Home - Organisasi Daerah: Problematika dan Harapan

Organisasi Daerah: Problematika dan Harapan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Khairul Amri*

Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta bak magnet yang setiap tahunnya menarik banyak mahasiswa dari berbagai pelosok Indonesia. Pemerintah daerah dengan alasan tertentu, menyediakan fasilitas berupa pembangunan asrama untuk mahasiswanya. Di beberapa titik di Yogyakarta, berdiri asrama daerah: Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Aceh, ataupun kontrakan yang dihuni oleh mahasiswa daerah tertentu.

Tampaknya kesamaan psikologis mendorong mereka membentuk perhimpunan lengkap dengan struktur organisasi dan kepengurusan. Kesadaran untuk berhimpunan dalam satu ikatan masih terlihat mengemuka saat ini. Hampir semua hal dibuat perhimpunan; himpunan mahasiswa jurusan, himpunan alumni sekolah tertentu, tanpa terkecuali himpunan mahasiswa daerah yang sedang kita bahas.

Problematika Organisasi Daerah

Menjadi penggiat di organisasi daerah memiliki tantangan tersendiri. Pertama, tantangan terbesar adalah menjaring mahasiswa-mahasiswa sedaerah berpartisipasi dan aktif dalam agenda-agenda organisasi. Ada perbedaan mendasar antara organisasi daerah dan organisasi pergerakan. Hampir dapat dipastikan, anggota-anggota organisasi pergerakan tertentu diisi oleh pribadi-pribadi yang pada dasarnya memiliki niat awal untuk berproses di organisasi. Sedangkan organisasi daerah, terlebih dahulu harus menjaring mahasiswa daerah untuk bergabung dan merencanakan sumbangsih apa yang sekiranya mungkin dilakukan untuk masyarakat yang ada di daerah.

Kedua, seringkali organisasi daerah lebih mengutamakan asas kekeluargaan dibanding asas-asas lainnya. Acara-acara yang dibuat pun tidak jauh dari prinsip tersebut mulai dari Malam Keakraban (Makrab), seminar-seminar dengan mengangkat budaya daerah, hingga kumpul-kumpul yang tak jelas pembahasannya apa.

Asas ini tidak mesti dihilangkan karena ia menjadi titik tolak terbentuknya organisasi sekaligus strategi menarik anggota baru. Hanya saja perlu dipikirkan kembali bahwa di luar sana masih banyak hal-hal fundamental yang mesti diurus. Kerja-kerja organisasi daerah akan sia-sia dan berlalu begitu saja tanpa capaian yang jelas jika tidak dibarengi dengan usaha pelampauan makna organisasi daerah yang selama ini kita pahami. Lagi pula, mengedepankan asas kekeluargaan akan mematikan sikap kritis terhadap sesama yang salah secara haqqul yakin. Maka, pada titik ini kebenaran dikorbankan atas nama kekeluargaan.

Ketiga, kawan-kawan sedaerah kerap kali mengeluhkan bentuk sumbangsih apa yang bisa dilakukan untuk daerah. “Biarlah pemerintah yang ngurusi masalah pembangunan, jangankan ngurusi pembangunan, makan aja susah!” kata seorang kawan. Ada jalan alternatif keluar dari masalah itu. Memang pada kenyataannya, sebagian besar mahasiswa, dari segi finansial masih bergantung pada kiriman orang tua.

Kesuskesan agenda-agenda organisasi berawal dari proses uji imajiner terhadap segala kondisi kemungkinan. Kemungkinan yang penulis maksud, mahasiswa dan organisasi daerah bisa memberikan sumbangsih berdasar atas kondisi kemungkinannya. Ia bisa melayangkan kritikan atau sumbangsih tulisan lewat media yang ada didaerah atau paling tidak melalui gawai yang ia miliki.

Organisasi Daerah Harus Mengkaji Ulang dan Merumuskan Perannya

I

Organisasi daerah jangan hanya berhenti pada tahap pengkajian identitas yang ikut terbawa oleh subjek dari kampung halaman, kemudian berusaha memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa identitas itu ada dan dimunculkan di ruang-ruang publik kala event-event budaya diselenggarakan. Organisasi daerah justru harus mencoba membaca kondisi kampung halamannya, berusaha menemukan titik-tik patologi sosial. Pembacaan kondisi berfungsi memberikan gambaran jelas sebelum menentukan langkah apa yang seharusnya ditempuh untuk menghapus akar persoalan. Kurangnya pembacaan kondisi dikhawatirkan membuat tumpul strategi ketika diterapkan di lapangan.

Pembacaan kondisi membutuhkan seperangkat pisau analisis dari ilmu sosial, ekonomi, politik, filsafat, agama, dan lain-lain. Menurut pengalaman penulis, sangat sulit menyusupkan disiplin-disiplin keilmuan di atas karena beberapa alasan yang tak dapat dijelaskan di sini. Solusi yang penulis tawarkan adalah mengenalkan jargon-jargon revolusioner kepada mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Dalam tahap pembelajaran, tidak ada ada yang salah jika langkah pertama adalah memperdengarkan jargon revolusioner kepada mahasiswa yang baru sembari secara perlahan-lahan memberikan pemahaman apa sesungguhnya makna terdalam yang terkandung dalam jargon-jargon revolusioner yang seringkali membangkitkan amarah itu.

Ditambah lagi, mahasiswa baru, biasanya masih tengah semangat dalam proses pencarian jati diri. Benih-benih daerah itu merupakan ladang empuk menanamkan pemikiran-pemikiran revolusioner sebelum mereka terkontaminasi oleh hedonisme perkotaaan.

II

Apa sesungguhnya tugas dari intelektual? Ada beberapa buku yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Edward W. Said menulis buku Peran Intelektual¸ Ali Syariati menulis buku Tugas Cendekiawan Muslim, Eko Prasetyo menulis buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Eko Prasetyo memaparkan betapa irasionalnya aktivitas keseharian kita dikampus kemudian mempertanyakan kembali esensi dari kemahasiswaan kita , Antonio Gramscy dalam bukunya Prison Note Books: Catatan-Catatan dari penjara memetakan posisi intelektual berikut arena kerjanya. Posisi organisasi daerah sejalan dengan varian intelektual yang dimunculkan oleh Gramscy, Intelektual Organik.

Secara sederhana fungsi intelektual yang harus dijalankan, dalam pengertian Gramsci dan Ali Syariati, adalah membantu masyarakat menyadari kondisi sosial yang sesungguhnya; kenapa kehidupan mereka tidak sejahtera padahal sawah dan ladang terbentang sejauh mata memandang? Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas ketimpangan yang terjadi? Siapa yang memiskinkan mereka?

Pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan itu mesti digaungkan oleh organisasi daerah. Pada poin ini, bukan berarti masyarakat tidak mampu mengetahui sendiri kondisi yang tengah dialami. Kata Gramsci dalam bukunya, “semua manusia adalah intektual, namun tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual”. Masyarakat masih sibuk dengan urusan bagaimana mengisi perut kosong, sehingga potensi intelektual yang bersamanyam di dalam diri setiap insan belum juga terfungsikan. Atau boleh jadi, sikap fatalis (menyerahkan diri pada takdir) lah yang membuat kondisi sesungguhnya belum tersingkap dan terus bersembunyi di balik kelamnnya malam.

Ali Syariati membahasakan intelektual yang menempuh jalan kenabian ini sebagai intelektual yang tercerahkan (rausyan fikr). Organisasi daerah yang tercerahkan, dalam tahapan tertentu, sangat mungkin menyebarkan benih-benih pencerahan sehingga terpantiklah potensi intelektual masyarakat. Hal lain, pribadi yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi lebih memiliki akses kepada ilmu pengetahuan sehingga ia diwajibkan mentransmisi ilmu pengetahuan dengan bahasa yang bisa difahami oleh kaummnya.

Organda sebagai Intelelektual Kolektif

Dalam ranah perjuangan dan pergerakan, seseorang mutlak membutuhkan arena untuk bergerak, realisasi ide-ide progresif dan bentuk pemunculan eksistensi diri. Sulit kiranya membanyangkan bagaimana jadinya kelangsungan proses realisasi ide-ide cemerlang tanpa ruang dan kawan untuk bergerak. Tetap saja kerja-kerja kelompok besar kemungkinan akan berhasil dibanding kerja independen. Belum lagi kekuasaan kelas berkuasa semakin hari mengalami penguatan.

Menanggapi hal ini, Pierre Bourdieu mengusulkan pembentukan antagonis tandingan, Intelektual Kolektif (collective intellectual). Bourdieu menilai, ekonomi, politik dan pers saling bekerja sama dan menguatkan satu sama lainnya. Kalangan tertentu lebih bisa menentukan arah kebijakan, sementara kalangan intelektual dipinggirkan dalam hal pembahasan kebijakan publik. Intelektual semakin kehilangan derajat kemandiriannya alias tidak lagi memiliki otonomi. Intelektual tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik (Arizal Mutahir, 2011:141-142).

Melalui arena Intelektual kolektif, Bourdieu mengharapkan hadirnya kumpulan subjek, perlahan tapi pasti, dapat menggoyahkan kekuasaan.

Kalangan Post-Marxis, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, menilai, gerakan-gerakan sosial yang dibangun bukan atas dasar perjuangan kelas bisa juga memposisikan diri dan memainkan peran antagonisnya dalam ranah sosial kemasayarakatan (Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, 2008 : 234-236). Tentu saja sifat antagonis ini bisa dilekatkan jika organisasi daerah memahami betul di posisi mana ia berada, bentuk kekeluargaan seperti apa yang hendak diperjuangkan, atau lebih tegasnya organisasi daerah mesti memahami betul apa yang paling dibutuhkan oleh daerahnya. Organisasi daerah kemudian memposisikan diri sebagai kumpulan subjek yang memperjuangkan kebutuhan fundamental itu. Sebagai subjek-subjek yang sadar akan kebutuhan yang telah dirumuskan, mereka merasa tersubordinasi jika pemangku kebijakan tidak merespon baik keinginan mereka. Sadar bahwa ia terpinggirkan dan tidak terakomodasi kepentingannya, atas dasar alasan-alasan tersebut dirumuskannlah langkah apa yang dapat menjembatani kesenjangan antara keinginan akan hak dan rintangan yang dihadapi.

Ini berarti intelektual mendapatkan kembali otonominya dan menjalankan fungsi yang seharusnya ia jalankan. Bourdieu, menghendaki perkumpulan intelektual itu diisi oleh pribadi dengan beragam disiplin ilmu. Ini berkaitan dengan kondisi masyarakat yang serba kompleks, disiplin itu nantinya akan digunakan menganalisis masyarakat. Persyaratan ini sudah terjawab karena pada realitasnya organisasi daerah diwarnai oleh mahasiswa-mahasiswa dengan latar jurusan yang beragam. Tugas besar organisatoris daerah adalah bagaimana meyakinkan mereka untuk mengamalkan ilmunya untuk kerja-kerja organisasi.

Bourdieu sebetulnya menghendaki intelektual kolektif itu tidak dibatasi oleh persoalan identitas kultural, batas-batas negara, atau dikotomi-dikotomi lain, tetapi yang ia cita-citakan adalah mempertemukan seluruh intelektual dari semua negara dan membentuk blok kekuatan besar, dalam blok inilah dialektika antar ide terjadi dan saling menguji. Lagi-lagi kita harus mempertimbangkan kondisi kemungkinan yang kita miliki. []

*Penulis mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum, belum berniat untuk selesai. Tulisan ini sesungguhnya refleksi atas keterlibatan penulis di organisasi daerah. Tanpa bermaksud menggeneralisir semua organda, tetapi tidak menutup kemungkinan problematika yang penulis paparkan juga dirasakan oleh organda lain.