Home - The Last Station : Pengembaraan Ideologis Tolstoyan Muda

The Last Station : Pengembaraan Ideologis Tolstoyan Muda

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
the-last-station-poster1

gambar diambil dari 5dcinemas.com

Judul Film : The Last Station

Sutradara   : Michael Hoffman

Tahun          : 2009

Durasi          : 112 menit

Negara        : Rusia

Pemain       : James MCavoy, Christopher Plammus, Paul Giamatti, Hellen Mirren, Kerry Kondon

Pagi hari di atas tanah Yasnaya Polyana, hamparan padang rumput menghijau diselimuti kabut putih. Lev Nikolayevich Tolstoy tersudut di dalam kamarnya yang sederhana, berambut putih dan berjanggut panjang, ia tak lagi muda.

Tolstoy, novelis besar Rusia penulis War and Peace dan Anna Karenina menjalani masa tuanya di Yasnaya Polyana, desa sepi jauh dari keramaian Moskow. Saat itu, 1910, ajaran moralitas Tolstoy tentang cinta dan kebebasan telah menyebar dan digandrungi banyak orang. Moralitas Tolstoy bahkan telah mewujud dalam sebuah pergerakan bernama Tolstoyan, menentang adanya kepemilikan tanah pribadi dan mendukung perlawanan pasif terhadap pemerintahan Tsar. Tolstoyan berambisi menyebarkan gagasanya ke seluruh dunia.

Di Moskow pusat gerakan Tolstoyan, Valentin Federofich Bulgakov, diperankan James MCavoy, pemuda penggila moralitas Tolstoy bergabung dengan Tolstoyan. Ia adalah seorang Tolstoyan yang taat namun amatir. Membaca novel war and peace setebal 2882 halaman dua kali, mengingat setiap detail kata Tolstoy lalu mengideologikanya. Atas kristalasi ajaran tersebut, Valentin menjalani masa-masa membingungkan dalam membumikan ajaran Tolstoy di antara hubungan vertikalnya terhadap Tolstoy sebagai maha guru dan hubungan horizontalnya dengan Tolstoyan yang lain. The Last Station mengisahkan pengembaraan ideologis Valentin dalam perjuanganya menjadi Tolstoyan sejati.

Pertemuan Valentin dengan Vladimir Grigerovich (Chertkov), ketua pergerakan Tolstoyan menjadi penanda awal kesulitan. Chertkov menugaskan Valentin menjadi sekretaris pribadi Tolstoy untuk membantu merampungkan manifesto perlawanan pada pemerintahan Tsar. Selain itu, Valentin juga dibekali buku catatan harian untuk mencatat dan menjadi mata-mata di Yasnaya polyana, mengawasi Sofya Andreyefna, istri Tolstoy yang dianggap membahayakan misi Chertkov.

Sofya Andreyefna adalah sosok istri dan juga ibu yang mementingkan keluarga. Ia tidak menyepakati kemaaun Tolstoy dan Chertkov untuk menghibahkan seluruh hak cipta karya Tolstoy bagi pergerakan sebagai sumber dana. Hubungan suami istri diantara keduanya tidaklah harmonis setelah Tolstoy menomorduakan pekerjaanya sebagai novelis lalu memfokuskan diri pada spiritual dan pergerakan.

Menjadi mata-mata yang lugu ternyata juga menyulitkan Velentin. Saat berhadapan dengan Sofya Andreyefna, Valentin juga diminta berpihak padanya. Berharap agar pemuda tersebut mendukung perlawananya pada Tolstoy dan Chertkov.

Dekat di antara keduanya pihak menjadi dilema untuk menentukan siapakah Tolstoyan yang sebenarnya? Chertkov sang penggerak atau Sofya Andreyefna, seorang istri yang telah menjalani kehidupan bersama Tolstoy lebih dari empat puluh tahun. Valentin tak memiliki semangat berfikir atas rasionalisasniya, perkataan Tolstoy sajalah yang menjadi mantra untuk menundukkanya. Siapapun yang hidup berlandaskan ajaran Tolstoy maka dia benar adanya. Pemahaman realitas berdasarkan teks menjadi malapetaka, teks Tolstoy tentang hidup tak mampu mewakili kehidupan Valentin.

Pencerahan justru datang dari seorang pembantu cantik bernama Masha. Dengannya, Valentin menjalin hubungan percintaan dialektis untuk membumikan konsep kebebasan dan cinta. Masha bukanlah tokoh penting pergerakan, namun justru karena tanpa otoritas, pembicaraan keduanya adalah komunikasi antar subyek bebas penguasaan. “Bukankah itu yang dimaksud semua ini? Kebebasan dan cinta?” tutur Masha. Perempuan itu menjelma sebagai pemantik semangat renaissance bagi Valentin.

Juga Tolstoy, tak menganjurkan sekertaris pribadinya mengideogikan ajaranya. Seperti yang Tolstoy katakana “Biarkan aku meyakinkanmu. Aku sendiri bukanlah Tolstoyan yang baik, kau harus berfikir dua kali sebelum meminta saranku,” “aku mengatakan banyak hal, tapi aku ingin mendengar apa yang kau katakan? Apa menurutmu?”

Menjadi Tolstoyan yang baik tidaklah cukup dengan menghafal teks di luar kepala. Teks tidaklah muncul dari ruang kosong, ada suatu konteks yang melatarbelakangi kemunculanya. Membumikan teks dengan tanpa melihat realitas nyata seringkali menjadi boomerang yang membahayakan. Realitas berjalan dinamis dan selalu berubah, sedangkan teks muncul dalam keterbatasanya saat dibenturkan dengan ruang dan waktu. Kesadaran seorang penulis jelaslah tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang mengkondisikan kesadaranya.

Terlebih moralitas yang abstrak dan begitu elastis. Suatu kali, cara pandang valentin disalahpahami masha sebagai sikap kolot dan konservatif, Juga kebaikan Tolstoy yang tidak dimengerti Sofya Andreyefna.

Titik kebangkitan Valentin muncul saat ia menolak perintah Chertkov ketika Tolstoy terbaring lemah jelang kematian. Chertkov tak menginginkan Sofya Andreyefna berada di sisi Tolstoy di detik-detik akhir. Sofya adalah simbol pendukung adanya kepemilikan tanah pribadi yang telah jamak diketahui publik memiliki cara pandang berbeda soal politik dan spiritual dengan Tolstoy. Kematian Tolstoy sebagai idealis adalah monument penting pergerakan dan kehadiran Sofya akan menghancurkan segala pencapaian sebelumnya.

Atas nama pergerakan Tolstoyan yang mengidealkan dunia dalam pengiyaan atasnya lantas membutakan Chertkov, menumbalkan Tolstoy sebagai simbol Tolstoyan agar moralitas yang melangit dianggap mungkin. Namun ia lupa pada makna sesungguhnya tentang cinta dan kebebasan. Ia terideologikan, lantas mengharuskanya untuk menyingkirkan hal-hal di luar dirinya.

 

Meski film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Jay Parini, The Last Station tampil dalam kerumitanya tersendiri. Di antara kedua pihak yang berselisih, entah Chertkov atau Sofya yang paling benar. Michael Hoffman, sutradara film ini, seperti ingin mengajak penonton untuk menentukan sikap kepada siapa kita membela, semacam menentukan keberpihakan.

Lantas, mungkinkah menentukan sikap yang benar jika kita masih mengideologikan suatu ajaran, lantas menganggapnya sebagai manifestasi sempurna, tanpa cacat dan tak terbantahkan?. Valentin Federovich Bulgakov telah menjawabnya.