Beberapa hari yang lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa UIN Suka menggelar aksi dan audiensi guna mendapatkan kepastian terkait dana pelaksanaan Kalijaga Creative Festival (KCF) yang macet. Aksi dilakukan sehari sebelum KCF dilaksanakan dan membuahkan hasil.
Sebelumnya, Aliansi Mahasiswa untuk UIN Sunan Kalijaga (AMUK) juga telah dua kali mengkonsolidasikan massa. Merangsek ke gedung rektorat menuntut pengelolaan UKT. Persoalannya rumit menyangkut ribuan mahasiswa baru, perumusan Biaya Kuliah Tunggal (BKT), pembagian golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan minimnya transparansi kampus mengenai UKT. Persoalan belum selesai dan AMUK masih terus bergerak.
Sederet aksi di gedung rektorat memang kerap terjadi di UIN Suka. Mahasiswa berkumpul menyuarakan aspirasi, mempertanyakan kejelasan dan menyerukan protes pada birokrasi kampus yang dipandang kurang bijaksana dalam mengelola kampus. Banyak hasil dicapai berdasarkan kesepakatan di antara massa dan birokrasi.
Banyak ketidakpuasan massa terhadap kinerja birokrasi. Aksi massa menjadi keharusan di saat kebijakan tidak adil dan merugikan. Dan rektor serta jajarannya terbiasa menyempatkan waktu bagi mahasiswa saat terdesak dengan keberadaan puluhan mahasiswa di gedungnya. Cerita penolakan/pengabaian permintaan audiensi sering terdengar melalui surat resmi dari mahasiswa.
Dalam rangkaian aksi UKT tahun ini, proses negosiasi tak kunjung menemukan titik temu. Bukan saja karena sistem yang konon rumit, melainkan juga pada kesepakatan aliansi dengan birokrasi yang tak rampung. Aliansi meminta seluruh data yang diperlukan untuk merumuskan dan menggolongkan pembagian UKT. Namun, hingga kini belumlah dipenuhi seluruhnya. Terang saja, pembatasan akses seperti itu menghambat laju analisa persoalan yang diklaim rumit sebelumnya. Maka akan menjadi mudah jika aspirasi kemudian ditampik dengan dalih kompleksitas persoalan, membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.
Maka menjadi sangsi apakah kesepakatan dilandasi pada pemahaman dan rasionalisasi yang setara. Karena mahasiswa, seperti dalam kasus UKT, mendapatkan rasionalisasinya berdasarkan fakta empirik lapangan dengan meninjau kondisi, kebutuhan dan kemampuan mahasiswa, sementara birokrasi membenturkanya dengan data dan aturan-aturan.
Kebijakan dianggap tidak tepat karena penggunaan data-data tertulis bukan merepresentasikan kenyataan sebenarnya di lapangan. Fakta bahwa mahasiswa menjerit tidak tercetak dalam lembaran angka-angka.
Dua model pembacaan kebijakan bertarung dan tak terdamaikan. Mahasiswa meminta keterlibatan dirinya untuk bersama merumuskan kebijakan, meminta akses atas informasi namun belum terpenuhi.
Terkait persoalan mahasiswa, mengapa masih enggan merumuskan kebijakan bersama saat melihat berulang kali munculnya ekspresi ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja birokrasi. Melakukan dialog bersama secara rasional hingga mendapati konsensus. Karena akan selalu ada benturan kuat dari sekumpulan mahasiswa reflektif yang secara aktif terlibat dalam ruang gerak yang luas saat kebijakan diturunkan.
Wujudkan hak-hak politik mahasiswa! Hapuskan depolitisasi massa! (Redaksi)