(Ilustrasi: Lisa Masruroh)
Oleh Laisa Altania*
Jaman dahulu, Sutarmi melahirkan menggunakan jasa Nyi Seni sebagai dukun bayi untuk membantu proses kelahiran Salim ke dunia. Ibu Salim bilang namanya itu akan membawa keselamatan dunia dan akhirat. Sejak kecil, itulah nama yang disandang Salim sebagai panggilan tetangga-tetangga maupun kawan-kawannya. Sebuah nama yang sebenarnya merupakan harapan ibunya, yang mana takdir dan nasibnya telah digariskan sang pencipta.
Nama Salim sudah tidak pernah terdengar lagi di telinga semenjak kecelakaan gerobak terjadi. Acara akhir pekan rekreasi ke Pantai Baron menjadi petaka malam itu juga. Kisah berawal ketika bapaknya Salim dengan riang membawa keluarganya menanjaki jalanan Gunungkidul. Jalanan yang sepi menyulut adrenalin bapaknya Salim untuk mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menyamai pembalap F1 Rossi. Tiba-tiba sepeda motor yang ditumpangi tiga orang itu oleng dan jatuh ke jurang setelah menghindari sebuah gerobak yang menyeberang tanpa permisi.
Salim menjadi orang yang beruntung atas keselamatannya dari kecelakaan maut karena menjadi satu-satunya korban yang selamat. Sekaligus menjadi orang yang malang karena kecelakaan itu membuatnya menjadi orang yang buntung kakinya.
Hidup Salim semakin nelangsa, karena rumah orang tuanya bukanlah hak milik yang sah. Selama ini mereka ngontrak di rumah tetangga yang kata orang-orang keluarga kaya nan dermawan. Ternyata keluarga itu sudah lama berniat untuk meminta kembali hak mereka atas dasar mau dijual pada pengusaha kaya. Entah hendak dibuat apa orang-orang kaya menawar bangunan reot itu dengan harga tinggi pula. Lalu nama Buntung menjadi panggilan yang tenar untuk Salim
Maka Salim harus meninggalkan bangunan itu, tanpa secuil pun perabot dibawanya. Salim menjadi gelandangan tanpa ada sanak saudara yang mau dengan senang hati merawatnya. Tak ada pula tetangga yang iba bersedia menampungya. Mereka menganggap Salim akan membawa kesusahan yang payah. Kehidupan dan penghiduapannya tak jauh dari jalanan Jogja.
“Tung, Buntung, di rumah ada barang-barang bekas yang mau dijualin,” lelaki berkumis lebat itu menyapa di tengah teriknya aspal jalan Jogja.
“Njeh Pak, nanti saya ambil.” Dengan terpincang-pincang ia mengatur laju gerobaknya agar tidak menyeret tubuhnya dengan satu tumpuan kaki.
Rumah Pak Kumis tak jauh dari jalan pertemuan mereka. Rumah itu tak bisa dikatakan tidak layak. Dari segi bangunannya rumah itu berdinding batu bata dengan pondasi sekitar setengah meter. Salim menyandarkan gerobaknya di samping rumah. Dari luar, rumah itu nampak sepi tak berpenghuni. Dia mengetuk pintu rumah yang tak terkunci.
“Mbok, iki Buntung hendak ambil rongsokan.” Teriakannya menghadapkan Salim pada wanita bertubuh tambun dan bersanggul. Wanita itu adalah istri Pak Kumis, ia telah mengetahui maksud dan tujuan Buntung datang ke rumahnya. Istri pak Kumis segera kembali ke belakang setelah memastikan itu memang Buntung.
“Kau ambil saja rongsokan ini, aku tak yakin akan laku mahal. Moga saja bisa mengganjal perutmu barang sehari.” Wanita tambun itu menyodorkan sekarung rongsokan agar dibawa Buntung untuk dikilokan. Buntung membawa pergi bersama gerobaknya ke arah gudang pengepul. Dugaan istri Pak Kumis memang benar adanya. Buntung hanya memperoleh 5.000 rupiah untuk tiga kilogram rongsokan yang dibawanya.
Buntung menjajakan uangnya ke warung langganannya, tepat di pinggir jalan tempatnya sering mangkal. Pemilik warung itu seorang wanita tua dengan rambut beruban memenuhi kepalanya. Hanya warung itu yang menjadi tempat singgahnya untuk mengisi perut laparnya. Bahkan terkadang dia tak segan berhutang karena tak jarang Buntung tak memperoleh rongsokan yang bisa dikilokan.
“Mak, nasi rames seperti biasa,” pinta Buntung. Tiga menit berselang, seorang gadis berperawakan sederhana menghantarkan sepiring nasi dan segelas air putih ke hadapan Buntung.
“Matursuwun cah ayu.” Mendengar pujian Buntung, gadis di depannya hanya tersenyum, lalu berbalik ke belakang.
“Jangan kau goda anakku Tung, dia mudah tersipu.” Yang ditegur hanya mesem memperlihatkan gigi rapinya. “Jangan diambil hati omongan laki-laki macam dia nduk, kalo kamu kepincut susah hidupmu nantinya.”
Buntung mengerti maksud kalimat wanita tua itu, namun tak diambil hati olehnya. Dia sadar diri akan segala kekurangannya.
“Berapa makan hari ini Mak?” Buntung membawa tempat makannya yang sudah habis itu ke belakang.
“Biarkan Sumi yang bersihkan. Kamu bayar Mamak tujuh ribu.”
“Tak ada uang aku segitu Mak, ini hanya ada lima ribu. Besok Buntung lunasi.” Sambil menaruh uang selembar itu di samping bahan dagangan, Buntung melangkah keluar dari warung.
Hari mulai senja, matahari semakin cepat meninggalkan bumi Jogja. Buntung tampak lebih kuat dari sebelumnya, segera dia mendorong gerobaknya mencari rongsok sebagai sumber penghasilan. Jalanan semakin ramai dan riuh dengan lalu lalang kendaraan. Tak jarang beberapa orang yang iba melihat keadaannya memberi setenteng plastik makanan ataupun uang receh.
Malam semakin larut, rembulan tak kunjung keluar dari balik tirainya. Buntung yang semakin payah dengan keadaannya menyembunyikan dirinya dalam gerobak. Dia tak pedulikan dinginnya malam yang semakin ganas meniupkan angin. Baru beberapa menit Buntung menikmati mimpinya, seseorang membangunkannya.
“Bang, bangun Bang…”.
Buntung terkejut melihat wajah di atasnya. Dia segera tersadar lalu bangkit keluar dari gerobak.
“Tak perlu berdiri dengan gugup bang, Sumi hanya hendak memberikan selimut ini. Karena cuaca akhir-akhir ini selalu dingin tiap malam.”
“Aku sudah biasa dengan udara malam Nduk, tak perlu repot-repot begini. Angin malam telah menjadi sahabatku”.
“Abang tidak pernah tau kapan seorang sahabat bisa menjadi ancaman. Ambillah, Sumi harus segera kembali.” Gadis itu pergi meninggalkan sosok di belakangnya. Buntung hanya menatap kepergiannya dengan heran dan senyum bahagia.
Hari demi hari Sumi semakin menampakkan kekagumannya terhadap Buntung. Maknya mulai sering menegur di kesempatan lain ketika Buntung tak sedang singgah di warung. Yang dinasehati hanya terdiam menunduk. Ternyata di balik renungannya, Sumi meneteskan air mata. Ia merasa tak pernah dibebaskan untuk memilih masa depannya.
“Makmu bukan tak sayang sama kamu Nduk, kamukan tau sendiri siapa Buntung dan bagaimana kehidupannya. Mana ada mbok yang rela anaknya bakal sengsara hidupnya kelak.”
“Sumi sayang sama Bang Buntung Mak, biar Sumi ringankan berat beban hidupnya. Kan Mak tau sendiri Sumi ini anak mandiri, Sumi tak akan mengeluh dengan keadaannya.”
“Terserah kamu Nduk, tapi ingat kalo kamu benar-benar ingin hidup dengan Buntung jangan sekali-kali repotkan Makmu ini. Mak sudah cukup tua untuk mengurus diri Mak sendiri.”
Sumi berhenti dari tangisnya, ia mengerti maksud maknya. Maka segera ia menemui Buntung dan menceritakan segala keluh kesahnya. Buntung hanya menatap Sumi dengan iba dan haru.
“Tak perlu kau pertahankan orang asing ini Nduk, makmu lebih membutuhkanmu daripada aku.”
“Sumi sudah lelah dengan semua aturan mak buat Sumi bang. Tolong ijinkan Sumi menemani bang Buntung.”
Seminggu kemudian Buntung melamar Sumi. Sumi tampak bahagia dan sedikit gusar setelah melihat raut muka maknya. Namun akhirnya mereka memperoleh restu.
Acara perkawinan itu harus ditunda tiga bulan kemudian. Kerepotan Buntung untuk mengurus surat nikahnya mengalami kesusahan karena selama 27 tahun ini dia tak pernah terdaftar sebagai warga Jogja. Beruntung akta dan KK-nya tersimpan rapi di kantor kelurahan yang dulu mengurus segala persuratan keluarga Salim.
Tak pernah terpikirkan oleh Sumi hidup jauh dari seorang ibu yang telah melahirkannya. Tapi ia tetap memilih meninggalkan segala kenikmatan bersama ibunya. Meskipun kehidupannya tak akan jauh dari jalanan Jogja, tetapi perpisahan seorang anak dengan ibu begitu mengharukan. Buntung merasa sangat bersalah karena menjadi penyebab adanya jarak di antara ibu dan anak. Segera ia melepas momen itu dengan menciumi tangan mertuanya dengan hati yang dongkol. Mak Sumi hanya pasrah tanpa sedikitpun mengeluarkan petuah terakhirnya.
“Sumi dan Bang Buntung pamit permisi Mak, jaga kesehatan Mak baik-baik.”
Tak ada suara yang membalas ucapan Sumi. Bahkan suara jangkrik yang biasanya saling bersautan pun tak menampakkan keberadaannya. Malam semakin sunyi dan senyap di balik gerobak beroda empat itu. Gerobak itu terparkir di trotoar pinggir jalan menghindari kebisingan hiruk pikuk malam kota budaya. Sekotak gerobak itu hanya mampu menampung satu hingga dua orang yang menjadikannya sebagai rumah berjalan.
Bulan-bulan ini semakin panas dan melelahkan. Sumi yang terlihat semakin hari semakin pucat seperti hendak menyerah pada nasib. Tiba-tiba Sumi tak mampu lagi menahan rasa sakit pada kandungannya. Tak ada bidan yang akan membantu dan tak ada jasa dukun bayi lagi yang bersedia membantu persalinan. Tanpa pikir panjang, Buntung menyuruh istrinya bersiap pada posisi melahirkan di dalam gerobak tanpa ada tenaga medis ataupun dukun bayi yang membantunya.
Buntung yang hanya bisa mengintruksikan hal yang perlu dilakukan isterinya meniru adegan sinetron yang pernah dilihatnya di televisi warung makan. Dua jam penuh ketegangan dan keringat isterinya mengucur deras. Setengah jam kemudian suara jeritan sosok bayi mengisi keheningan malam.
Kini anggota keluarganya telah bertambah. Perasaan bahagia dan haru menyelimuti malam ini. Mulai saat ini pula gerobak Buntung tak mampu lagi menampung malam mereka semua. []
*Penulis merupakan pengembara sastra dari satu dunia ke dunia lain. Saat ini penulis sedang serius dalam belajar tatanan bahasa sastra di salah satu perguruan Jogjakarta.