Home - Surga Tanpa Tuhan, Kritik Formalitas Beragama

Surga Tanpa Tuhan, Kritik Formalitas Beragama

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Proses pra pementasan tadarus puisi, diambil dari facebook Teater Eska.

Proses pra pementasan tadarus puisi “Surga Tanpa Tuhan”, diambil dari facebook Teater Eska.

Lpmarena.com, Sebuah tangan yang hendak mencengkeram, dengan berbagai tali yang bergelantung di sekitarnya. Kemudian datang berbagai tokoh berbagai karakter dari dua wanita tutorial hijab, pria pembaca koran, ustadz, penghulu, dan lain-lain saling menunjukkan aktivitas. Lalu beberapa tokoh itu menarikan tarian sufi Rumi yang berputar. Hingga menyisakan dua tokoh utama yang bermonolog dalam jerat tali-tali dan tangan dalam setting.

Seperti inilah gambaran pentas tadarus puisi XX persembahan Teater Eska dengan judul “Surga Tanpa Tuhan: Membaca Kembali Syair Abu Nawas” di Gelanggang mahasiswa UIN Suka, Sabtu (20/6) malam. Dilihat dari setting-nya Jauhara Nadvi Azzadine selaku sutradara mengatakan jika kontruksi setting dari atas terlihat seperti jaring laba-laba yang tangan tersebut adalah laba-laba itu sendiri.

“Syairnya Abu Nawas yang bilang bahwa kami adalah boneka, setumpuk kapuk di bawah jari-jemari-Mu. Kalau dibayangin bisa kayak boneka yang digerakin pake tangan,” ucap Zadine.

Saat ditemui ARENA usai pementasan Zadine menjelaskan alasan pengambilan judul “Surga tanpa Tuhan” seperti penganalogian dalam sholat. Kalau sholat bukan untuk Tuhan, sebenarnya yang kita kejar hanya surganya, bukan Tuhannya. “Padahal dalam Islam kenikmatan terbesar itu ketika kita dapat ketemu dengan Tuhan. Nah terus apa jadinya kalau kita hanya mengejar surga tanpa ada Tuhan. Kita hanya mengejar imingiming saja,” tegas Zadine.

Pementasan yang memakan proses latihan sebulan ini juga menampilkan empat penari yang menari-nari.“Penari-penari dianalogikan mereka adalah surganya, hanya sekedar surganya. Mereka tujuannya Tuhan tetapi mereka berbelok ke ganjarannya surga. Jadi kita lepas dari yang seharusnya kita tuju yang lebih terlihat dengan apa yang kita lihat,” jelas Zadine.

Zadine bertutur pementasan ini menyampaikan pesan bahwa manusia sesungguhnya telah terjebak dan tidak mampu melepaskan diri dari konstruk yang diamasuki.

”Seharusnya kita mengetahui bagaimana kita secara bijak menggunakan, memakai dan memilah apa yang sebenarnya yang kita butuhkan. Kalau memang kita Islam kita sholat, ya sholatlah karena memang Tuhan menyuruh gitu, bukan karena Tuhan meminta begitu kemudian kamu sholat dan mendapatkan ganjaran,” tambah sutradara berbadan jakung tersebut.

Zadine juga menuturkan bahwa dalam pementasan ini sebenarnya tidak menawarkan solusi tetapi memperlihatkan masalah.“Solusi yang memang ada itu kita harus bijak memilih, apalagi persoalan mengenai media, persoalan sosial. Tanpa sadar sosial itu membentuk kita kan nanti masuk ke agamaan kita dan sebagainya,” ucapnya lagi.

Sementara itu Suryadin Abdullah selaku kru pengonsep pementasan mengungkapkan agama adalah formalitas terbatas. Orang beragama karena ada di negeri beragama, tanpa tahu esensinya. “Budaya (beragama) Islam diturunkan lewat orang tua, dan terus menerus hingga sekarang. Banyak budaya bidang lain yang nglakuin-nya juga karena formalitas. Dan terus menerus hingga sekarang,” kata Surya dalam acara sarasehan seusai pementasan. (Anis N. Nadhiroh)

Editor: Isma Swastiningrum