Judul Buku: Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (dari judul asli Class Dynamics of Agrarian Changes)
Penulis: Henry Bernstein
Penerjemah: Dian Yanuardi, Muntaza, Stephanus Anwar
Penerbit: INSISTPress
Terbit: Juni 2015
Tebal: xx + 161 halaman
Kita lupa di halaman belakang, para bapak dan ibu petani kita sedang memperjuangkan lahan pertanian mereka. Konflik horizontal pertentangan kelas memperebutkan lahan tanah sebagai basis ekonomi masyarakat terus terjadi. Nampaknya, kita lebih tertarik dengan globalisasi yang menuntut pada “pembangunanisme”. Tanpa kita sadari, salah satu fenomena dari sekian banyak, seperti yang berujung pada pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil dan Tosan yang terjadi di Lumajang luput dari perhatian.
Henry Bernstein melalui buku “Class Dynamics of Agrarian Change” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit INSISTPress dengan judul Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria, mencoba menganalisis dinamika kelas dalam sejarah agraria. Henry menggunakan teori kapitalisme Karl Marx dengan dialektika historis sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan mulai dari ekonomi politik agraria, sampai pada titik kompleksitas kelas dengan dalih di bawah penguasaan atas tanah.
Kajian ekonomi politik agraria yang ditulis Henry menyelidiki relasi sosial produksi dan reproduksi, properti dan kekuasaan dalam transformasi agraria, sampai bagaimana kemudian mengalami perubahannya secara historis maupun kontemporer. Henry menunjukkan ada dinamika kelas dalam perubahan Agraria sampai pada globalisasi neoliberal.
Henry mencari asal mula ekonomi pangan global kontemporer melalui data yang dihimpun dari serangkaian perubahan revolusioner. Dalam rentang waktu mulai dari milenium yang telah berlangsung selama sekian abad, dan sekarang hanya dalam hitungan dekade. Dari situ kemudian Henry melihat ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan produksi pangan, populasi petani, kualitas hidup, dan harapan.
Henry mengambil sampel historis Inggris, negara feodal pertama sebagai pelopor lahirnya kapitalisme agraria. Titik persoalannya, adanya hak milik atas tanah yang kemudian membagi masyarakat kedalam tiga golongan pemilik tanah kapitalis, kapital agraria, dan buruh tak bertanah atau proletariat, yang dianggap sebagai pertentangan kelas.
Pemilik tanah kapitalis menjadikan lahan sebagai komoditas yang dimiliki oleh pemilik lahan dengan hak atas milik pribadi. Karena itu, pemilik lahan bisa menggadaikan tanah miliknya kepada kapital agraria, dalam hal ini sebagai petani yang menyewa lahan pertanian seluas mungkin untuk tujuan akumulasi modal dengan berinvestasi pada produksi komoditas. Dari dua kelas di atas, kemudian lahirlah kelas paling bawah, yakni buruh tak bertanah yang menjual tenaganya sebagai penggarap lahan.
Warisan Kolonial dan Aktivitas Pemerintah
Salah satu elemen penting sebagai tanda menuju bangunan dunia modern adanya ragam tipe kolonialisme. Sistem kepemilikan atas tanah dalam konteks Indonesia sekalipun merupakan warisan dari zaman kolonial. Sampai sekarang warisan tersebut bisa kita lihat secara turun-temurun sebagian hak atas lahan tanah yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mendapat tempat di dalam struktur kekuasaan pemerintah atau pemilik tanah kapitalis.
Menurut Henry, partisipasi aktivitas pemerintah dalam mencarikan solusi melalui kebijakan sangat diperlukan, seperti landreform. Terdapat dua jenis landreform, yaitu “landreform dari bawah” yang diasosiasikan dengan slogan “tanah untuk penggarap” dan “landreform dari atas” bahwa petani kecil dengan kepemilikan tanah yang terjamin.
Dalam konteks Indonesia, pada masa Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno mulai diterapkannya Landreform atau reforma agraria. Sebuah proses restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian, khususnya soal pertanahan. Landasan hukum pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA No. 5 tahun 1960 dan UU No. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, pembagian tanah, dan pemberian ganti rugi.
Tap MPRS RI Nomor II/1960 dan manifestasi politik menyebutkan tiga landasan filosofis pembangunan pada masa Soekarno yakni, anti penghisapan atas manusia oleh manusia, kemandirian ekonomi, dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme.
Namun, kebijakan tersebut hanya bertahan dalam kurun waktu 1961-1965, karena kondisi politik yang sedang bergejolak pada waktu itu. Kemudian naiknya rezim Soeharto atau Orde Baru, kebijakan tersebut seolah-olah hilang dari draft kebijakan pemerintah. Pada Orde Baru ini pemerintah lebih memfokuskan pada pembangunan dengan mengeluarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.
Seiring berjalannya waktu pasca reformasi, implementasi dari mandat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001. Dalam pasal 2 dijelaskan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Namun kenyataannya, aktifitas pemerintah tidak lagi nampak dalam ladang-ladang pertanian. Pertentangan kelas memang tidak bisa terhindarkan, pemilik tanah kapitalis tidak akan mudah melepas modal yang dimilikinya. Maka dari itu revolusi agraria menjadi konsekuensi jika pemerintah dengan landreform-nya tak juga memberikan solusi. Kalau tidak, fenomena yang dialami petani kecil seperti Salim Kancil akan terus terulang.
Buku Henry Bernstein yang banyak menyuguhkan data-data historis ini dapat menjadi bahan refleksi atas kondisi agraria saat ini. Dan yang lebih menarik lagi, penggunaan persfektif Karl Marx di dalamnya memang masih relevan untuk menganalisis persoalan baik dari historis ataupun kontemporer. []
Andi R, mahasiswa jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga, pemilik NIM 12510082.