Home - Mengembalikan Hutan dalam Kedaulatan Rakyat

Mengembalikan Hutan dalam Kedaulatan Rakyat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Mengembalikan fungsi hutan dalam tradisi rakyat setempat menjadi alternatif dalam kerusakan hutan yang diakibatkan oleh korporasi-korporasi kapital.

Lpmarena.com, Indonesia yang katanya memiliki hutan terbanyak ketiga dunia, menurut Ahmad Maryudi, dosen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM adalah salah. Ada lima negara lain yang hutannya memberi sumbangan besar, yakni: Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Rusia, dan China. Bumi sendiri kata Yudi (panggilan Ahmad) setiap tahunnya kehilangan hutan seluas 13 juta hektar.

“Bagaimana destruktifnya di Borneo. Mesin bisnis yang luar biasa,” ucap Yudi selaku pembicara dalam seminar bertajuk Mengelola Alam Secara Bijaksana Melalui Pengelolaan Hutan, Praktik Kesenian, dan Tradisi Setempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa (22/10).

Yudi menjelaskan satu kesalahan fatal dari Undang-undang Kehutanan ada dalam ketidaktepatan mengkategorikan hutan. Ada hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung. “Hutan ya hutan. Untuk menjaga ekosistem. Kalau hutannya produksi ya dibabat,” kata Yudi.

Seperti yang dikeluhkan Arie Setyaningrum Pamungkas dosen Sosiologi UGM selaku peserta seminar bahwa sistem perhutanan yang berlaku sekarang tidak lepas dari peta global. Adanya korporasi-korporasi serakah yang tidak berdiri sendiri, bahkan NGO saja ada yang menjadi subjek yang mempunyai kepentingan korporasi. “Saya sudah terlalu marah, bagaimana orang menggunakan wacana untuk men-support neoliberal yang ada,” ucapnya.

Andalkan Rakyat

Pengalaman nyata mengenai pengelolaan hutan datang dari Ahmad Hidayat, alumnus kehutanan UGM yang sudah melakukan pengembaraan hutan 10 tahun di Papua, 11 tahun di Karimun Jawa, dan saat ini sudah 6 tahun bekerja di Taman Nasional Gunung Ciremai. Menurutnya pengelolaan hutan tak bisa mengandalkan garda pemerintah. Pun tak bisa dijaga secara fisik.

“Yang sedang diusung Taman Nasional Gunung Ciremai dikembalikan ke kedaulatan rakyat. Di tiap desa punya unggulan wisata masing-masing yang dikelola masyarakatnya sendiri,” kata Ahmad.

Ide ini sejalan dengan hubungan hutan dengan seni dan budaya lokal setempat dalam upaya konservasi hutan. Bagi Sitras Anjilin, pembicara dari kalangan seniman menututurkan seperti halnya berkesenian, tak ada istilah melestarikan, tapi melakukan. Hutan bukan dilestarikan, tapi dilakukan. Hutan tak cuma dijaga, tapi dikembangakan.

“Perhutani ngeluh gak bisa dapat kayu bakar,” sindir Sitras yang juga pemimpin Padepokan Tjipta Boedaja Magelang. “Kalau orang semakin cerdas, semakin menyadari, semakin tahu, semakin ada kesadaran,” tambahnya. (Isma Swastiningrum)