Oleh Isma Swastiningrum*
Jam warna hitam yang aku kenakan baterainya sudah habis sejak dari kemarin, tapi tetap saja kupakai untuk sekedar pantes-pantesan. Malam ini aku tak tahu jam berapa. Bintang tak seakurat matahari dalam mendektekan waktu, bulan sama saja karena garis edarnya selalu berubah. Tak mungkin rasanya menanyakan waktu pada batu. Aku terus berjalan santai di atas rel kereta api. Menikmati hembusan angin malam sendirian setelah ngopi seharian di warang kopi Ladang Waras. Mengalirkan hidup di hulu-hulu aktivitas bohemian.
Malam ini malam terawih terakhir. Sudah empat kali tak kuinjakkan kaki ke rumah. Ah, penjaga palang kereta api itu juga tak pernah pulang saat lebaran. Petugas trans Jogja meski lebaran juga masih beroperasi. Apa pentingnya juga aku pulang? Tak ada yang menantiku. Rumah hanya milik mereka yang kekanak-kanakan. Yang menyanyikan lagu-lagu rindu dan cinta keluarga. Rumah bukan benteng yang sempurna untuk pemberani sepertiku, sebab belantara adalah kesunyianku.
Aku serasa mendengar bunyi kereta. Rekaman dari rumah palang itu juga sudah menyuarakan peringatannya. Aku turun, duduk di pinggir rel. Arus kereta api yang mau menyaingi jet itu memental-mentalkan poni rambutku yang gondrong. Kereta itu tergesa-gesa layaknya hidup, tapi tujuannya membosankan di stasiun itu-itu saja. Aku bertanya: kereta, apakah kau juga punya hari raya?
Namaku ketupat, Jawanya kupat, artinya ngaku lepat, ngaku salah. Itulah setidaknya yang diinginkan Sunan Kalijaga yang menjadikanku simbol pertaubatan. Nenek moyangku berasal dari pesisir-pesisir tak bernama, di sanalah kelapa-kelapa tumbuh. Meski umurku hanya sebentar, aku ingin bercerita tentang rumah yang kuhuni sekarang. Cerita ini adalah cerita turun menurun dari 29 leluhurku yang sekarang kembali menjadi tanah.
30 tahun yang lalu, saat itu Tuan masih mahasiswa. Secara tak sengaja di jalan Tuan menolong salah seorang biarawati sepuh yang beragama Katolik dari sebuah kecelakaan. Sebagai balas terima kasih biarawati itu mengajak Tuan ke sebuah asrama di sudut kawasan Kota Lama, Semarang. Tuan yang hobi menguji imannya masuk ke dalam gereja kecil yang terletak di taman asrama itu. Di sana ia melihat seorang perempuan berwajah fresia yang menangis mendekam rosario di dadanya. Perempuan ini kunamai Nyonya. Tuan yang saat itu menjelma sebagai orang asing duduk di dekat Nyonya dan melakukan doa layaknya orang Katolik. Usai berdoa, Tuan dengan mudahnya menarik simpati dari Nyonya.
Malam itu juga, Tuan dan Nyonya menikmati malam yang terasa ultim di jalan Kota Lama berdua. Menikmati kupat sayur di warung Koh Moer bersama. Satu-satunya tempat yang menjual kupat sayur di dekat stasiun. Di warung itu, di sisa kesedihannya, Nyonya bercerita kemarin baru saja Gereja St. Yusuf melakukan misa rekuiem untuk ibunya yang meninggal. Salib digenggamnya erat. Kisah demi kisah berjalan. Demi waktu mereka jatuh cinta.
Nyonya begitu marahnya ketika mengetahui Tuan ternyata beragama Islam. Namun, Nyonya telah mengenal Tuan sebagimana ia mengenal bau keringatnya sendiri. Tuan aneh yang menemuinya seminggu sekali di taman gereja. Pria serenade yang tak pernah menggombalinya dan selalu menepati kata-katanya. Setiap salah satunya melakukan salah, mereka selalu makan kupat sayur berdua. Itu dilakukan seumur pernikahan mereka. Sejak saat itulah leluhur kami bercerita, kami para kupat menjadi bagian hidup Tuan dan Nyonya, hingga para keturunannya di kemudian hari. Kupat tak hanya simbol selebrasi lebaran.
Meski keluarga menentang, dengan semua bim salabim-nya Tuan dan Nyonya melakukan pernikahan juga –dengan tetap mempertahankan agama masing-masing. Mereka dikaruniai lima anak, dan yang paling berkesan bagi kami para ketupat adalah anak Tuan dan Nyonya yang keempat. Dion namanya, nama pemberian Nyonya yang hobi membaca mitologi Yunani. Dion sekarang kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta.
Aku masih terjaga hingga dini hari ini. Kuhisap rokok dalam-dalam. Ruang kos 2×2 meter ini semakin menyesakkan saja.
“H-2 Lebaran, Kecenderungan Kejahatan Menigkat.” Begitu headline koran yang kubaca. Koran yang kuambil tanpa permisi di Ladang Waras, entah milik siapa.
“Proyek abadi Pantura, kenaikan harga, penimbunan sembako, pencurian kendaraan, penjarahan minimarket, penjabretan di pasar, kecelakaan dimana-mana, ckck. Ini bulan berkah apa brubah toh? Semakin kehilangan kualitas eksistensialis!” Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Namaku ketupat. Dari janur, jatining nur. Tiap melihat kejahatan, memorinya yang murba selalu membawa Dion ke masa tragedi Mei 98 yang menimpa Dion sekeluarga dari Semarang yang pindah ke Jakarta, karena pekerjaan Tuan di sana. Saat itu umurnya enam tahun. Tuan yang tak tahu apa-apa menjadi korban. Dion melihat sendiri kekejian itu. Saat itu tangan dan kaki Dion diikat dan yang bisa dilakukan untuk mengurangi lukanya adalah dengan menangis. Melihat Tuan yang mati di depan matanya.
Tontonan traumatik tak berhenti di ayahnya, tapi juga bundanya yang lebih mudah disantap, karena isu SARA yang sangat sensitif. Ditambah Nyonya juga masih keturunan Tionghoa. Saat itu radio-radio menyiarkan sadisnya pemerkosaan yang dialami wanita-wanita keturunan Tionghoa. Nyonya saat itu baru saja melahirkan anak terakhirnya di bulan April. Di bulan Mei bencana itu terjadi pada Nyonya dan anak bungsu Nyonya. Ya, di bulan itu, sesuatu yang selalu menghadirkan mimpi buruk bagi Dion. Yang membuatnya tumbuh menjadi orang yang paranoid. Soliter hingga dewasa. Luka yang belum mengering hingga sekarang. Ayah, bunda, dan adik Dion pun tak tercatat dalam sejarah. Tak sejajar dengan empat mahasiswa Trisakti itu. Ah, ketupat cerdas sepertiku memang selalu tahu.
Koran yang kubaca tiba-tiba keluar mata, hidung, dan mulut. Mengajakku bicara. Aku pandang ia lama, mencoba meladeninya, sambil kukuncir rambut gondrongku.
“Nilai-nilai luhur sekarang tengah mengalami sakit encok dan bengek,” kata wajah dari koran itu memulai diskusi. Wajahnya adalah kedatangannya yang ke-34.
“Maksudmu?”
“Ia runtuh karena manusia gagal menemukan juntrungannya sendiri. Terjadinya dekadens yang membuat semangat hidup khalayak menjadi merosot. Baca kriminalitas itu. Baca tragedi 98 itu. Gott ist tot. Tuhan sudah mati Dion,” ucapnya, mengingatkanku dengan Zarathustra, Nietzsche. Aku terdiam sejenak. Diam tak bermakna netral.
“Tidak Pak Tua. Tuhan belum mati. Tuhan itu luas. Tuhan bagi Nietzsche adalah suatu model yang menjamin kepastian absolut pada manusia. Untuk meruntuhkan jaminan absolut itu, Nietzsche bilang Tuhan sudah mati. Jika pun secara transendental orang mengatakan Tuhan mati, manusia akan mencari Tuhan yang lain untuk menjamin dirinya. Tuhan rasio, tuhan kapitalisme, tuhan kebudayaan, tuhan sastra, tuhan filsafat, tuhan agama, tuhan kemajuan, dan tuhan-tuhan yang lain. Mungkin juga akan lahir agama baru, agama ilmu pengetahuan.”
“Darimana kau tahu?”
“Nietzsche dengan kredonya Gott ist tot, tidak bermaksud bilang Tuhan tidak ada. Dalam hipotesisnya itu ia bilang: Tuhan yang maha besar yang dulu dibiarkan hidup, beramai-ramai dikuburkan banyak orang. Pembawa berita tentang ketuhanan disebut orang gila. Ini semacam kematian eksistensialis. Seperti bianglala yang tak ada porosnya. Lalu oleh otak-otak tolol mengartikan itu apa adanya. Dan ingat Pak Tua, jangan kau sangkut-sangkutkan ini dengan ayah bundaku. Aku tidak suka!”
“Bukankah ada hubungannya dengan kejahatan yang mereka lakukan? Dan kejahatan di hampir tiap menuju lebaran menjadi gejala-gejalanya? Pun dengan isu-isu kejahatan di luar sana, di pemerintah atau kampusmu? Bukti bahwa Tuhan telah dibunuh diam-diam oleh mereka sendiri? Apa mereka masih bertuhan Dion?” Aku berpikir. Wajah Pak Tua menghilang pelan-pelan. Ia lenyap selalu dengan meninggalkan pertanyaan yang susah kujawab. Ayah dan Bunda, ADAKAH Allah di sana?
Namaku ketupat. Kiblat papat limo pancer. Rumah di Jakarta ini tiap lebaran selalu sepi. Rumah ini diwariskan kepada anak tertua Tuan yang sudah menikah lima tahun tapi belum dikaruniai anak. Aku dan leluhurku merindukan empat anak itu bersatu dalam rumah ini, tetapi sudah empat tahun ini Dion tak pernah pulang. Ketiga kakak Dion pun telah membebaskannya.
Dion istimewa bagi kami karena ia anak satu-satunya dari Tuan dan Nyonya yang bisa membuat ketupat. Melahirkan saudara-saudara kami yang lain. Dion juga yang bisa memasak pacar-pacar kami: opor, sayur lodeh, sampai kare ayam. Kami merindukan tangan terampilnya. Terlebih kami merindukan kesayangannya yang mencintai kami setulus hati seperti ia mencintai ayah dan bundanya. Merindukan sentuhan tulusnya yang menyadari bahwa kami ada dan kami sesungguhnya hidup dan mengabadi.
Gema takbir bergetaran. Sudah kuputuskan dari kemarin, hari ini aku tak mau pulang ke rumah. Kakak-kakak juga tak begitu mempedulikanku, kecuali kakakku ketiga yang banyak membantu keuanganku. Lagian, aku sudah muak dengan pertengkaran soal siapa yang berhak atas warisan rumah di Jakarta itu. Sudahlah. Kuambil ransel, aku punya tujuan jalan-jalan ke Kota Lama, kota kelahiranku, halamanku bermain pas balita. Mengunjungi bekas rumahku dulu. Juga mencari warung kupat sayur milik anak Koh Moer yang entah masih atau tidak. Mencari ketupat yang bisa kuberikan untuk Allah.
Aku menulis sesuatu untuk Pak Tua di meja. Berharap dia tak membuntutiku lagi.
“Requiem aetarnam deo.” Aku mencoretnya, dan kuganti. “Minal ‘Aidin wal Faizin.”
Cepu, 16 Juli 2015
N. B: Requiem aetarnam deo = semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi. Ucapan Nietzsche dalam bukunya “Die Frohliche Wissenschaft” tahun 1880.
*Penulis masih hidup dan sekarang bermimikri sebagai mahasiswa jurusan Fisika UIN Suka yang hendak naik ke semester V. Aktif bergiat di Lembah Sastra Gajah Wong bersama Bulan Berdarah dan Jabarantha. Hidup baginya tak seabot yang dipikirkan. Tak semenakutkan ramalan-ramalan.