Pesatnya pembangunan gedung yang berlangsung di Yogyakarta beberapa tahun terakhir membuat keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik semakin dibutuhkan. Baik dari segi ekologis maupun sosialnya. Namun sampai hari ini, RTH publik di Yogyakarta masih terbilang minim.
lpmarena.com, Menurut data Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Yogyakarta tahun 2012-2016 menunjukan bahwa penggunaan lahan dari tahun 2007 hingga 2010 mengalami peningkatan, khususnya dalam bentuk perusahaan. Pada tahun 2007 menunjukan angka 275,617 Ha, tahun 2008 277,565 Ha, tahun 2009 275,713 Ha, dan tahun 2010 279,373 Ha. Hal tersebut berbanding terbalik dengan penggunaan lahan dalam bentuk pertanian yang mengalami penurunan. Pada tahun 2007 menunjukan angka 134,052 Ha, tahun 2008 130,029 Ha, tahun 2009 124,166 Ha, dan tahun 2010 118,591 Ha.
Penurunan penggunaan lahan untuk pertanian mengakibatkan kurangnya lahan hijau di kota Yogyakarta, sehingga pengadaan RTH perlu ditingkatkan untuk menjaga ekosistem alam. Jito, Kepala Sub Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DIY menuturkan jika pembangunan dalam bentuk bangunan terus meningkat, bukan hal yang tidak mungkin kota Yogyakarta akan menjadi ego kota. Dampaknya RTH akan tertutup oleh pembangunan-pembangunan gedung.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, tertulis bahwa Ruang Terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. Di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Dalam Permendagri tersebut tertulis, Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 pasal 29 tentang Penataan Ruang, juga telah menetapkan, RTH terdiri dari RTH publik dan RTH privat. Proporsi RTH minimal 30% dari luas wilayah kota dengan proporsi RTH publik minimal 20% dari luas wilayah kota.
“Kalau di Kota Yogya itu kemarin secara keseluruhan baik privat maupun publik sudah 31,65%,” ujar Jito ketika ditemui ARENA, Kamis (15/10) di kantor BLH Provinsi. Dari data BLH Provinsi menunjukan bahwa prosentase RTH publik 17,16% sedangkan RTH privat 14,49%. Dengan target RTH publik 21,65% dan target RTH privat 10%. Meskipun secara keseluruhan sudah mencapai batas minimal. Namun dilihat dari porsi RTH publik belum mencukupi standar.
Penempatan RTH publik dalam bentuk taman di 14 kecamatan kota Yogyakarta belum merata secara menyeluruh. “Taman kota yang benar-benar RTH itu memang kecil, tidak semua kecamatan punya,” pungkas Jito.
Fungsi RTH sangat penting yaitu sebagai fungsi ekologis sebagai penyedia oksigen, penghisap karbon, sekaligus resapan air. Di sisi lain fungsi sosial juga tetap menjadi pertimbangan untuk ditingkatkannya RTH. Halik Sandera Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta menjelaskan, fungsi sosial menjadi penting sebagai tempat interaksi masyarakat. Saat ruang interaksi semakin banyak maka akan membuat nyaman warga, kemudian berdampak pada kondisi sosial secara umum.
“Tidak ada ruang interaksi untuk berekspresi, mereka lebih banyak hidup di jalan yang kemudian berdampak negatif terhadap kehidupan sosialnya. Seperti mudah terpicu bentrok antar masyarakat,” tambah Halik.
Jito mengungkapkan tidak adanya ketersediaan lahan merupakan permasalahan RTH publik bentuk taman. Akhirnya yang menjadi alternatif adalah diperbanyaknya RTH bentuk jalur yang berada di pinggir maupun tengah jalan. Padahal hal tersebut melanggar undang-undang jalan. “Secara undang-undang jalan itu tidak boleh tapi nyatanya itu bermanfaat, pengendara lebih berhati-hati kemudian untuk berteduh ketika lampu merah,” sambung Jito.
Padahal RTH publik bentuk jalur yang berada di pinggir jalan atau trotoar, malah akan mengganggu pejalan kaki. “Sebenarnya trotoar itu kan menjadi hak bagi pejalan kaki. Bahasanya, RTH jalur itu merampas hak pejalan kaki terhadap pemanfaatan trotoar untuk pengadaan pot dan lain-lain. Itu RTH yang kurang tepat,” ungkap Halik, Sabtu (21/10), di kantor Walhi, Kotagede.
Rina, Kepala Bagian Pertamanan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta mengatakan bahwa permasalahan RTH publik itu pada pengadaan tanahnya. “Kita cari tanah itu susah sekali, kalau ada itu mahal. Ketika tanah ingin dibeli pemerintahan untuk pembentukan RTH, harganya pasti dinaikkan. Kadang-kadang kita tidak jadi beli padahal itu di tengah perkampungan,” ungkap Rina, Minggu (22/10), di kantornya.
Halik sangat menyayangkan jika keterbatasan lahan karena anggaran, sehingga tidak mampu membeli tanah menjadi alasan dalam pembentukan RTH publik. “Kalau pemerintah punya komitmen dan politik anggaran yang kuat, artinya kebijakan-kebijakan tersebut harus diprioritaskan,” terang Halik.
Jika RTH merupakan mandat UU RI nomor 26 tahun 2007 pasal 29, seharusnya menjadi sebuah kewajiban bagi pemerintah daerah khususnya pemerintah kota untuk melaksanakan UU tersebut. Menurut Halik jika dalam bahasa hukum itu wajib, berarti mempunyai konsekuensi hukum berupa punishment. “Kebijakan dari mandat itu belum ada punishment terhadap perundangan yang misalnya jika setiap kota tidak mencapai itu akan mendapat hukuman atau sanksi,” tambah Halik.
Halik mengharapkan jika pemenuhan RTH publik dapat mencapai tingkat pemerintahan paling kecil yaitu kelurahan, RW, dan RT. Karena masyarakat akan lebih mudah mengakses dan memanfaatkan ruang-ruang publik tersebut.
“Semakin jauh jarak maka masyarakat juga enggan untuk kesana. Selain itu perencanaan RTH harus betul-betul melibatkan masyarakat secara utuh di wilayah itu,” ujar Halik. Hal itu dilakukan agar tumbuh rasa memiliki masyarakat terhadap RTH, tambah Halik.
RTH Bentuk Taman
Contoh RTH bentuk taman yang berada di kota Yogyakarta yaitu di Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan. RTH tersebut diresmikan tahun 2014 dengan luas lahan 474 m2. “Meskipun luasan tidak besar yang penting ada lahan hijau. Karena RTH ini sangat bermanfaat sekali bagi masyarakat Brontokusuman,” terang Hardi ketua RT 15 kelurahan Brontokusuman, Sabtu (14/10).
Di Kelurahan Gambiran, Kecamatan Umbulharjo, juga terdapat RTH publik bernama Gajah Wong Educational Park. Namun ketika ARENA mendatangi tempat itu, keadaan RTH dalam keadaan kritis dan tidak terawat. “Di sini RTH-nya tidak tertata,” kata Lia warga Sleman (14/10) di Gajah Wong Educational Park. Lia juga menambahkan jika RTH di Yogya sangat sedikit.
Minimnya RTH bentuk taman di Kota Yogyakarta juga dirasakan oleh Erna saat ditemui ARENA, Kamis (03/11), di kawasan Malioboro. Menurutnya kondisi kota Yogyakarta saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Salah satunya adalah ruang hijau dalam bentuk taman.
“Orang mencari hiburan tidak harus ke tempat wisata, bisa ke taman. Taman sebagai tempat belajar juga suasana hijaunya dapat menenangkan pikiran,” ujar Erna pendatang yang sudah delapan tahun tinggal di Yogyakarta.
Erna juga mengungkapkan Pemerintah Kota Yogyakarta lebih memperhatikan pembangunan gedung dibandingkan sarana (Taman Kota) untuk masyarakat. “Sekarang jogja kan dipenuhi dengan hotel-hotel, pembangunan dimana-mana. Taman sebagai tempat sarana hiburan yang paling ekonomis buat masyarakat menengah ke bawah kurang diperhatikan,” terang Erna.
Hal senada juga diungkapkan Bambang warga Yogyakarta, Kamis (03/11), selain fungsi ekologis taman kota juga memiliki fungsi sosial yaitu sebagai wadah masyarakat untuk berinteraksi dan wadah kreatifitas anak. Maka perlu adanya taman disetiap kelurahan agar lebih mudah diakses. “Dengan jarak yang dekat masyarakat akan lebih tertarik untuk mengunjungiya dan orangtua bisa memantau kegiatan anaknya,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, pemerintah harus bisa memanfaatkan lahan yang tersedia untuk dijadikan taman. ”Contohnya di Bantaran Kali Code, itu seharusnya bisa dimanfaatkan. Memang butuh proses dan biaya namun jika ditindaklanjuti hal tersebut bisa tercapai,” jelasnya.
Reporter: Alifah Amalia dan Mujaeni
Redaktur: Lugas Subarkah