan tidak keberatan. Media yang baik adalah media yang mendahulukan kepentingan khalayak umum. Membuka ruang bagi pihak-pihak yang tidak berkenan untuk mengemukakan pendapatnya baik dalam opini maupun surat pernyataan/surat pembaca. Tidak hanya memuat opini yang ditulis oleh Hamdan Daulay atau yang serupanya.
Tapi tampaknya masyarakat telah tahu akan perangai media massa yang dominan di Indonesia. Sebuah penyakit yang saya namakan “tumor politik media”. Sebuah penyakit akibat media massa telah lalai menanam politik medianya sehingga berkembang menjadi tumor. Media massa kita cenderung enggan menampilkan sesuatu yang mana akan berdampak negatif terhadap citra media tersebut.
Berkaca akan hal ini, benarkah media massa kita telah menjalankan fungsinya sebagai ruang publik?
Dengan demikian kita bisa mengerti kenapa para aktivis tersebut memilih jalan unjuk rasa. Saya sepakat bahwa tindakan represif dapat berujung pada pembelengguan kebebasan pers, dan itu tidak boleh terjadi. Tapi ketika politik media telah menjelma menjadi media yang politis atau media yang berpolitik, adakah jalan lain selain menggunakan jalan yang bersifat represif? Terlebih lagi yang berunjuk rasa tersebut adalah para aktivis.
Hamdan mencerca para aktivis melalui satu sudut pandang. Seolah unjuk rasa tersebut datang dengan sendirinya tanpa satu sebab yang melatarbelakangi. Dan yang lebih penting, ia menutup diri terhadap sifat-sifat yang dimiliki oleh media massa. Hamdan memandang media massa melalui pendekatan positivistik, bukan pendekatan Kritis.
Oleh sebab itu, dapatlah kita mengerti mengapa Hamdan menerbitkan opininya di KR, dan bukan ke media yang lain. Begitupun sebaliknya, dapatlah kita mengerti kenapa KR menerbitkan opini Hamdan. Berlaku juga untuk media massa yang lain, orang akan pesimis bahwa opininya akan dimuat, ketika apa yang ia tulis bernada negatif terhadap orang-orang yang memiliki relasi strategis di suatu media massa.
Sayang sekali, padahal Hamdan Daulay adalah seorang dosen komunikasi. Dan untungnya, saya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang tidak harus berhubungan langsung dengan beliau secara akdemik. Berdoalah semoga saya tidak terjerat UU ITE dan Pencemaran Nama Baik.[]