Home EDITORIAL Setelah IPT 65, Selain Keharusan Rekonsiliasi

Setelah IPT 65, Selain Keharusan Rekonsiliasi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Pelaksaan International People’s Tribune 1965 (IPT 65) di Den Haag selama empat hari menyoal pengungkapan berbagai fakta tak terungkap di balik pembantaian 65 pasca peristiwa G30/S telah berakhir. Pengadilan rakyat yang digagas oleh para aktivis HAM menghasilkan kesimpulan adanya pelanggaran HAM berat di Indonesia yang didalangi oleh negara lima puluh tahun lalu. Dan selama itu pula, negara tak pernah hadir untuk menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukanya.

Kebenaran ini terungkap lewat kesaksian para korban yang dihadirkan dalam IPT 65. Martin Aleida, salah seorang saksi eks-Lekra mengungkapkan bahwa dirinya dipenjarakan bersama 300 tahanan lain di kamp konsentrasi komplek Kodim 0501 Jalan Budi Kemuliaan tanpa pengadilan. Ia menceritakan bahwa rekanya Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rakyat, diestrum dan dipukuli punggungnya menggunakan ekor ikan pari hingga hancur.

Seorang saksi perempuan yang di dalam persidangan tak mau diketahui identitasnya mengaku mengalami pelecehan seksual, ditelanjangi dan dipaksa untuk mencium kemaluan pemeriksa, saat diinterogasi dan dipaksa untuk mengakui keterlibatanya dalam G30/S. Padahal ia hanya seorang mahasiswi katrolik yang tak tahu sedikitpun tentang gerakan tersebut.

Sementara di hari terakhir, sejarawan Bradley Simpson yang menulis buku Economists with guns: Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968 soal keterlibatan amerika dalam kasus 65 dihadirkan sebagai saksi ahli atas keterlibatan Negara asing dalam pembantaian tersebut. Ia mengungkapkan bahwa Amerika telah memberikan bantuan berupa senjata, dana dan dukungan politik semenjak akhir oktober 1965 guna menunjang proses pembasmian PKI.

Mata rantai kesaksian dalam IPT 65 mempertegas fakta tak terbantahkan atas kejahatan kemanusiaan di balik peristiwa 65. Sayangnya, tanggapan keblinger yang sama sekali tak menyentuh akar persoalan atas pengadaan pengadilan berskala internasional tersebut dilontarkan oleh negara. Jusuf Kalla menganggapnya sebagai drama tidak penting, sementara Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa penyelenggaranya IPT 65 adalah musuh negara.

Pendapat elit politik Negara menunjukkan bahwa sampai saat ini, setelah Jokowi berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM saat kampanye, Negara masih lari dari tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus kejahatan di masa lalunya. Sudah terlalu banyak orang, kata Margaret Scott, yang mendapatkan kekayaan dan kekuasaan melalui orde baru, jika kita memposisikanya sebagai orde yang mendapatkan keuntungan besar melalui peristiwa 65, sehingga penegakan kebenaran 65 akan menganggu hak istimewa murid-murid didikan orde baru yang masih banyak memiliki akses kuasa sekarang.

Dalam kasus 65, Soeharto yang karir politiknya meroket semenjak G30/S, hingga menjadi penguasa diktator selama tiga puluh dua tahun, adalah pemimpin tertinggi pembantain itu. Pembunuhan, pengasingan dan penyiksaan yang dilakukan di bawah komandonya dimitoskan sebagai aksi kepahlawanan menyelamatkan Negara dan pancasila. Setalah kekuasaanya berjalan, Orde Baru terus menyebarkan narasi sejarah versinya melalui pembangunan monument kesaktian pancasila di makam jenderal korbanG30/S, penetapan hari kesaktian pancasila, film propaganda G30/S dan melarang berkembangnya ideology Marxisme-Leninisme dan berbagai varian turunanya selama berkuasa.

Padahal legitimasi orba atas pembantaian yang dikesankan sebagai upacara sakral tersebut sangat absurd. Bagaimana mungkin seluruh anggota dan simpatisan PKI yang merupakan partai terbesar ke-empat saat itu dianggap terlibat secara aktif dalam pembunuhan jendral yang direncanakan secara tidak matang kurang dari dua puluh empat jam. Sementara PKI memiliki basis massa di kalangan petani dan buruh yang berada jauh dari Jakarta yang kemudian sampai pada konsekuensi logis bahwa mereka akan sulit untuk sampai pada saluran-saluran informasi mengenai pembunuhan jenderal.

Patutlah dipertanyakan keabsahan pembantaian yang oleh orba, dalam buku Lembaga Ketahanan Nasioanl tahun 1968 untuk pejabat-pejabat pemerintah, menuduh seluruh anggota PKI dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung (setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan dan juga sesuai dengan prinsip organisasi PKI bahwa keputusan pemimpin partai, mengikat seluruh anggota).* “Masuk akalkah sebuah konspirasi menggulingkan pemerintahan melibatkan jutaan orang?” (pertanyaan Martin Aleida dalam IPT 65)

Kalaupun memang terlibat, masihlah amat tidak masuk akal, menurut John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, untuk membantai anggota PKI yang berjumlah tiga juta orang dengan menggunakan prinsip kesalahan kolektif. Jika logika demikian berlaku, maka selayakanya Orde Baru dengan seluruh anteknya juga harus diadili melihat rentetan kejahatan di masa kediktatoranya. Padahal hingga saat ini, kejelasan mengenai dalang di balik G30/S saja masih simpang siur. Tetapi Suharto lantas menuduh sepihak setelah kejadian.

Keterlibatan Amerika dalam kesaksian Bradley Simpson juga memperjelas motif politik pembantaian tersebut. Adalah sebuah kepalsuan jika klaim pembantain didasarkan pada kebengisan PKI, dan akan lebih tepat jika motifnya dilandaskan pada penyingkiran kekuatan politik progresif di Indonesia yang mengusung tema revolusi selaras dengan proyek Bung Karno yang tengah berkuasa saat itu.

Kita juga sudah tahu bahwa peristiwa 65 dan naiknya Orde Baru adalah patahan epistimologis Indonesia yang sebelumnya cenderung berpihak pada pola kebijakan ala sosialisme dan mengutuk Nekolim ke arah liberalisme pro investasi gila-gilaan. Amerika yang merupakan negara kapitalis maju mengkhawatirkan kemajuan politik progressif di Indonesia. Penyingkiran PKI merupakan strategi ampuh untuk melemahkan kekuatan Soekarno yang pada akhirnya memang beralih ke tangan Soeharto pada tanggal 23 Februari 1967.

***

Mengungkap kebenaran fakta sejarah 65, selain akan memberikan harapan pada terwujudnya rekonsiliasi juga akan mengungkap lebih banyak titik penting struktur bangunan Negara sampai saat ini. Merefleksikan negara yang candu pada investasi asing melalui kaca mata sejarah di tahun 65. Karena jika banjir investasi memang dimulai di era Soeharto yang juga terus diandalkan sampai saat ini, pembangunan Negara, dalam pengertian alat kelas atas, telah dibangun di atas ratusan ribu atau bahkan jutaan korban pembantaian terlupakan, ditambah ribuan lainya yang mengalami penahanan tanpa pengadilan, pembuangan, kekerasan seksual dan penyiksaan.

Kita juga harus bertanya, masa depan Negara seperti apa yang akan dibangun di atas kobohongan-kebohongan masa lalunya yang terus ditutupi. Melanjutkan perjalanan dengan mengabaikan kenyataan pahit sejarah berdarah 65 yang merupakan satu dari genosida terbesar di abad ke-20 sembari terus menjaga mitos “G30/S PKI“ ala Orba adalah kerja para penindas demi kepentinganya melanggengkan status quo sembari menyingkirkan kemungkinan munculnya kekuatan politik alternatif progresif. Bahkan setelah lima puluh tahun, Negara belum berani jujur pada sejarahnya sendiri.

Benarlah tesis Marx bahwa tak ada satu kelas pun yang mau menyerahkan hak-hak istimewanya secara suka rela. Menjadi sebuah keharusan untuk menyelenggarakan IPT 65 meski dengan tanpa hadirnya Negara. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum, IPT 65 telah menjadi kompas yang menunjukkan arah pada upaya pengungkapan sejarah kelam yang tidak terdapat dalam narasi sejarah versi penguasa, penghapusan jejak-jejak genosida yang melewati batas kewarasan. Untuk mereka yang telah berani mengungkap kebenaran terbungkam dalam IPT 65, panjang umur!

* sebagian teks buku Lemhanas dari buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa

Rifai Asyhari