Oleh : Daruz Armedian
Kabar tentang salah satu pejabat tertangkap polisi gara-gara mencuri sandal jepit itu sungguh di luar nalar manusia yang kekurangan bahan pangan. Manusia yang sedari dulu menanggung derita tak terselesaikan. Manusia yang setiap hari dibohongi janji-janji. Tak biasanya seperti itu hukuman bagi pejabat di negeri ini. Banyak yang sudah tahu kalau orang yang punya harta, apalagi menjadi orang penting bagi negara, hukuman sebab apa pun akan diberi remisi. Apalagi cuma mencuri sandal. Barangkali, hal seperti inilah yang membuat berita itu tenar.
Mad Gog yang notabenenya penjual koran di lampu merah tahu berita itu sampai terngungun-ngungun. Seolah-olah kejadian ini hanya mimpi belaka. Matanya berulang-ulang membaca berita itu dengan seksama. Nyatanya memang nyata. Berita itu benar adanya. Sementara mulutnya sudah sedari tadi tak berhenti menggumam. Tubuh gemetaran, bulu kuduk meremang.
Konon, pejabat itu namanya H. M. Khilafuman, S.Pd, SH (nama ini dilarang tidak ditulis lengkap). Lahir dari rahim ibu yang dibesarkan di kota penuh keramaian. Kronologi pencurian, sedikitnya—oleh pengarang—bisa diceritakan. Maka, seperti inilah jadinya:
Sebagai orang yang sudah pernah pergi haji, H. M. khilafuman, S.Pd, SH berusaha untuk sesering mungkin beribadah di masjid yang agak terlalu jauh dari rumah mewahnya. Walaupun sebelum itu tidak pernah shalat sama sekali. Ah, tidak. Tidak. Ia pernah shalat sebelumya. Sewaktu ujian praktek di sekolahan dulu. Katanya, datang di masjid itu biar tidak mencemarkan nama baik setelah haji.
Pada suatu siang yang biasa. Artinya siang yang masih ada matahari tepat di atas kepala. Siang yang di langit berwarna biru serta awan putih berjalan pelan-pelan. Pukul dua belas lebih lima menit, H. M. Khilafuman, S.Pd, SH bergegas menuju masjid. Tetapi. Ya, tetapi entah ada angin apa, tidak seperti biasa, setelah turun dari motor, sebelum masuk pintu masjid, matanya memandang sandal jepit warna putih yang seumur-umur ia belum pernah melihatnya. Otaknya memutar kenangan demi kenangan. Bahwa sandal jepit itu memang sama sekali belum pernah ia melihatnya. Pun melihat kembarannya. Di tengah-tengah sandal itu, maksudnya di tengah-tengah sepasang sandal itu ada paku payung kecil mengkilap seperti perak. Masing-masing satu. Agak retak sedikit pada bagian tumit.
Kalaulah tidak terdengar suara iqomah saat itu, barangkali, ini sebuah kemungkinan, H. M. Khilafuman, S.Pd, SH akan tetap di situ. Akan tetap memandangi sepasang sandal itu.
**
Sepasang kaki berjalan di atas lantai yang dingin. Pelan. Tersaruk-saruk menuju barisan dekat imam. Dekat sekali. Hal seperti ini sudah dilakukan sejak baru pertamakali pulang haji. Sepasang tangan diangkat. Mulutnya menggumam. Pikirannya melayang. Ke arah sandal yang juga sepasang. Ya, H. M. Khilafuman, S.Pd, SH sangat kepikiran sepasang sandal itu. Maka, sudah dipastikan, selesai shalat dan wiridan, ia cepat-cepat melenggang. Ah, ternyata sepasang sandal itu belum hilang. Hanya sedikit pindah tempat karena tersaruk orang.
Sepi. Kini keadaan telah sepi. Ia tersenyum penuh arti. Ilmu logikanya muncul: kalau sandal seperti itu saya curi. Kemungkinan besar tidak ada yang mencari. Oh, saya tidak mencuri. Hanya mengambil. Dan sungguh mujur, hatinya menyetujui.
Sekoyong-konyong ada orang berteriak maling pada saat H. M. Khilafuman, S.Pd, SH sudah menenteng sepasang sandal itu. Keadaan yang semula sepi, kini ramai. Awalnya satu orang memukul, kemudian jadi banyak. Menyeruak. Sebenarnya ada yang berteriak:
“Jangan dipukulin. Beliau pak pejabat!” tetapi tak ada yang peduli. Sampai pada suatu kesimpulan cerita, ia dibawa ke kantor polisi. Dari kantor polisi kemudian ke tempat pengadilan.
“Menurut saksi si anu, Anda telah mencuri sepasang sandal berwana putih, di tengah-tengahnya ada paku payung mengkilap, serta di bagian tumit retak.” Pak hakim memulai pembicaraan. Memecah sunyi dalam ruangan.
“Jangan langsung menggunakan kata mencuri. Itu terlalu ekstrim. Saya baru saja menenteng sepasang sandal itu.” bantah H. M. Khilafuman, S.Pd, SH.
“Dan anda berniat mencurinya!”
“Niat itu di dalam hati. Dan hati itu tersembunyi. Siapa yang tahu isi hati?”
Pak hakim agaknya kebingungan. Tetapi, namanya juga hakim, ia bisa membantah. “Tapi logikanya, kalau anda sudah menenteng sepasang sandal itu, kemudian sudah mau menghidupkan motor, sudah pasti sepasang sandal itu akan Anda ambil. Dan artinya, Anda memang mau mencuri.”
“Kok, Anda tahu kalau saya akan menghidupkan motor?” tanya H. M. Khilafuman, S.Pd, SH lebih rumit. Tangannya mengusap sedikit darah yang meleleh dari pelipisnya.
Pak Hakim terdiam. Matanya memandang tajam. Saksi sekaligus yang merangkap punya sepasang sandal itu kebingungan. Dan sadar, ia orang bodoh. Ia orang miskin yang tak mengerti apa-apa. Jadi, hanya geleng-geleng kepala. Terus seperti itu. Barangkali bisa selamanya.
Pada saat yang sama, pak hakim menanyakan sesuatu pada orang yang punya sepasang sandal. “Apakah Anda, sebagai si korban akan memaafkannya? Kalau iya, maka selesai sudah masalahnya.”
Lama tak ada jawaban. Karena pak hakim melihat ia hanya geleng-geleng kepala, maka logikanya bilang tidak.
Masalah tak selesai!
H. M. Khilafuman, S.Pd, SH menghampiri pak hakim. Membisikkan sesuatu dengan kilat, kemudian kembali ke tempat duduk.
“Tidak. Tidak ada kongkalikong. Tidak ada suap-menyuap. Anda ditetapkan sebagai tersangka. Hukumannya lima tahun penjara!” suara itu membuat H. M. Khilafuman, S.Pd, SH tercengang. Sungguh, tak seperti pengadilan yang biasanya banyak ia temui di negeri ini.
Tok, tok, tok.
Palu diketuk tiga kali. Maka berbanggalah negeri ini. Mad Gog terharu. (Sebenarnya, apa yang dibaca Mad Gog adalah bahasa koran. Sementara yang tadi adalah bahasa si pengarang. Intinya sama. Hanya beda tutur kata.)
Saking terharunya, ia sampai lupa tidak menjual koran. Masih setumpuk. Yang akhirnya ia bagikan secara gratis sambil bilang ke semua orang. Ada kabar baik di negeri ini. Tak berbeda dengan Mad Gog, semua yang tahu berita itu, juga terharu.
***
Kimin juga terharu. Matanya berkaca-kaca. Baru kali ini ia terbawa suasana saat membaca cerpen anaknya. Dan memang baru kali ini ia membaca cerpen. Kebetulan cerpen itu dimuat di koran yang ia jual di area lampu merah. Dan sebetulnya juga, ia tertarik juga dengan judulnya: “Sepasang Sandal Jepit”
Selesai membaca, Kimin terdiam. Matanya memandang lampu yang berganti ke warna hijau. Kendaraan-kendaraan berlalu. Ia masih terpaku. Apakah bisa negeri ini sama dengan apa yang ditulis anaknya. Masih terngiang di telinganya, koruptor dapat remisi hukuman. Dan masanya pun lebih pendek ketimbang hukuman seorang nenek pencuri kayu.
Bayangannya kini ke mana-mana. Kepikiran anaknya yang sekarang di rumah sedang apa. Atau jangan-jangan tidak di rumah. Kepikiran apakah anaknya akan menulis cerita lagi. Kepikiran apakah anaknya tahu kalau ia sebenarnya juga…
Bayangannya buyar ketika terdengar teriakan dari atas motor keren yang mengacu padanya.
“Itu dia pencuri sepasang sandalku, Pak Polisi! Itu yang dipakai di kakinya, Pak!”
Kimin bengong. Mulutnya tak sadar ngomong. “Pak Kades?”
Tak ada waktu lama bagi Kimin mengingat-ingat segalanya. Polisi sudah memborgolnya. Sudah membawanya dengan mobil bersirine. Sudah lantas memenjaranya sesuai aturan. Sudah tak ada harapan baginya berharap. Sudah selesai cerita kenyataan Kimin ini.**
*) Penulis adalah cerpenis lahir di Tuban dan sekarang kuliah di UIN Sunan Kalijogo, fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media massa lokal maupun nasional.
Nomer hape: 085606093128
Email: armediandaruz@gmail.com