Home - Menutup Mata dengan Sensor

Menutup Mata dengan Sensor

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Tabu dalam sejarah film Indonesia telah merentang jauh sejak seabad silam. Yakni wacana atau laku yang dipinggirkan dari konsumsi publik melalui sensor. Banyak alasan yang mempengaruhi; campur tangan politik, moral masyarakat, hingga ekonomi.

Dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia perubahan wajah sensor secara heuristik tergambar. Menelisik sejak pertama kali film hadir di Hindia-Belanda hingga kondisi kekinian. Setelah satu abad, kita tahu belaka bahwa sensor adalah mekanisme penertiban yang tak jarang disalahgunakan penguasa.

Lembaga sensor film pertama kali berdiri pada tahun 1916. Enam belas tahun setelah film masuk ke Hindia-Belanda. Fungsi utama lembaga ini adalah menyensor film yang dirasa menjelekkan pemerintah kolonial. Lembaga sensor itu hanya ada di kota besar seperti Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya.

Kebijakan itu dikeluarkan pemerintah kolonial sebab banyaknya protes yang ditujukan kepadanya. Salah satu penyebabnya adalah personifikasi orang barat dalam film dianggap negatif. Meski begitu, kriteria sensor masing-masing kota ternyata berbeda. Suatu film bisa lolos sensor Jakarta, tapi belum tentu lolos di Medan.

Lembaga sensor ini kemudian kian berkembang di saat kesadaran akan nasionalisme mulai berkembang di negeri jajahan. Tahun 1930, seiring hadirnya film bicara, sensor juga diperlakukan untuk kata dan pembicaraan yang mengancam status quo pemerintah kolonial.

Masa awal kemerdekaan pasca proklamasi ’45 geliat film sempat redup. Setiap lini masyarakat waktu itu terserap untuk usaha mempertahankan kemerdekaan. Kondisi ini terus berlangsung hingga satu dekade ke depan.

Mekanisme sensor yang lebih brutal sempat diberlakukan setelah berdirinya rezim Orde Baru. Yakni penghancuran film yang dianggap berbeda dengan ideologi penguasa. Terbukti dengan adanya 28 judul film karya seniman Lekra yang dibakar habis tanpa sisa.

Sejak berdirinya orde baru, film-film berbau kritik seakan tak bisa diproduksi. Sebab utamanya adalah mekanisme yang dibangun pemerintah telah mampu mangawasi dari hulu pembuatan film hingga hilir pemutarannya. Penempatan industri film di bawah Menteri Penerangan membuatnya selalu berada dalam kontrol kuasa pemerintah.

Dengan mendirikan organisasi legal –dan satu-satunya, yang tanpa masuk organisasi ini seorang tidak boleh membuat film- seperti Dewan Film, Festival Film, Ikatan Karywan Film, dan Konsorsium Pengimpor Film. Penyensoran dalam kurun itu telah dilakukan sejak naskah dibuat, dengan mengajukannya terlebih dahulu pada Mentri penerangan. Baru setelah ijin keluar, produksi bisa dilakukan.

Pada tahun ’70-an, ada kecenderungan baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Yakni banyaknya film berorientasi seks yang beredar di masyarakat. Ambil contoh Bernafas Dalam Lumpur (1970) yang dibintangi aktris kenamaan Suzanna, juga Intan Perawan Kubu (1972)yang menaikkan nama Yati Oktavia.

Tahun ini juga dianggap sebagai periode masuknya impor besar-besaran ke dalam industri film tanah air. Dengan berubahnya haluan politik pemerintah Indonesia pasca ‘65, agen perfilman luar semacam Ampai (American Motion Picture) menguasai impor dan distribusi film nasional. Perlakuan ramah investor tersebut sesuai konsep liberalisasi ekonomi yang diteken pemerintahan Soeharto dengan Amerika.

Kondisi ini memaksa pembuat film lokal untuk mengambil pilihan sulit, film sebagai entitas seni ataukah entitas bisnis. Sejak saat itu, kecendrungan bisnis kental dalam produksi film Indonesia. Film erotis yang cenderung berbiaya produksi murah sering dijadikan pilihan.

Eksplorasi erotis seolah menjadi penyambung nafas untuk tetap memproduksi film. Hal ini berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya. Baik di masa krisis ataupun di waktu lapang. Dengan beberapa model racikan, seperti memadukannya dengan horror atau komedi, film genre ini mampu menarik konsumen terutama kelas menengah ke bawah.

Perubahan wajah sensor kembali terjadi pasca reformasi. Kran demokrasi yang terbuka lebar menjadikan arus besar film dan informasi sulit dibendung. Pengaturan dan sensor yang pada masa sebelumnya berada di tangan negara kini beralih ke tengah masyarakat.

Sensor yang semula polanya vertikal (dari atas ke bawah) berubah horizontal. Dalam konteks seperti ini, sensor yang terjadi berupa protes dan penyerangan dari organinasi masyarakat (ormas) yang tak sepakat atas tema suatu film; Hantu Tanah Kusir (2010), Soegija (2012), dan Senyap (2014).

Pola seperti ini patutlah masuk dalam kategori sensor sebab pemerintah tidak hadir di dalamnya. Laku pembiaran dalam beberapa kasus pembubaran dan penyerangan adalah mekanisme lain di mana wacana dan laku tertentu dipinggirkan dan dilarang tampil ke hadapan publik.

Angle Pelaku Sejarah

Sebagaimana penuturan Garin dan Dyna dalam buku ini, perkembangan film Indonesia yang tak pernah lepas dari konfigurasi Ekonomi-Politik-Sosial-Budaya. Hal tersebut niscaya bila hendak mengkontruksi sejarah film nasional. Garin Nugroho seperti kita tahu adalah sineas kenamaan Indonesia. Dengan perjalanan karir yang panjang, disertai dengan jaringan kerja dan literatur yang ia kuasai patutlah menjadi salah satu referensi film Indonesia.

Menjelaskan perjalanan film Indonesia secara lengkap dalam sebuah buku berukuran 352 halaman bukanlah hal mudah. Apalagi dengan pemahaman konteks yang diandaikan mendeterminasi perfilman itu sendiri. Namun hal ini bisa disiasati dengan baik dengan memaparkan beberapa tokoh, institusi, hingga regulasi perfilman Indonesia.

Buku yang ia tulis dengan Dyna Herlina (Rumah Sinema) ini memang sarat dengan sudut pandang pribadi. Tapi posisi Garin yang seringkali berada di tengah pusaran sejarah film nasional menempatkannya sebagai pengamat sekaligus pelaku sejarah.

Judul: Krisis dan Paradoks Film Indonesia

Penulis: Garin Nugroho dan Dyna Herlina S.

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal : xvi + 352 halaman

Terbit : Mei 2015

Jamaludin A, mahasiswa jurusan Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga dan penyuka film.