Lpmarena.com, Penulis, budayawan, dan seniman asal Madura, D. Zawawi Imron (70) percaya bahwa keindahan lahir dari hati yang bersih. Hal tersebut disampaikan Zawawi dalam acara orasi kebudayaan dalam pembukaan pameran seni rupa “MATJA: Seni Wali-wali Nusantara” di Jogja Nasional Museum, Selasa (27/7).
Dalam orasinya Zawawi mengungkapkan bahwa kesenian itu penting karena Tuhan menyukai keindahan. Manusia diberi onderdil, diberi perkakas untuk melihat keindahan yang ada di sekitarnya. ”Dalam tradisi pesantren, keindahan dibagi dua, keindahan kepala juga keindahan mata batin. Kita diberi otak untuk berpikir. Intinya, bagaimana orang menghayati keindahan,” kata penulis kumpulan sajak Bulan Tertusuk Ilalang ini.
Menurutnya, hati yang bersih merupakan hati yang kalau menurut Sunan Drajat adalah hati yang rumongso (merasa). “Hati yang bersih itu tidak punya waktu untuk iri dan bermusuhan pada orang lain. Hati yang bersih merupakan sumber energi positif yang bisa melahirkan bermacam-macam keindahan, kedamaian,” ucap pria yang juga menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri Yogyakarta ini.
Tambah Zawawi, hati yang bersih menjadi tempat yang sangat indah untuk ditempati. Dari hati yang bersih, akal akan digunakan untuk melihat yang jernih. “Akal sehat kalau diaktifkan, aku mendamaikan aku yang lain. Kemudian aku-aku-aku yang lain berdamai dengan aku-aku-aku yang lain yang terbentuk adalah ‘kita’. Kalau kata Sutardji tertusuk padamu, berdarah padaku,” tuturnya puitis.
Zawawi menyebut ‘kita’ sebagai keindahan kolektif, keindahan bersama, seperti yang dikatakan seorang penyair yang Zawawi kutip: janganlah terjadi hujan di ladangku, kalau tidak untuk semesta. Semua berhak akan keindahan-Nya.
Terkait keindahan juga, menurut penyair yang pernah menerima penghargaan The S. E. A. Write Award ini mengatakan, “Keindahan yang substansial tidak hanya ada pada mawar indah dan kita bahagia akan itu. Tapi juga seekor katak yang tercebur dalam selokan. Keindahan bagi seorang yang indah mata batinnya, karena ada pelajaran Tuhan yang tak lepas.” (Isma Swastiningrum)