Rencana Pemerintah Kota Yogyakarta untuk merevitalisasi kawasan malioboro dengan pembuatan Tempat Khusus Parkir Abu Bakar Ali (TKP ABA) mendapat penolakan dari Paguyuban Juru Parkir Malioboro. Revitalisasi yang bertujuan untuk mensterilkan kawasan Malioboro dari transportasi pribadi ini dinilai belum matang dari segi persiapan dan pelaksanaan.
lpmarena.com, Relokasi parkiran Malioboro ke Jalan Abu Bakar Ali yang dimulai pada Juli 2015 diperkirakan dapat dioperasionalkan awal tahun 2016 mendatang. Parkiran dengan luas 2000 m2 ini ditargetkan mampu menampung 2800 kendaraan. TKP ABA dibuat dengan 3 lantai dengan lantai 1 diperuntukkan untuk bus, lantai2 dan 3 untuk motor. Hal ini mendapat tanggapan dari komunitas-komunitas di Malioboro. Salah satu komunitas yang masih mengkaji pembangunan TKP ABA adalah Paguyuban Juru Parkir Malioboro.
Hingga pembangunan TKP ABA yang sudah mencapai tahap finishing, negosiasi antara Paguyuban juru parkir Malioboro dengan Pemerintah Kota (Pemkot) belum juga menemui titik temu. Sigit Karsana Putra, Ketua Paguyuban Juru Parkir Malioboro menyatakan, “Kami telah melakukan perbincangan dengan Pemerintah Kota selama 2 kali, namun belum menemukan titik temu.”
Terkait masalah apa yang belum dapat disepakati antara PemKot dengan Paguyuban, Sigit, yang ditemui Arena (Sabtu, 31/10) menyatakan bahwa potensi kesejahteraan adalah masalah utama yang belum mencapai kesepakatan antara Paguyuban dengan Pemerintah Kota.
Menurutnya, penghasilan juru parkir Malioboro yang mencapai Rp. 175.000 per hari, hanya disanggupi pemerintah kota sebesar Rp. 40.000 per hari. “Dengan adanya relokasi parkir Malioboro, bagaimana potensi kesejahteraan yang dapat kami terima. Biasanya kami mendapat 175.000 per hari tetapi pihak Pemkot hanya menyanggupi dengan jatah hidup sebesar 40.000 per hari,”ungkapnya.
Perbedaan perspektif kesejahteraan antara Pemkot dengan Paguyuban menjadi masalah krusial bagi juru parkir Malioboro. Selain itu, tidak diikutsertakannya paguyuban juru parkir dalam pembahasan awal relokasi Malioboro juga menambah kekhawatiran mereka. Menurut Sigit, tidak diikutsertakannya mereka adalah pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat sebagai warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
Tidak hanya permasalahan tersebut, perbedaan pengelola juga akan menambah masalah baru. Dengan adanya pengelola yang baru,juru parkir khawatir jika nantinya mereka dituntut untuk menjadi tenaga kerja. Kekhawatiran ini sangat beralasan, karena tukang parkir nantinya akan dihadapkan pada masalah persyaratan ketenagakerjaan, seperti ijasah, umur, dan persyaratan yang lain.
Hal tersebut dirasakan Agus, juru parkir Malioboro, saat ditemui Arena (Selasa, 13/10). Agus mengatakan kekecewaannya terhadap rencana pemindahan parkiran Malioboro. Dia menolak dengan adanya pemindahan parkiran, hal ini karena parkiran yang baru dinilai tidak mampu menampung kendaraan wisatawan yang berkunjung di Malioboro. “Penolakan pasti ada, karena parkiran yang baru hanya akan menampung 2.300-an kendaraan,” ujarnya.
Selain itu, menurut Agus, parkiran yang baru dinilai akan mematikan mata pencaharian tukang parkir yang telah ada di Malioboro sejak dulu. Hal ini disebabkan karena tempat parkir yang baru dinilai tidak dapat menampung juru parkir yang selama ini ada di kawasan Malioboro. “Pemerintah membuat kebijakan baru yang mematikan mata pencaharian tukang parkir,”ungkapnya.
Untuk menyelesaikan masalah relokasi parkiran Malioboro ke TKP ABA, Paguyuban juru parkir membentuk Tim 20 yang nantinya dijadikan wadah advokasi dan koordinasi antara Pemerintah Kota dengan juru parkir Malioboro. Sigit mengharapkan adanya peran serta antara masyarakat, mahasiswa, dan teman-teman media untuk memfasilitasi dan mendukung langkahnya dalam menuntut kesejahteraan dan penolakan terhadap relokasi parkiran Malioboro. “Kami berharap adanya peran serta masyarakat, mahasiswa, dan seluruh pers di Yogyakarta untuk turut menyuarakan suara kami dan mendukung perjuangan kami,” pungkasnya.
Relokasi parkiran Malioboro ke TKP ABA dimaksudkan untuk mengoperasionalkan kembali TKP ABA yang telah dijadikan lahan parkir sejak beberapa tahun lalu. Hal tersebut disampaikan oleh Syarif Teguh, kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro saat ditemui Arena (6/11) di kantornya.
Saat disinggung mengenai kesejahteraan yang belum diperoleh titik temu antara pihaknya dengan Paguyuban juru parkir Malioboro, Syarif mengatakan, ”Muara dari sebuah penataan adalah kesejahteraan, dipenataan ulang ini merupakan penyelesaian keluhan masyarakat yang ada di Malioboro.” Penataan Malioboro menurutnya adalah untuk mewujudkan kenyamanan bagi Malioboro, pengunjung, dan para pelaku usaha di Malioboro.
Menurutnya, orientasi Pemkot sendiri tidak untuk menyengsarakan masyarakat, diibaratkan sebuah penyakit yang sedang diobati tentunya akan menimbulkan kesakitan. Begitu pula dengan penataan kawasan Malioboro. UPT Malioboro juga sudah melakukan pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan semua tuntutan masyarakat, tetapi semua tidak dapat diakomodir seiring perkembangan zaman.
Untuk jumlah juru parkir yang akan direlokasi ke TKP ABA, pihaknya hanya mampu menampung tenaga kerja sebanyak 98 juru parkir. “Kami sudah mendesain setiap juru parkir diberi ruang 10 meter jadi setidaknya mampu memperkerjakan 98 juru parkir,” tegasnya.
Lebih lanjut, Syarif memberikan solusi terkait nasib juru parkir yang tidak mendapatkan lahan parkir, yaitu berupa pembimbingan dan penyuluhan setelah mereka direlokasi. Beberapa dari juru parkir akan disediakan lapangan perkerjaan baru, yaitu; menjadi pedagang dengan fasilitas berupa ruko yang ada di TKP ABA. Selain itu, Syarif menawarkan pekerjaan lain yaitu menjadi penjaga kamar mandi umum.
Namun, hal ini tentu akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya akan adanya silang sengkarut antara kaum anshor (pedagang yang sudah ada di Abu Bakar Ali sebelum adanya relokasi tempat parkir) dan kaum muhajirin (juru parkir Malioboro yang direlokasi). “Dalam proyek relokasi parkiran Malioboro tidak hanya mempertimbangkan kaum muhajirin tetapi juga kaum anshor,” ujarnya. Namun pihaknya akan mengusahakan adanya penyuluhan untuk upaya penyelesaian terkait masalah yang akan timbul dikemudian hari tersebut.
Terkait solusi yang ditawarkan pihak UPT, Sigit, menilai tidak adanya konsep yang matang dalam perencanaan dan pembangunan TKP ABA. Selain itu, menurutnya, tidak adanya pembacaan awal dari pihak UPT dan Pemkot terkait dampak yang akan ditimbulkan dari pembangunan TKP ABA dapat memperparah kondisi di TKP ABA dan jukir sendiri.
“Juru parkir yang ada di Malioboro berjumlah 211 juru parkir, dengan 98 pemilik lahan dan sisanya merupakan pembantu jukir. Jika UPT hanya memperkerjakan 98 jukir berarti UPT tidak memiliki konsep yang matang,” tegas Sigit (Rabu, 11/11). Selain itu, pemindahan jukir dari Malioboro ke TKP ABA akan menimbulkan perselisihan antara paguyuban jukir Malioboro dan pihak yang telah ada di TKP ABA. Sigit menilai perlunya ada sosialisasi yang difasilitasi oleh UPT Malioboro untuk mempertemukan paguyuban jukir Malioboro dengan pihak yang telah ada di TKP ABA.
Terkait solusi pemberian ruko dan penjagaan kamar mandi umum, jukir Malioboro setuju. Namun, perlu adanya kajian ulang mengenai potensi pasar yang ada di sana. “Jika kami berjualan di ruko, hal yang harus dipikirkan adalah apakah dengan berjualan di ruko tersebut ruko kami akan ramai dan kami akan mendapat penghasilan,” kata Sigit.
Bagi Sigit, solusi penggabungan seluruh jukir dari Malioboro untuk ditetapkan menjadi penjaga parkiran TKP ABA merupakan solusi yang lebih tepat. Dia menilai, hal tersebut tidak akan menimbulkan ketimpangan antara satu jukir dengan jukir lain. Selain itu, menurutnya hal ini lebih adil dan tidak menimbulkan ketakutan jukir mengenai pendapatan dan penghasilan setiap harinya.
Sigit juga menawarkan solusi lain, yakni UPT Malioboro dan Pemot memberikan sebuah lahan untuk berjualan diemperan bekas lahan parkir Maioboro. “Tawaran kami adalah diberikan setengah lahan diemperan Malioboro untuk bergadang. Untuk setengahnya lagi bisa diperuntukkan buat pedestrian,” kata Sigit.
Sigit menyadari perlunya ada pembahasan lanjut mengenai penyelesaian relokasi ini. Sigit mengharapkan adanya pertemuan antara semua pihak untuk mencapai suatu kesepakatan. “Kami mengharapkan adanya audiensi antara semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Selain itu, kami menunggu transparansi dari pihak UPT agar tidak ada silang pendapat lagi.”
Reporter: Kartika Herprabayu Nikentari dan Miftahurrahman
Redaktur: Lugas Subarkah