Jika kita membuat sejarah karena kita tidak dibuat oleh sejarah kata sartre. Tinggal kita memilih sejarah yang berperadaban atau sejarah perbudakan.
Oleh M Faksi Fahlevi
Sekedar pengen basah-basih untuk mengenang kuliah kerja Nyata (KKN) UIN-Sunan Kalijaga angkatan 86 tahun 2015. Yang sekaligus sebuah pesan kepada sahabat-sahabat yang tengah sibuk mengerjakan laporan keuangan KKN dan laporan pertanggung jawaban kolektif maupun individu.
Semoga amal dan perbuatan kawan-kawan diterima disisi tuhan amin. Walaupun laporan yang kawan-kawan kerjakan adalah perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh umat beragama, yaitu manipulasi yang merupakan berbuatan tidak manusiawi.
Tidak hanya sekedar basa-basi, Saya kira Kawan-kawan sudah sadar jika kuliah kerja nyata (KKN), bukan kegiatan keji seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Walaupun celekopan itu sering muncul sebagai kritik kawan-kawan. Tak masalah, tapi yang penting kita harus mengevalusi bareng-bareng apa itu KKN.
KKN : Perdebatan yang tidak usai
Salah satu teman saya sebut saja namanya RM. Candra Saputra, ia pernah mengatakan diawal-awal pertemuan kelompok kami, bahwasanya KKN itu merupakan proses pengabdian bukan proses pendidikan. “kita harus ikut masyarakat, bukan masyarakat ikut kita,” tegasnya.
Akan tetapi pernyataan tersebut dibantah oleh kawan saya Minrahadi_yang juga melakukan proses KKN_di Galur, Kuolonprogo. Menurutnya, KKN adalah proses aktualisasi pengatahuan yang dimiliki oleh peserta didik (Mahasiswa) dalam menyikapi polemik masyarakat yang kacau. Kurang lebih bagitu. Baginya, jika peserta KKN hanya menjadi alat masyarakat untuk menindaklanjuti warisan budaya dan sosial yang konservatif, atau bahkan KKN hanya sebagai ritualitas pendidikan tinggi yang sudah tidak kontekstual. Maka seharusnya KKN ditiadakan.
Pendifinisian terkait KKN memang hanya sebatas perdebatan. Namun penting bagi kita untuk dijadikan bahan perenungan dan pertimbangan. Karena di satu sisi, ia sebagai orang yang idealis yang lebih mementingkan watak peradaban umat manusia dalam mencapai sejarahnya. Di sisi lain ia sebagai orang yang moralis yang lebih mementingkan etika sosial yang saya kira sama-sama bagian dari epistemologi pengatahuan.
Sebenarnya kita tidak usah risau dengan pendefinisian atau perdebatan tersebut, karena hal demikian memang hukum alami umat manusia modern. Yang perlu kita pertegas kembali adalah orientasi KKN itu sendiri sebagai proses pengabdian dan pendidikan, atau bahasa filsafatnya hipotesa dari dua pengertian tersebut.
Mungkin yang perlu kita analisis lebih dalam adalah relevansi tema KKN 86 2015, yaitu “Tematik posdaya berbasis masjid” yang saya kira merupakan turunan dari konsep pendidikan UIN-Suka yaitu jaring laba-laba (Integrasi interkoneksi), yang berbasiskan kepada al-qur’an dan hadist.
Mungkin konsep matang instrumental praksis Jurgen Habermas menjadi suatu hal yang menarik untuk dijadikan bawan tawaran agar supaya KKN lebih kritis dalam melihat logika main masyarakat yang moralis dan konservatif. Sebagaimana ia pertegas dalam bukunya “Teori tindakan komunikatif (Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat).” Pertama, kita dituntut untuk melakukan observasi terkait persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat selama 1 minggu, untuk dijadikan bahan Rencana Program Kerja (RPK).dan UIN melakukan hal tersebut.
Kedua, adalah melakukan sosialisasi dengan masyarakat untuk memverifikasi keotentikan data-data yang kita proleh hingga mengerucut pada perencanaan program kerja. Dalam hal ini Habermas menyebutnya sebagai “konsensus” dalam menemukan kesepakatan bersama, antara peserta KKN sebagai orang yang terdidik yang sadar akan realitas sosial, dan intelektual awam (masyarakat). Hadirnya intelektual awam, bukan berarti tidak punya kontribusi dalam wacana pembangunan, melainkan sebagai kekuatan politik massa dari gempuran atribut politik lain yang mencoba membongkar hasil dari konsensus tersebut. Akan tetapi idealisme mahasiswa tetap sebagai power perubahan dari diplomasi konsensus tersebut.
Ketiga, adalah aplikasi kongrit. bukan wacana, bahkan bukan hanya sekedar pengabdian dalam melestarikan wacana konservatif masyarakat. Terciptanya khasanah integrasi-interkoneksi yang kontekstual, yang di dalamnya masyarakat lebih maju dan berperadaban kritis hingga melahirkan kondisi sosial yang nyaman dan tentram.
Dari tiga kategori keilmuan Jurgen Habermas diatas. Kita bisa menilai dimana kelemahan integrasi-interkoneksi “Posdaya Berbasis Masjid.” Sebagai corak keilmuan UIN Suka yang hanya pada dimensi yang pertama dan kedua. Itupun masih lemah. Kenapa demikian, karana KKN hanya sekedar ritualitas tahunan mahasiswa yang berbasis data dengan penelitian dan pengalaman konyol ditengah-tengah masyarakat. Aku menyebutnya sebagai kerja instrumental ke-instrumental.
Saya Tidak Mau Jadi Penipu Apalagi Pembohong
Berikutnya Salam penutup buat sahabatku yang selama ini sering mengeluh dan bahkan menggerutu di belakangku, disebab karena tidak pernah datang untuk ikut membantu membuat laporan KKN individu maupun kelompok. Dan dengan tulisan ini mungkin menjadi alasan kenapa saya tidak pernah datang, bukan tanpa alasan. Sederhananya adalah aku tidak mau menjadi anak penipu maupun pembohong dari proses pendidikan.
Bukan karena saya terlalu idealis yang sering kawan-kawan ucapakan, melainkan saya malu pada bung Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya jejak langkah yang sering mengigatkan saya menjadi manusia yang sadar bukan idealis, dengan ucapan yang menurut saya menarik. “ Tuan jangan anda terlalu percaya pada pendidikan sekolah, karena Guru yang baik saja bisa menciptakan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya apalagi guru itu bandit pula pada dasarnya.” Sangat menusuk bukan? Dan di sekolah kita UIN-Sunan Kalijaga yang katanya kampus putih luarnya mengajarkan kita menjadi bandit yang sejahat-jahatnya.
Mungkin teman-teman KKN sudah paham bagaimana LP2M mengajarkan kita “berbohong” terkait dana keungan Rp. 1,500.00.00 yang harus dirinci untuk semua kegiatan. Kita tahu bahwa bayar kos KKN harus mengambil dari dana tersebut tanpa harus menyantumkannya, dengan memanipulasi data agar semua keungan 1.5 juta itu berbentuk kegiatan. Dan hal ini tidak sesuai dengan keputusan awal.
Oh ternyata, Menurut laporan teman saya Anis, selaku wartawan Arena, bahwa dana 1.5 bukan dari dana sumbangan dari kita yang telah membayar ke-bank, melainkan dari Badan Layanan Umum (BLU) untuk setiap pos KKN. Serentak saya kaget bukan kepalang, hingga terngiang-ngiang di kepala. Lantas kemana uang sumbangan kita yang Rp 240.000.00 itu? Yang katanya mau dikembalikan sesuai dengan logika penghitungan KKN bayar DPL, asuransi dan tak terduga lainnya.
Sedangkan dana dari BLU tidak diterangkan waktu sosialisasi sebelumnya oleh pihak penyelenggara. Dan ini jelas sekali pencurian nilai barang dan nilai lebih dari KKN yang dilakukan oleh LP2M UINSuka pada peserta KKN. Apakah kita salah jika akhrinya KKN bukanlah kepanjangan dari Kuliah Kerja Nyata, melaikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Maaf kawan, pendidikan tidak mengajarkan pada kita suatu tindakan tidak manusiawi itu. Mereka menghilangkan esensi dan eksistensi kita sebagai manusia hingga menjadi komoditas yang sangat menguntungkan baginya. Sekali lagi saya tidak mau menjadi penipu apalagi pembohong demi keuntungan mereka. Sehingga kita hanya bekerja pada tataran data tanpa harus membuka mata.
Hidup memang sulit kawan, apalagi disuruh memilih menjadi manusia yang baik, dan berbohong demi kenyamanan materi atau mendapatkan nilai tinggi. Yang pada akhirmya yang dikejar hanya nilai dari proses KKN bukan jangkah panjang kegiatan yang praksis dalam membangun Soft Skill maupun peradaban sosial masyarakat. Tidak hayal yang sering kita jumpai kegiatan jangkah panjang kegiatan KKN hanya berupa Plangisasi dan bahan gunjingan masyarakat karena peserta KKN tidak moralis dan tidak bertanggung jawab.
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang ikut KKN 86.