Oleh : Sabiq Ghidafian Hafidz
Mengembangkan keterampilan berbahasa asing bagi semua mahasiswa untuk mengantisipasi komunitas ekonomi ASEAN, …, demikian tutur Akh. Minhaji pada saat acara Penyampaian Visi-Misi dan Penyerapan Aspirasi Pilrek UIN Sunan kalijaga di Gedung Multy Purpose (19/08/2014).
Alhamdulillah, kita memiliki rektor yang peka melihat keadaan.
Kenyataan bahwa pasar merambah-lintas antar negara dengan kendaraan yang disebut globalisasi atau pasar bebas, atau juga dikenal neo-liberalisme. Tidak elak banyak tawaran produk kepada konsumen, dan pada gilirannya konsumen menawar atas produk yang diinginkannya. Sehingga memunculkan paradigma konsumerisme—kuasa konsumen atas produsen. Kemudian perilaku konsumerisme ini menjadi peluang bagi produsen untuk menyetir konsumen atas produknya. Peluang ini disikapi secara pragmatis oleh produsen. Dengan berkutat untuk senantiasa merubah kondisi produk berikut nilai guna agar terus bisa berputar di pasaran.
Corak pragmatisme dalam pasar bebas menjadikannya mudah diserap secara massif. Sangat mudah menjadi populer hingga pada satu titik tertentu akan menjadi paradigma di masyarakat. Hal ini tentunya berpengaruh pada kecenderungan cara berpikir, pola interaksi yang terjalin, begitupun dengan bentuk komunikasi. Perkembangan selanjutnya akan menjadi jawaban baru atas pertanyaan ontologis tentang apa-siapa manusia; tataran episteme mempertanyakan bagaimana menjadi hal yang harus dipikirkan; dan pada tahap perealisasian dalam bentuk aksi menentukan tindakan dalam suatu relasi. Secara determinis—melihat faktor-faktor yang membentuknya—paradigma ini akan membentuk keberadaan baru bagi masyarakat yakni menjadi masyarakat pasar, manusia pasar, manusia laba.
Analogi pada sebuah tatanan Negara dengan paham pasar bebas menjadikan Negara sebagai perusahaan. Pejabat pemerintah menjelma sebagai pengusaha atas lahan yang dikuasainya. Pengusaha berpikir tentang bagaimana agar lahannya bisa menghasilkan keuntungan. Semua sektor dijadikan sebagai penghasil laba, tidak terkecuali wilayah pendidikan—keberadaannya berada dalam naungan pemerintah. Sekolah lebih tepatnya, dijadikan sebagai industri pendidikan yang akan mencetak komoditas berupa sarjana-sarjana berspesifikasi. Tentunya, semua ini dilakukan untuk menjaga equilibrium dalam pasar.
Fenomena masyarakat pasar yang menggejala, membawa kata sukses bilamana nantinya dapat menang dikala bersaing di dunia pasar. Mampu bekerja atau memperkerjakan. Sukses itu menjadi pengusaha. Pengusaha merupakan sosok manusia sejati. Pengusaha adalah sosok pahlawan karena berhasil menjadi arus utama dalam mata-rantai trickle effect down.
oOo
Sejak proyek liberasi pendidikan yang dicanangkan pemerintah membuat tegas posisi kampus sebagai wadah pengolahan SDM. Peranan kampus menjadi pusat pencetak pekerja yang cerdas. Pekerja yang mampu beradaptasi dengan perkembangan. Dan proyek ini mengharuskan kampus selalu berada dalam posisi yang lentur, senantiasa integral dengan keadaan pasar.
Proyek ini membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalin kerjasama dengan kampus. Sebagai setir agar produk kampus sesuai dengan spek yang dibutuhkan perusahaan. Tidak ayal fenomena program-program penyemaian apresiasi akademik dari perusahaan dalam bentuk beasiswa bermunculan. Program apresiasi ini perlu untuk meningkatkan minat mahasiswa dalam dunia pasar. Beasiswa ini merupakan bentuk penggiringan sistemik.
UIN ingin mengubah mindset mahasiswa agar kreatif menciptakan lapangan kerja melalui entrepreneurship dan tidak bergantung pada kerja formal, seperti menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, begitupaparMusya Asy’arie dalam tulisam ‘Mencetak Entrepreuner dari Kampus,’ rangkuman wawancara oleh Mohammad Affan, diterbitkan online di situs resmi UIN Sunan Kalijaga.
Yah, syukur Alhamdulillah, UIN sigap dalam menanggapi fenomena pasar bebas ini. Serta berusaha menanamkan konsep yang akan mengantarkan pada masa depan yang cerah.
Jauh-jauh tahun sebelum Akh. Minhaji diangkat jadi rektor, Musya Asy’arie menerapkan kultur entrepreneur di kalangan mahasiswa. Tentang agar bagaimana kemandirian terbentuk secara kognitif sehingga dunia pasar akan hadir—dibaca—sebagai realitas. Karena model manusia yang relevan pada saat ini adalah pengusaha. Entrepreuner adalah jawaban atas persoalan dunia dewasa ini.
Regulasi akademik menjadi instrumen yang harus diperhatikan. Hal ini sangat mendasar dalam membentuk mahasiswa. Aturan-aturan dirumus-ciptakan sebagai cara transformasi konsep, seperti: pengadaan kurikulum entrepreuneur, merupakan implikasi dari konsep pasar; kelulusan 5 tahun, diharapkan akan menjaga kestabilan pasokan pekerja; pengklasifikasian pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), merupakan penyadaran diri atas kelas—kelas-kelas menjadi sangat penting untuk menjaga struktur pasar tetap stabil; prestasi akademik semacam ijazah berpredikat (suma cumlaude, cumlaude), merupakan modal kapital yang dapat diubah menjadi laba; dan aturan lainnya yang menuntut pada kepatuhan, semacam pendisiplinan diri.
Model pedagogi yang muncul dari regulasi ini bersifat mengarahkan. Paradigma yang dimunculkan di kelas haruslah antara subjek dan objek. Subjek berlaku pada seorang dosen, di mana berbagai macam bentuk pembenaran epistemik berada. Objek mengandai pada mahasiswa, serupa kertas kosong yang akan diisi sesuai dengan kepentingan subjek. Dengan begini kondisi produk kampus (mahasiswa) akan terjaga.
Mengandai pada yang ideal dari konsep ini. Seorang mahasiswa dengan jurusan yang dipilihnya, serta aktif di kegiatan in-ekstra kampus, dan apa saja yang dimilikinya—ijazah, keterampilan—apa yang sudah terberikan darinya dapat diperhitungkan menjadi laba. Menjadi bekal, menghadapi dunia pasar dengan gairah persaingan.
Wilayah pendidikan memang lahan untuk memupuk kesadaran. Seperti setiap kesadaran yang terjalin erat dengan keberadaan, darinya cara berpikir terbentuk, dan pada gilirannya mendeterminin ke wilayah etis. Pendidikan merupakan rupa konsekuensi yang ditanamkan. Rupa atas konsekuensi yang diberikan ini membuat pendidikan bebas nilai. Dalam artian pendidikan lahir sebagai jalan pembebasan.
Sebatas catatan kaki, di mana ia berpijak. Isu pasar bebas bukan hal baru. Namun, apakah harus menunggu sampai basi. Homogenisasi kelayakan atas mahasiswa dapat ditemui dengan mudah. Di kertas-kertas jawaban UAS, di lembaran kontrak mahasiswa program Bidik Misi, di layar komputer yang menampilkan deretan akumulasi jumlah SKS, di mata kamera cctv mengawasi ruang-ruang sudut kampus.
Nampak menjadi bukan suatu masalah jika penyeragaman dan pengawasan ini dikata wajar terjadi di dunia pendidikan. Suatu kewajaran bila menerima logika pasar menjadi landasan hidup. Menerima tatanan sistem kapitalis sebagai paradigma. Mengamini kesenjangan antara si kaya dan si miskin memang harus begitu adanya. Tidak menjadi soal jika hal penindasan hasil dari konsekuensi kapitalisme dirasa tidak melanggar hak asasi manusia.
Sekedar membaca fenomena yang menggejala ke permukaan. Dampak dari pasar bebas memiliki konsekuensi struktural. Mengekang, mengikat, mengharuskan. Tidak sepadan dengan arti ‘bebas’ yang menyanding dalam kata ‘pasar bebas’. Ketika kebebasan diikatkan pada pasar, indikasi yang muncul adalah logika pasar merupakan jalan mencapai kebebasan. Jual beli kebebasan. Bebas yah…. Beli ah, yah…, bebas!