Oleh: M. Faksi Fahlevi, M. Adi, dan Minrahadi Lubas *
Eksekusi mati bagi kasus pembunuhan berencana, pengedar narkoba, dan pengguna narkotika diklaim oleh pemerintah sebagai suatu tindakan yang tidak bermoral. Konsekuensinya adalah eksekusi mati yang merupakan suatu tindakan yang lebih tidak bermoral.
Kalimat di atas merupakan suatu kalimat yang kami kutip dalam kesempatan diskusi di Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS) yang bertempat di Student Center (SC) dengan tema besar yang diangkat adalah ideal moral Immanuel Kant dalam melihat fonomena politik pemerintah Indonesia terkait eksekusi mati bagi terpidana.
Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa pemerintah kita telah menetapkan kebijakan baru yakni eksekusi mati bagi mereka yang melakukan aksi-aksi narkotika dibawah pemerintahan Jokowi-JK. Eksekusi mati sama halnya dengan pembunuhan yang merupakan suatu tindakan yang kami kira tidaklah manusiawi.
Ideal moral yang dijelaskan Immanuel Kant memberikan pandangan pada kita bahwasanya, manusia tidak boleh diperalat demi tujuan manusia yang lain, yang demikian itu menurut Kant tidak bermoral. Oleh sebab itu membunuh terpidana narkoba demi memberikan efek jera dan kesadaran bagi masyarakat termasuk juga suatu yang yang tidak bermoral. Kant menawarkan suatu paradigma baru tentang hukuman. Menurut Kant hukuman diberikan kepada seseorang hanyalah sebatas imbalan dari kejahatannya. Menurut kami pandangan Kant ini bersifat positivistik sehingga mendukung status quo dan tidak bersifat emansipatoris.
Kami menawarkan cara pandang baru tentang fungsi hukuman agar hukuman itu bisa bersifat emansipatoris yaitu hukuman tidak lagi dipandang sebagai pemberi efek jera dan juga tidak sebagai imbalan dari kejahatan seseorang, akan tetapi fungfsi hukuman menurut kami adalah demi kebaikan si terhukum terlebih-lebih masyarakat secara umum.
Pemerintah harus lebih jeli dan bersikap manusiawi. Seolah-olah hukuman mati adalah jalan terbaik dan jalan terakhir yang tanpa solusi, tanpa terlebih dahulu ia mengetahui psikologi terpidana tersebut.
Semisal dalam sektor ekonomi, apakah terpidana dari kalangan yang secara ekonomis mampu atau tidak? Seharusnya, langkah pertama mungkin yang harus dilakukan adalah verifikasi secara aktual terkait psikologi korban. Selama ini pemerintah hanya mampu memberikan asumsi-asumsi secara dangkal dalam melihat fonomena sosial, tanpa ia melihat secara radikal apa penyebab dari perbuatan narapidana.
Sebagaimana dikatakan oleh kalangan materialistik ortodoks barat, ekonomi merupakan basis yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam kehidupan manusia secara umum. Apabila hasrat secara ekonomi dipenuhi ia akan lebih memilih bekerja yang dianggap bermoral dimata pemerintah daripada melakukan tindakan seperti demikian.
Apabila masyarakat Indonesia berdaulat secara ekonomi, kebudayaan, politik, dan pendidikan maka kami kira itu akan lebih efektif mengurangi pengguna narkotika. Nyata hari ini yang terjadi bagi mereka yang pengedar dan pengguna karena tertekan secara psikis disebabkan oleh sistem pemerintahan dalam sektor ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik yang tidak merata.
Pemerintah harus lebih mengarah kedalam sektor kedaulatan baik sandang dan pangan sebagai upaya pencegahan narkoba. Apabila memang secara ekonomi dan akses pendidikanya telah merata, akan tetapi para pengedar lebih memilih pengedaran narkoba sebagai profesinya maka eksekusi mati layak bagi mereka.
Kasus Pembunuhan Berencana
Pada (30/01/2015) metrotvnews.com. memberitakan dalam artikelnya berjudul “Ini 11Terpidana yang Masuk Daftar Tunggu Eksekusi Mati Tahap 2” dalam keputusan presiden Jokowi-JK. Tiga diantaranya adalah kasus pembunuhan berencana terhadap Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 28/G 2014), Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 32/G 2014), dan Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana (Keppres 32/G 2014).
Jika kita teliti lebih dalam dan dipikir-pikir tindakan pemerintah terkait eksekusi mati sama sekali tidak rasional ia hanya bisa merasionalisasi demi kepentingan politik kekuasaan dengan mengendalikan hukum yang seolah-olah tidak bisa dibantah. Bagi Max Horkheimer ia hanya mampu merasionalisasi dalam satu tindakan dengan tindakan yang lain. Walaupun sangat kontradiksi.
Dimana letak kontrakdiskinya? Kasus pembunuhan berencana dianggap oleh pemerintah sebagai suatu sikap yang tidak bermoral sehingga si pembunuh juga harus dibunuh. Membunuh atas dasar moralitas bagi LeKFiS merupakan suatu tindakan yang lebih tidak bermoral dan juga tidak rasional.
Nyata adanya hari ini. Kekuasan memang selalu menghalalkan segala cara agar supaya status politiknya aman dan tentram. Memang betul “Alangkah lucunya negeri ini” sebagaimana judul film yang dikarang oleh Musfar Yasin dan yang disutradarai oleh Deddy Mizwar.
15 April 2015.
*Anggota Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS).