Kabar baru-baru ini dari seorang kawan, majalah Lentera edisi ketiga “Salatiga Kota Merah” terbitan pers mahasiswa Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) UKSW Salatiga mengalami pembredelan. Pembredelan dilakukan karena isi dari konten majalah tersebut menampilkan hasil wawancara para saksi yang menjadi korban 65. Kawan-kawan pers mahasiswa yang menerbitkan majalah tersebut dipanggil Kapolres Salatiga untuk dimintai keterangan terkait konten. Mereka diperintahkan untuk menarik kembali majalah tersebut dari peredaran.
Dalam hal ini, pers sebagai media jurnalistik yang sudah mendapatkan kebebasannya dalam menyuarakan kebenaran dan menyampaikan suara orang-orang. Namun, yang tidak bisa bersuara justru ikut dibungkam oleh oknum yang tidak senang jika kebenaran tersebut dikonsumsi publik.
Sedangkan dalam Pasal 6 UU Pers sendiri menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai pemenuhan hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Selain itu pers juga mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Tindakan represif yang dilakukan oknum tersebut terhadap suatu lembaga media, yakni pers untuk menyampaikan informasi ke publik dan intimidatif terhadap hak politik seseorang sebagai warga negara, jelas melanggar Hak Asasi Manusia. Mendapati dua fenomena tersebut timbul pertanyaan dalam benak kita tentunya: “Apa iya kita sudah benar-benar lupa demokratis?”. (Redaksi)