Kematian Tuhan (II)
setelah dunia berhasil disulap jadi desa
batas maya seolah tak ada beda
waktu beranjak lebih cepat, angin menyambar menjadi kilat
kita semua semakin dekat lewat dinding facebook
meski huruf-hurufnya beterbangan
orang-orang cerewet melebihi burung pagi hari
jutaan sumpah serapah memenuhi twitter
bedug telah masuk daftar gudang sebab azan cukup di tangan
lewat ipad, Blackberry, atau tablet memabukkan
sajadah laris sebagai mahar pernikahan
bukan lagi biduk menemui Tuhan
kuliah semakin dipercepat, terkejar absensi
diskusi-diskusi dibatasi arogansi
layar laptop bergerak tanpa arah
pikiran-pikiran tertinggal dalam lipatan diktat kuliah
“Tuhan ada di dada kami,” kata mereka yang tiada alpa
mengaji makna untuk jiwa
penguasa dan pengusaha berteriak yang sama
merasa Tuhan telah memenuhi saku-saku mereka
dijejalkan diantara uang-uang haram
hasil menipu dan korupsi
“Tuhan ada di tangan-tangan kami,” teriak ribuan mahasiswa
yang katanya membawa suara-suara orang lemah dan jelata
“Tuhan juga hadir di sini,” kata orang-orang di Mall, di deru jalanan
atau di bar yang lampunya mulai mengantuk
ya, Tuhan ada di mana-mana
tetapi dunia kita telah sepi
dihisap gadget; jadi misteri
Senyap
sebuah senyap bersarang di pikiran
mengenang mereka yang terbuang
sekadar mengingat para korban kekuasaan
seorang pemimpin yang bermimpi menjadi Tuhan
entah dari mana datang,
orang-orang bersorban yang hendak mengacaukan
kami hanya memelihara api
kenapa mesti dicurigai
Empat Pelajaran Baik
I
apabila dunia ditinggikan dalam pengharapan
gedung-gedung bertingkat menusuk anak-anak awan
uang berkuasa dan memerintah semena-mena
maka, Tuhan akan jauh terbuang
ditinggalkan sang pemilik abadi
padahal usia-usia yang rapuh
jatuh tertabung jadi waktu
siap datang untuk membawa pemiliknya pulang
hari-hari lenyap dalam tablet
caci maki dan cinta mengalir dalam udara
oh, Tuhan telah hadir ke dalam media
II
bunga-bunga di taman tetangga
merah muda dan lebih indah
iri dengki adalah api
yang membakar harapan
yang mengabukan pikiran
III
usaha hingga menggenggam cita-cita
pasrah kepada pemiliki jiwa dan raga
adalah jalan petunjuk bagi mimpi
tak cuma patahan kata tanpa solusi
bergetar hati ke relung sujud
setiap hamba memikul miliknya
dari yang hasud ke zuhud
tak sia-sia ciptaanNya
IV
setiap hari langkahkan kaki dan lupakan sepi
serupa membuang kotoran dari dalam diri
jejak hanya memahatkan sakit hati
setiap hari wujudkan mimpi dan lupakan ambisi
esok adalah perang dan kemarin hanyalah bayang-bayang
Nubuat Seorang Penyair
bahasaku selalu berangkat setiap pagi
menunggangi matahari
huruf-hurufnya bercahaya sampai ke bumi
jika bahasaku tidak bekerja setiap hari
maka aku bukan penyair
hanya pemimpi yang kehilangan bantal dan selimut untuk menepi
lalu sesat menuntun sampai hilir
setelah waktu mulai kosong
masa telah condong
bahasaku pulang menjelang petang
huruf-hurufnya bersusun di kamar gelap
menuturkan galaksi dan penghuninya
penyair itu gagap bila berbicara
tangannya penuh suara
sajak-sajakku bekerja setiap hari
bila tidak bekerja ia bukan sajakku
sajakku luput dari mimpi
bila bermimpi ia bukan sajakku
Nurul Ilmi El Banna, mencintai sastra dan belajar menulis sastra.