Oleh : Imroatus Sa’adah
Biaya pendidikan semakin hari semakin merangkak tinggi, sama seperti harga sayuran tiap menjelang hari raya. Mayoritas mahasiswa atau bahkan semua mahasiswa semakin merasa terbebani. Tak ayal banyak mahasiswa mencari cara agar memperoleh uang guna menambal lubang biaya yang terus menganga. Cara praktis yang mereka temukan adalah mencari beasiswa. Pencarian tersebut dimudahkan oleh banyaknya lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta yang menawarkan uang puluhan ribu bahkan jutaan kepada mahasiswa.
Beasiswa yang diberikan bukanlah tanpa syarat. Melainkan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Entah ketentuan itu yang terlalu mudah atau mahasiswa yang semakin licik sehingga banyak mahasiswa yang bisa dibilang mampu dengan mudah lolos menerima beasiswa. Itu adalah fenomena yang biasa kita lihat. Hal yang begitu lumrah. Namun, ada satu hal yang perlu kita tahu, yaitu pola pikir mereka (Mahasiswa Mampu).
Mereka tanpa sadar telah merebut hak mahasiswa miskin. Mereka selalu berpikir praktis bahwa dengan mengumpulkan segala persyaratan beasiswa, mereka merasa berhak menerima beasiswa tanpa dibebani rasa bersalah sedikit pun. Bahkan mereka bangga namanya tercantum dalam “Penerima Beasiswa Miskin”. Tidak hanya itu. Mereka menuduh mahasiswa miskin yang tidak mendaftar adalah mahasiswa yang gede gengsinya. Sok kaya.
Selain merebut hak mahasiswa miskin, mereka tak sadar telah menindas rakyat miskin juga. Mereka tak sadar bahwa orang miskin ikut andil dalam menyumbang uang beasiswa. Contohnya seperti lembaga atau perusahaan swasta yang memberikan beasiswa. Perusahaan akan menyisihkan uangnya untuk dana beasiswa (sosial). Agar perusahaan bisa tetap memperoleh nama dengan jalan pemberian beasiswa tanpa mengurangi asetnya, salah satu jalannya yaitu meminimalisir gaji karyawan. Bayangkan saja jika perusahaan mempunyai seribu karyawan, berarti mereka (Mahasiswa Mampu) merampas gaji seribu karyawan. Sayang banyak mahasiswa yang tak sadar akan hal itu. Tak heran jika mahasiswa yang menerima beasiswa menggunakan uang beasiswanya untuk memenuhi keinginannya, bukan kebutuhannya. Tak merasa mempunyai beban moral.
Hal yang lebih miris adalah banyak mahasiswa yang tidak puas mendapatkan satu beasiswa dari satu lembaga. Ada yang berulang kali medaftarkan diri. Apalagi kuota yang diambil juga sedikit. Mereka tidak memperdulikan itu. Bagi mereka yang terpenting adalah mampu mengumpulkan segala persyaratan beasiswa untuk lolos mendapat beasiswa. Cukup itu.