Oleh: Jamaludin A*
Apalah arti sebuah nama? Bagi Shakespeare nama mungkin tak begitu berarti. Namun berbeda halnya dengan Sultan, kerabat Keraton, dan masyarakat Jogja. Nama sungguh punya arti tersendiri dan perubahan atasnya bisa memicu polemik berkepanjangan.
Menyimak pemberitaan yang lagi disorot akhir-akhir ini, kita seolah diajak untuk merenungi kembali pertanyaan dalam naskah Romeo dan Juliet itu. Meski bukan warga asli Jogja, sorotan media yang agak membabi buta turut menjerat perhatian kita yang sudah ruwet dengan bermacam persoalan seperti kuliah cepat, merebaknya demam berdarah, macet, dan entah apalagi.
Polemik terkait pergantian nama Sultan dari Buwono menjadi Bawono serta penghapusan gelar Khalifatullah melalui Sabda Raja masih santer digunjingkan. Dalam konteks ini kita seolah disadarkan kembali akan “nilai’ sebuah nama. Terlebih lagi ketika nama itu didudukkan dalam suatu posisi yang menyejarah.
Sejauh yang bisa dibaca, beberapa argumen yang tak sepakat pergantian adalah sebab Buwono dan Khalifatullah adalah nama yang menyejarah. Dua nama itu mengemban identitas Sultan Jogja sebagai penguasa “dua dunia” yaitu tanah dan agama.
Nama Buwono sendiri telah dipakai oleh sembilan Sultan sebelumnya. Merentang sekira 250 tahun lebih sejak disandang Hamengku Buwono I, yaitu tahun tahun 1755. Kemudian dengan penghapusan Khalifatullah, menurut pihak yang kontra, Sultan telah mereduksi kewibawaan sekaligus fungsinya di tataran sosial-religius masyarakat Jogja.
Penghapusan itu akan melepas atribut Sultan sebagai pemimpin agama (perwakilan tuhan) di Jogja. Padahal sejauh ini nama Sultan Mataram Islam di Jogja melingkupi tiga kepemimpinan; tanah, negara, dan agama –Hamengku Buwono, Senopati ing Ngalaga, Sayyidin Panatagama.
Ada satu polemik nama lagi, yaitu perubahan nama dan pemberian gelar putri sulung Sultan. Tapi biarlah. Kurang lebih analisanya sama, terkait sejarah dan tradisi yang telah berjalan selama ini. Balik ke persoalan nama, yang ketika ditempatkan dalam sebuah ruang sosial akan menjadi “objektif”. Objektif yang dimaksud di sini adalah menjadi identitas yang melekat dan bisa dipahami bersama; dalam kasus Sultan, dipahami oleh masyarakat Jogja bahkan Indonesia.
Rasanya kita memang tak bisa main-main dalam persoalan ini, terlebih untuk nama yang telah mengemban fungsi dan punya posisi dalam sebuah konteks sosial. Penting diperhatikan karena ia punya dimensi bersama (objektif) yang tak bisa dirubah dan diganti sak penake udele.
Sejauh mengaca pada kondisi sosial, posisi suatu nama turut mempengaruhi identitas yang diembannya. Sehingga nama dan identitas itu haruslah seturut dengan laku dan fungsi keberadaannya. Jika Sultan dalam tata sosial Keraton Jogja adalah pemimpin agama, ia tak bisa serta merta mencabutnya begitu saja. Meskipun punya otoritas bernama Sabda. Bukan karena sebuah Sabda tidak sah, tetapi isi Sabda menjadi tidak signifikan, bahkan ditentang.
Hal ini juga berlaku bagi nama yang punya posisi dan fungsi sosial lain di masyarakat seperti mahasiswa, wakil rakyat, presiden, dan lain. Tetapi polemik seperti nama Sultan di atas tak lantas akan terjadi pada nama lain seperti wakil rakyat, mahasiswa atau lainnya yang bertindak “menyalahi” nama dan identitasnya. Hal ini dipengaruhi oleh bermacam hal, yang paling utama adalah pemahaman identitas yang menyejarah dalam suatu lingkup sosial masyarakat.
Panggilan identitas tak bisa begitu saja muncul spontan dalam masyarakat. Meski ia melekat dalam diri dan telah objektif dalam tataran sosial. Ada beberapa aspek yang bisa merintangi panggilan identitas ini. Seperti dalam kasus Sultan, ia cepat direspon masyarakat karena dalam kasusnya identitas yang melekat sangat eksplisit (khalifatullah/Buwono) dan pada pusaran wacana utama. Bentuknya yang lebih konkret adalah wacana keistimewaan, di mana kondisi sosial Jogja menjadi semacam konservasi yang senantiasa diperhatikan masyarakat.
Dengan bantuan semua itu, identifikasi identitas untuk Sultan jogja menjadi lebih mudah disadari masyarakat. Berbeda halnya dengan posisi sosial lain yang mungkin saja lebih sulit mengidentifikasinya. Entah sebab dipinggirkan ataupun ditutupi oleh wacana baru yang menegasi. Sehingga dibutuhkan kerja lebih untuk menjaadikannya mudah disadari tatkala ada penyimpangan.
Di samping semua itu, persoalan identitas yang cenderung negosiatif juga punya pengaruh besar. Dalam ranah sosial, negosiasi identitas terus berjalan seiring perkembangan kondisi sosial. Namun tetap saja perkembangannya lambat merayap, dan perubahan secara radikal pasti akan memicu polemik.
Sebenarnya polemik persoalan identitas ini bisa dihindari. Syaratnya, masing-masing kudu memahami posisi dan fungsi (identitas) sebuah nama dalam kondisi sosial. Perubahan memang akan terjadi dan sudah seharusnya terjadi. Mungkin di sinilah pangkal persoalannya. Masing-masing kurang paham fungsi dan posisinya dalam masyarakat. Sindrom yang sepertinya juga telah akut menjangkit mahasiswa.
*Pemimpin Umum LPM ARENA periode 2014/2015.