Home - Sebelum Perang Dunia Kesepuluh

Sebelum Perang Dunia Kesepuluh

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Habiburrahman

Kata Irwan, ini seperti mimpi yang disebabkan rasa lelah yang belarut-larut. Kau tahu, sebelum perang dunia kesepuluh, ia ingin mati lebih dulu.

Dunia entah masih akan berumur sampai kapan. Ia tidak tahu apakah umur dunia sampai pada peristiwa peperangan tajam lagi, atau mandek dan tiba-tiba dikepung kiamat dahsyat dua tahun setelah ini. Dua puluh Mei kemarin ia genap 71 tahun. Selama 71 tahun itu ia mengalami beberapa peristiwa penting di dunia. Tiga perang besar. Sekarang, kepada sepupu-sepupunya, anak serta lima cucunya, ia mengatakan ingin mati lebih cepat. Pada tiupan lilin pertama dua puluh Mei kemarin, itu yang ditiupkan sebagai doa. Selama ini ia hidup hanya sebagai bayang-bayang pikiran orang lain, sepupu-sepupunya, teman-teman, tetangga, dan petinggi negara. Semenjak dilahirkan, keinginan, pikiran, dan keyakinannya, sudah direbut orang lain. Barangkali ia hanya setumpuk dokumen yang ke sana ke mari bisa dibawa dan dibanting. Baru-baru ini ia berpikir ternyata hidup di negara (atau di dekat orang-orang) yang berambisi besar sangat tidak menguntungkan.

Kata banyak orang, ia mirip sekali dengan mendiang kakek buyutnya, Rawakit, tiga belas abad silam. Rambut kriting tanggung, tulang pipi yang tidak simetris, dada berbentuk segi empat dengan pembatas tegas yang bertonjolan sebagai tanda kalau ia orang bertenaga. Selain itu yang paling urgen dari kesamaannya dengan kakek buyutnya ialah pikiran konyol tentang perang dunia.

Dulu, saat kakek buyutnya masih remaja, kakek buyutnya sangat berharap dalam waktu dekat terjadi perang dunia ketiga. Selayakanya imajinasi anak kampung yang hanya dibantu buku pelajaran sejarah palsu di sekolah dan sobekan koran bungkus ikan di pasar, ia sudah yakin kalau perang tak jauh lagi. Dengan teman-temannya ia membagi imajinasi yang menurutnya heroik: pesawat-pesawat yang terbang hampir menyentuh atap rumah, suara ledakan bom, rentetan tembakan yang membentur-bentur benda lain. Dor dor dor, kakek buyutnya berguling-guling. Kau tahu, waktu itu imajinasi tentang perang seperti kue ulang tahun. Kau bisa memotongnya sesuka hatimu sejumlah orang-orang yang memiliki kedekatan intim denganmu. Sayangnya, di kampung tidak ada perayaan ulang tahun dan pemotongan kue, cuma sebatas tontonan di telivisi. Mungkin itulah sebabnya kenapa perang lebih asyik dibagi-bagi, pikirnya. Kata Rawakit bertahun-tahun setelah perang dunia ketiga, imajinasi perang mampu mengisi sisi lain yang bolong pada masa remajanya. Sesuatu yang terus bergolak dan ingin diiisi: hasrat diperhatikan kekuatan besar di luar dirinya.

Kepada wartawan, Rawakit menjelaskan kekonyolan imajinasi buruknya. Empat hari kemudian di koran terbit petikan wawancara dengan Rawakit berjudul: “Dan kalau perlu pers harus membuat propaganda pelarangan kemungkinan imajinasi buruk seperti itu.” Sepupunya menyimpan koran itu, dan memberikan fotokopi-nya kepadanya jika ia mau tahu di mana saja letak kemiripan dengan kakek buyutnya. Dan sama sekali ia tidak melihat foto Rawakit, apalagi membaca petikan wawancara tersebut. Ia merasa kasihan sekali kakek buyutnya kala remaja seperti itu. Kasihan lantaran kakek buyutnya tidak menyadari kalau itu bukan pikirannya. Namun lebih menyedihkan mana dengan dirinya yang sadar kalau pikirannya bukan lagi pikirannya sementara ia tidak berdaya menahan kesadaran-kesadaran itu, tak berdaya untuk berbuat apa-apa?

Perang dunia ketiga terjadi, tepat awal Rawakit mendaftar di organisasi pergerakan kiri di kampus. Dua puluh bulan setelah imajinasi kampungannya.

Rawakit selamat, meski organisasi pergerakannya musnah. Perang besar yang berlangsung enam tahun itu menyeret para mahasiswa menjadi pasukan sukarelawan. Di koran-koran para pengamat menengarai perang terjadi karena perubahan pusat-pusat pengatur perekonomian dunia yang tiba-tiba serta intervensi berelebihan negara-negara besar atas negara dunia ketiga. Kau boleh bilang ini terlalu klise. Tetapi di koran kau juga akan menemukan seseorang membunuh pacarnya karena cemburu, dan itu sangat klise sekali. Justru banyak orang mati karena alasan klise: cinta dan lapar, untuk menyebut beberapa contoh. Sebuah majalah tidak ternama melakukan survei mengapa orang banyak mati dengan alasan klise atau cara-cara klise. Kesimpulan majalah tersebut begini: orang-orang belum sampai pada tahap diagram apalagi ritme. Rupa-rupanya majalah itu mengutip tiga konsep kunci teori penciptaan teater yang dikemukakan Deleuze, yaitu klise, diagram, dan ritme. Rawakit dan enam orang temannya yang kembali bisa berkumpul lagi, ketawa membaca hasil survei itu. Tahap diagram menghendakimu merombak hal-hal klise di panggung pertunjukan. Menyimbolkan kekuasaan dengan kursi, mengungkapkan cinta dengan bunga, contoh idiom-idiom klise, dan tugas sutradara tidak mempertontonkan yang klise seperti itu meski ingin menyampaikan esensi pesan yang sama. Karena itu mudah ditebak sehingga kurang asyik. Dan sama dengan alasan kematian manusia yang mudah ditebak sehingga kurang asyik. Sama dengan alasan perang yang selalu klise. Mungkin kesimpulan survei ini berdasar pada asumsi hidup adalah panggung sandiwara, pendapat teman Rawakit.

“Lalu kamu mau berpendapat lagi karena kita hanya aktor, bukan sutradara, sehingga proses penciptaan hanya tugas sutradara?” tanya Rawakit.

“Bukan begitu, Bung. Itu filsafat tahun berapa? Maksudku, majalah itu konyol sekali, meski kita tak bisa memungkiri ada kebenaran di situ.”

Terang-terangan, Rawakit dan organisasi pergerakannya yang kembali bangkit mencemooh ulasan-ulasan pengamat di media. Ulasan perang tidak sama dengan ulasan sepak bola yang hanya butuh waktu sehari saja bisa terbit banyak ulasan baik mengenai pertandingan semalam. Butuh rentang waktu berpuluh tahun untuk bisa mengulas perang dan menghasilkan ulasan yang baik. Rawakit dan kamerad-kameradnya baru berani bersuara saat mereka sudah berkepala empat, lima dekade setelah perang besar itu. Perang terjadi karena manusia memiliki pikiran, kata mereka, sepakat.

Perang terjadi karena manusia memiliki pikiran, dan masa-masa setelahku perang-perang lain telah menanti. Itu petikan wawancara yang ia baca ketika ia berpikir tidak ada salahnya membanding-bandingkan dirinya dengan Rawakit. Walaupun sejujurnya ia tidak suka dibanding-bandingkan. Meski pada halnya, tanpa dibanding-bandingkan pun sudah pasti ia adalah hasil dari sekian perbandingan banyak orang, dirinya kumpulan orang-orang yang berebutan masuk melalui pemberian perbandingan itu sendiri atau cara-cara lain. Ia sudah tidak memiliki dirinya sendiri, jadi sebenarnya tidak masalah jika dibanding-bandingkan.

Tidak. Ia menyangkal pendapat itu. Pendapat yang mengatakan sebenarnya tidak masalah jika dibanding-bandingkan. Karena ketika ia memperhatikan dengan seksama foto kakek buyutnya, ia seperti bersentuhan dengan masa yang licin, yang menggelincirkannya hingga terjerembab pada waktu yang bukan waktunya. Kau tahu, kata Descartes, terlalu asyik mempelajari hal-hal yang menjadi kebiasaan masa lalu, kau akan menjadi asing terhadap kebiasaan zamanmu sendiri. Dan ia terjebak dalam waktu yang bukan waktunya. Tubuhnya serasa mengerucut, memipih menjadi lembaran-lembaran kertas. Kemudian seolah-olah dihisap mesin percetakan, dan dilahirkan kembali mewujud selembar foto, selembar citraan.

Aku harus mati sebelum perang dunia kesepupuh, katanya.

Sebelum perang dunia kesepuluh, ia sudah mati. Kejadian terakhir yang dikenang keluarganya ketika ia berbincang-bincang dengan cucunya yang terakhir.

“Kakek sudah tua, buat apa membaca koran-koran sesemangat itu,” kata Irham waktu itu, malam kamis, sepuluh bulan setelah hari ulang tahunnya.Ia menjawab: “Kakek kan juga ingin tahu dan memperbarui informasi, Ham.” Irham berbicara sambil lalu, meninggalkannya di ruang baca. “Pantesan masih akan ada perang kalau seperti itu,” gumam Irham samar-samar, dan ia mendengar gumaman itu seperti campur-baur antara geram dan keluh. Itu membuatnya kehilangan gairah membaca. Semalam suntuk ia terbengong di meja belajar. Perubahan yang radikal telah berlangsung dalam pikiran anak-anak muda, pikirnya. Tetapi ia tidak tahu perubahan semacam apa itu. Perubahan sesuatu yang niscaya. Tetapi perubahan radikal? Pasti ada rencana atau sebuah permainan kartu baru yang dilemparkan. Ia menebak, jangan-jangan Irham pernah membaca petikan wawancara itu, lalu mengambilnya sebagai kebenaran yang tidak terotak-atik.

Keesokaanya ia mencegat Irham sebelum berangkat bermain.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Maksud Kakek apa sih? Aku tidak memikirkan apa-apa.”

“Sungguh? Kamu tidak berpikir kalau kamu akan mati atau kakekmu ini akan mati?”

“Kek, setiap orang tahu itu tanpa harus berpikir. Aku sudah ditunggu teman-temanku di lapangan.”

“Tunggu, Ham, aku belum mengerti maksudmu!” Ia mencoba mengejar Irham, namun kakinya tergelincir ketika hendak turun dari beranda.

Setelah itu, dua hari ia dirawat di rumah sakit sebelum menghembuskan napas terakhir. Kata sepupunya, doanya mungkin sudah terkabul.

Berbeda dengan sepupu-sepupu Kakeknya, Irham tidak mau bicara kepada siapa pun setelah kematian yang mendadak itu. Ia mengurung diri di ruang baca. Mencari-cari apa sebenarnya yang menimpa Irwan, apa yang ingin kakeknya sampaikan. Dan betapa tercengang ketika ia menemukan koran lawas itu. Di sana ada foto dirinya, tidak salah, foto itu persis, meski dalam tampilan wajah orang tua. “Kenapa fotoku ada di sini? Foto siapa ini? mustahil ini foto Kakek Irwan.” Ia terus menyuntuki foto lama itu dengan dada yang terus berdegup dan bulu kuduk yang merinding. Ia mengesampingkan petikan wawancara yang menurutnya tidak lebih penting ketimbang foto itu. Pada saat bersamaan, sepupu-sepupu Irwan, terkait perbincangan Irwan dan Irham sebelum kematian itu, dikatakan sebagai perkembangan yang memuaskan dan diluar dugaan. Mereka tidak memikirkan apa yang terjadi dengan Irham, dan yang terjadi dengan Irwan. Tanpa sepengetahuan mereka, Irwan bangkit. Ingin kembali ke ruang belajar dan membaca koran-koran atau apa pun yang mengorek informasi dan pengetahuan: benarkah perang terjadi karena manusia memiliki pikiran. Ia tidak tahu kalau Irham sedang di sana, habis menyuntuki foto lawas itu sampai tertidur. Ia tidak tahu kalau Irham hampir sampai pada kesimpulan bahwa itu rekayasa teknologi desain grafis dan dalam tidurnya akan bermimpi mewawancari Irwan. Namun pada intinya Irwan tetap bangkit tanpa seorang yang tahu. Kata Irwan, ini seperti mimpi yang disebabkan rasa lelah yang belarut-larut. Kau tahu, sebelum perang dunia kesepuluh, ia ingin hidup lagi. []

Jogjakarta, 16 April 2015